Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen True Story: Gadis Wirobrajan (Bagian 4)

GADIS WIROBRAJAN

Oleh: Mastiardi, Pelaku UMKM

Hari Keempat Isolasi.

Saya mengambil remot tv lalu memilih siaran saat hari mau berganti dari Minggu ke Senin, tepat pukul dua belas malam kurang sepuluh menit.

Lantai rumah baru saja saya semprot setelah disapu semua. Termasuk kamar anak-anak. Semua gagang pintu, area sholat, dapur, juga pintu kulkas.

Setelah memilih salah satu siaran balap motor, remot saya letakkan, dan mulai meneguk minuman jahe hangat yang saya buat setiap malam sebelum tidur.

Saya mengambil gadget, lalu mulai menulis. Dan memikirkan judul untuk hari ke empat diisolasi. Tema apa yang harus saya tulis.

Sempat terfikir mau menulis teman yang bertamu tengah malam dan saya sampai hati tidak membukakan pintu. Ah, sama dengan cerita semalam waktu Uni datang yang juga tidak dibukakan pintu.

Hampir pukul satu saya belum menemukan ide yang mau saya tuliskan. Hingga gelas air jahe tinggal separuh.

Sekelebat muncul hutang belajar menulis yang belum saya tunaikan yaitu menulis tentang Gadis Wirobrajan.

Maka, saya teringat pada penghujung tahun 2012. Saat kami berlibur ke Jogja. Memilih jalur udara Pekanbaru – Jakarta, lalu sampai di Jakarta kami merental mobil untuk 10 hari yang akan digunakan perjalanan darat Jakarta – Jateng – Jogja. Pulang-Pergi.

Perjalanan darat yang menyenangkan. Kami menginap semalam masing-masing di Purbalingga dan Banjarnegara sambil bersilaturahmi dengan keluarga di sana.

Berkeliling kota Banjarnegara, kami juga ke lereng gunung Slamet memetik buah di kebun strawberry. Udaranya cukup dingin hampir menyamai Dieng. Di bawah sepuluh derajat.

Dari sana kami lanjutkan ke Jogja. Di Jogja kami memilih menginap di salah satu hotel di daerah Wirobrajan.

***
Malam pertama di Jogja, saya turun ke lantai satu sendirian. Istri dan anak-anak saya tinggal di kamar. Saya jalan kaki ke jalan raya depan hotel dan menyetop sebuah becak.

“Mau diantar ke mana mas?” tanya bapak sopir becak begitu lembut dengan logat jawanya.

“Kita keliling ke Malioboro pak, bisa?” jawab saya disusul pertanyaan, sambil membetulkan duduk.

“Buisaaaa.” jawab sang bapak dengan ramah.

Saat lamunan saya berada pada kisah saat-saat malam Minggu mengunjungi seorang gadis di kos Wisma Bayu di Wirobrajan ini beberapa tahun lampau.

Jalan ini tentu tidak asing bagi saya termasuk gang-gang yang ada di sekitaran jalan Abimayu, Ontorejo, Antasena, Gatotkaca dan jalan sekitarannya.

Malam-malam menikmati angkringan di Kopertis, Wedang Ronde di taman Graha Saba UGM dan mampir di warung burjo ketika rumah makan sudah pada tutup.

“Dari mana Mas?” tanya bapak becak yang membuat lamunan saya bubar.

“Dari Riau pak”. Jawab saya singkat dengan tetap sopan.

“Sendiri atau sama keluarga Mas?”

“Sama keluarga Pak. Mereka saya tinggal di hotel, sudah malam”. Jawab saya.

Keramahan bapak ini merenggut sedikit waktu saya untuk menikmati kesendirian menelusuri jalanan kota Jogja malam ini.

“Kalau bawa keluarga enak lho mas diajak ke sini” sahutnya, saat becak mulai memasuki jalan Malioboro.

Ia terus mengayuh becaknya tanpa minta jawaban. Saya lihat Malioboro berubah di beberapa sudut. Pedestariannya diperlebar dan lebih tertata rapi dari enam tahun silam.

Keramaiannya masih sama, ada pertunjukan musik masa kini dengan alat tradisional, pedagang kaki lima berjualan batik, pernak-pernik dan lainnya di selasar toko.

“Suatu saat kalian akan sulit melupakan kota ini”, sontak saya ucapkan yang mungkin terdengar samar oleh bapak becak ketika saya melihat Muda-mudi yang sedang duduk di bangku-bangku pada pedestarian.

Jogja memang tak terlupakan, makin benar apa yang dikatakan Joko Pinurbo bahwa Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.

“Kita kemana Mas?” tanya bapak becak.

“Lanjut saja Pak, langsung balik ke hotel” jawab saya.

Bapak becak mungkin bingung melihat saya tidak mau turun barang sejenak sekedar menikmati suasana di Malioboro yang menjadi tujuan wisatawan ketika ke Jogja.

***

Bapak becak baru saja berlalu setelah saya diturunkan lagi di tempat saya naik satu jam lalu.

Tiba di lobi hotel saya berpas-pasan dengan istri saya yang sejak tadi merasa kehilangan. Misi saya menyendiri malam itu selesai, menelusuri jalan-jalan di Wirobrajan sampai Malioboro sambil mengenang kisah bersama mantan pacar dulu. Seorang gadis yang pernah kos di sana.

Pertanyaan dari mana yang dia lontarkan saya jawab singkat saja. “Dari keliling Malioboro”. Dan saya berlalu naik tangga menuju kamar.

Nampak wajah kesal dimukanya karena saya tidak mengajaknya.

Dia lah Gadis Wirobrajan itu. Yang saat ini sedang berupaya keras lepas dari cengkraman covid-19.

(***)

Biodata Penulis:

Mastiardi, S.T

Dilahirkan di Lubuk Bendahara, 27 Juni 1983. Pernah menempuh pendidikan S1 Arsitektur UII Yogyakarta (Tamat 2006)

Ada beberapa karya-karyanya yang belum pernah dipublikasi, diantaranya:

Cerpen

  1. Selamatan Salamek
  2. Penyakit Lamin
  3. Hari Eksekusi
  4. Pendaratan di Paris
  5. Barudin Hito

Puisi

  1. Robohnya Tebing Sungai Kami
  2. Kursi Langit
  3. Mendayung Masa

Saat ini Mastiardi, S.T yang mantan Bankir ini berprofesi sebagai penjual pulsa, yang bergerak di UMKM dengan bendera bisnis Sakti Network (SN). Ia juga tercatat sebagai anggota Pegiat Literasi Rokan Hulu (PLR) dan Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kabupaten Rokan Hulu.