Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

CerBung: Tinggi Hati (BAB 16)

CerBung
CerBung: Tinggi Hati (BAB 16)

Cakrawalaindonesia.id – Lina pun melihat pemuda yang mengejarnya  tadi cuek dan tidak begitu perduli. Bahkan ia sempat membuat muka. Pemuda tadi membalas dengan tatapan kesal terhadap Lina yang berada di dalam sebuah mobil.

“Okelah kalau seperti itu. Laki-laki akan selalu dianggap remeh jika mereka tidak memiliki sesuatu. Oh Lina paras cantikmu seperti cermin terbalik. Kukira sikapmu sama dengan paras mu ternyata seperti timur dan barat. Sungguh kau tinggi hati.” Berguman sendiri pemuda tadi sambil berjalan menuju bus arah Depok. Itu hanya bus satu-satunya yang ada dipukul 21:00 malam. Jika lewat bus itu tanda-tanda akan tidur Mall Pim dengan security.

Pemuda itulah yang nantinya beberapa tahun yang akan datang beralih profesi menjadi guru sekolah dasar dan tinggal di sebuah masjid di Ciputat.

Pemuda tadi masih menunggu di samping halte Busway Pim. Beberapa kali kepalanya memelototi bus-bus. Bus yang dimaksud tidak berwujud-wujud. Perasaan ragunya mulai berulah. Persasaan itu membuatnya sedikit khawatir. Jantungnya mulai berdebar. Jangan-jangan busnya sudah melintas sejak lalu. Dijawab lagi oleh hati kecilnya. Belum kali. Sabar aja.

Dijawab lagi oleh perasaan ragunya. Dibilangin juga apa. Bukannya cepat-cepat nunggu disini malah mengejar cewek yang tidak jelas tadi.

Rasakan ini bermalam di Pim. Eggak enak kan. Entar ganti baju gimana. Eggak bawa sabun. Belum sikat gigi. Baju bau apek. Gigi kuning, nafas bau. Mau masuk retail apple. Sungguh memalukan anda tidak profesional. Staff konsultan itu rapi, bersih, senyuman khas, bau badan harum, baju rapi, rambut dan raut wajah terpancar cerah.

Berkecamuk di dalam pikiran pemuda tadi.

“Okelah kalau begitu. Aku tidak mungkin memaksakan jalan kaki ke Lenteng Agung. Itu sama saja aku bunuh diri. Karena setelah itu bisa jadi aku akan sakit berhari-hari,” ucap pemuda tadi kesal dengan dirinya sendiri.

Akhirnya ia putuskan menginap kembali ke PIM minta dengan satpam untuk tidur di basmen.

Pada waktu yang lain

Lina sudah berada di depan rumah diantar ia keluar dari mobil sport yang membawanya tadi. “Terima kasih sudah mengantarku ya,’ ucap Lina.

“Everyting is oke,” balas pemuda tadi yang bersetelan baju necis. Disamping wajahnya bertumbuh bulu-bulu yang rapi. Wajahnya diliputi dengan rahang yang tinggi. Menunjukkan ia orang yang berdekasi tinggi dan kreatif.

“Lina besok ada acara?” tanyanya.

Lina seperti sedikit enggan menjawab. Ia merubah posisi wajahnya yang datar menjadi tersenyum. “Entar besok aku kabari,” jawabnya singkat.

“Aku masuk dulu ya,” ujarnya.

“Oh iya Lin, besok kita ada projek lagi ya di Pim pastikan saja timmu udah siap. Tenang ada kok bonusnya!” ujarnya lagi pada Lina.

“Siap Pak Salim,” balas Lina.

“Pleas jangan panggil Pak dong. Panggil Salim saja. Bisa kan?” pintanya.

“Oke dah,” dengan cepat Lina menjawab.

Mobil sport berwarna hitam meninggal rumah dengan deru mesin nyaring.

Lina masuk rumah dan segera menghempaskan seluruh badannya di sofa berwarna coklat.

Ibu Lina dengan mata berat terbangun dari tidur.

“Baru sampai rumah nak?” ujarnya pada Lina yang menarik nafas pelan saat menikmati istrahat.

“Iya bu. Hari ini ramai di showroom,” jawab Lina.

“Pastinya kamu lelah Nak. Makan dulu,” ucap ibunya yang masih menatap Lina.

Lina memaksa badan untuk bangkit dari sofa menuju meja makan. Tidak makan tapi hanya minum air putih hangat.

Lina kembali ke sofa. “Kamu pulang diantar siapa Nak?” tanya ibu Lina.

“Tomy ya.” Serunya lagi.

“Bukan Bu. Tadi Salim teman Kantor,” balas Lina setelah meneguk air hangat tadi.

“Tomy kemana Nak?” tanya ibu Lina.

“Eggak tahu Bu dia tidak memberi kabar?”

“Sebenarnya Tomy serius apa tidak dengan kamu Nak. Jangan sampai kamu terlalu lama bersamanya padahal kamu belum menentukan perasaanmu pada Tomy. Khawatir memberi harapan palsu,” ujar Ibu Lina sambil duduk disampingnya.

Wajah Lina menampakan kebingungan. Seperti ada dua laki-laki yang akan serius denganya. Tapi lagi-lagi masih Lina menganggap hal itu biasa. Walaupun boleh dikata yang menginginkan Lina lebih dari hitungan jari-jemarinya sendiri.

“Biar waktu yang memberi kita jawaban ya Bu. Takutnya jika memilih ternyata pilihanya malah kurang tepat,” jawab Lina sambil menghebuskan nafas lelah.

“Ibu tahu pasti kamu sedang memilih-milih diantara mereka. Siapa yang lebih baik. Itu wajar-wajar saja.  Cuma jangan terlalu berlebihan.” Ibu Lina menambahi percakapannya yang membuat Lina perlahan membuka matanya.

“Tomy beberapa hari yang lalu memberi ibu hadiah. Ia seperti anak baik. Suka dengan sikapnya terhadap orang tua,” ucap Ibu Lina.

Lina semakin penasaran, “Berarti Tomy sering ke rumah kita Bu?” tanya Lina.

“Tidak sering sih. Tapi kadang-kadang,” jawabnya singkat sambil memasang wajah heran terhadap Lina.

“Kenapa Lina. Apa kamu kurang suka?” tanya balik Ibu Lina padanya.

“Tidak sih. Seperti ingin menjelaskan sesuatu tapi tertahan sejenak.

“Sudah malam. Waktunya kamu tidur. Besok kamu kan berangkat pagi,” ujar Ibu Lina.

Lina pun menatap dan menganggukan kepala di depan Ibunya.

Ibu Lina beranjak pergi meninggal Lina yang masih di sofa ruang tamu.

Penulis: Al FirdausEditor: Imam Arifin