Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

CerBung: Idealisme (BAB 14)

CerBung
CerBung: Idealisme (BAB 14)

Alki merasa beberapa tahun ini sudah nyaman mengajar di sekolah dasar. Hal itu membuatnya sangat bahagia. Ternyata ketenangan yang selama ini Alki cari barada di sebuah sekolah dasar Islam Jakarta.

Waktu ia kuliah dulu idealisnya sebagai mahasiswa sangat tinggi, ingin menjadi seorang pengusaha besar. Paling tidak jadi direktur di sebuah perusahaan besar berkelas internasional. Alki pun tidak main-main ia benar-benar mempraktikan bagaimana ia harus menjadi seorang pengusaha. Yakni dengan berjualan kayu bakar di dekat masjid yang ia tempati. Setiap orang membeli kayu bakar ditempat Alki akan mendapatkan servis. Barang diantar ke rumah pembeli.

Tahun 2007 belum populer gas elpiji tigapuluh kiloan. Jadi warga Surakarta kelas menengah ke bawah masih menggunakan kayu bakar.

Alki pun nekat menjual laptop merek Nexnya untuk dijadikan modal. Ia pun dengan bantuan teman satu kampus tapi beda jurusan bernama Jirjis. Untuk mencari siapa yang dapat menjual kayu bakar murah. Karena system yang dipakai Alki membeli lima ribu rupiah dijual enam ribu rupiah. Jadi Alki dapat untung seribu rupiah perikat kayu bakar.

Jirjis pun dengan semangat untuk membatu. “Tunggu ya aku tak mikir seh,” ucapnya dengan loga Jawa yang kental. Mereka biasa mencampurkan Bahasa Indonesia dengan Jawa. Walaupun Alki berasal dari luar pula Jawa dikarekan ia sudah lama di Jawa. Alki paham dengan gaya komuniksi teman-temannya.

Sore yang tidak lindap menjadi saksi ketika mereka bercakap santai di ruang sebelah masjid At-Tawwab. Tempat itu menjadi bascame Alki dan beberapa teman-temanya. Alki sendiri mendapat tawaran dari Jirjis untuk menjadi penjaga masjid.

Dengan mempertimbangkan masjid yang sangat strategis. Menurut Alki masjid At-tawwibin unik masjidnya kecil di pinggir jalan sebelum asrama kopasus.

Jika ke selatan akan mendapati jalan yang cukup ramai. Setelah ada pasar. Ke arah utara di situlah kampus Uin Raden Mas Said Surakarta.  Ke arah timur menuju kota Solo.

Alki pun disambut antusias oleh pengurus masjid. Alki pun diberikan kebebasan. Jika ada kuliah di kampus ia memprioritaskan tugas kampus setelah itu pulang ke masjid untuk azan dan terkadang menjadi imam.

Pertemuannya dengan Jirjis saat mereka semester awal di kampus karena satu tempat Jirjis mengambil jurusan Sasrta Inggris.

Jirjis pun mencerminkan layaknya anak sastra yang menyukai seni. Rambutnya panjang sebahu. Jirjis memakai kaca mata tebal. Badanya sedikit kurus. Dahi cukup lebar. Jirjis saat bicara menggunakan Bahasa Indonesia sedikit melambat. Jika ke kampus Jirjis menggunakan motor King. Sedangakan Alki bersepada polygon.

Sebenarnya di masjid At-Tawwibin bukan hanya ada Alki, Jirjis dan teman-temanya. Terkadang muncul tiba-tiba Pak Anang. Menurut warga Pak Anang stress karena ditinggal istrinya. Pak Anang terkadang pindah-pindah masjid. Tapi ia paling nyaman di masjid At-Tawwabiin. Karena ia mendapatkan teman bercerita yaitu Alki.

Alki pun tidak mengusirnya karena menurut Alki Pak Anang tidak pernah berbuat onar sedikit pun. Bahkan dengan adanya Pak Anang Alki dan Jirjis terbantu karena masjid tidak kosong alias ada penjaganya.

Dalam pergaulan sehari-hari Pak Anang pun cukup baik dengan Alki. Terkadang ia membawakan makanan untuk Alki. Sepertinya warga salah mengira dengannya. Sebenarnya Pak Anang tidak stress seperti yang dituduhkan padanya. Tapi ia hanya ingin mencari ketenangan diri.

Alki membuka jaket coklat kulit yang biasa ia kenakan untuk ke kampus. Jaket coklat itu tidak lepas di badan Alki. Sejak berada di Muntilan ia selalu mengenakan jaket. Alki orang yang tidak kuat dengan cuaca dingin.

Pada jaket itu tertempel banyak tulisan yang sudah di jahit. Salah satunya Say No drugs. Dengan rambut panjang sampai daun telinga. Alki terlihat gagah dan macho. Ditambah warna kulitnya yang kuning keputih-putihan. Membuatnya begitu menawan. Banyak pula cewek-cewek kampus yang tertarik padanya. Apalagi Alki doyan melahap buku-buku di perpustakaan kampus. Ia pun sering tampil dalam acara debat ilmiah di kampusnya. Membuatnya begitu dikenal di kampus. Suaranya pun ketika mengaji enak didengar. Ketika bergaul dengan teman-teman ia tidak menonjol diri. Ia hanya memiliki selera humor yang tinggi.

Inilah yang membuat Jirjis kagum dengan Alki.

Jirjis memicingkan mata Alki yang bersiap duduk di depannya. Alki sambil memegang segelas air minum.

“Emang eggak ada kuliah Jis?” tanya Alki.

“Aku hari agak cepat kuliah. Dosen Cuma kasih tugas tentang William Shakespeare,” jawabnya.

“Emang suruh ngapain sih?” balas Alki.

“Biasa Al suruh mencari karya-karyanya. Terus diulas jadi makalah,” seru Jirjis dengan nada yang agak lambat.

“Oh ya Al. Aku udah ketemu dimana kita bisa beli kayu murah. Nanti kayu diantar ke sini. Jadi kita eggak perlu sewa mobil,” ucapnya antusias.

Alki pun begitu semangat. ”Yes akhirnya kita sudah mulai melangkah untuk jadi pengusaha  Bro.”

Diiringi dengan senyum yang semringah.

“Kapan kita ke tempat itu?” tanya Alki.

“Setelah shalat asar. Tapi kita pastikan lewat telfon dulu ada atau tidak orangnya di rumah,” jawab Jirijs.

Jirjis dan Alki pun bergegas menuju tempat lokasi dimana tempat kayu bakar murah. Jirjis mulai menyela motor Yamaha king. Suara motor king itu meraung-raung di samping masjid At-Tawwabiin.

Ayo Al udah siap belum. Jangan sampai kita eggak ketemu dengan orangnya. Kalau kita kesuwean (kelamaan),” seru Jijris.

“Oke Jis. Ambil jaket dulu nih.” Balas Alki.

Mereka berdua berangkat melewati jalan raya Surakarta. Bertemu dengan pertinggaan Kartasura mereka lurus menuju Salatiga.

Mereka pun belok kiri dan memasuki sebuah perkampungan penduduk. Beberapa langka di depan terdapat kebun pisang beberapa batang yang sudah menguning.

Maju lagi sedikit di samping ada warung kecil. Mereka berdua berhenti.

“Bu bade tanglit. Pak Heru pun dhi nggeh?” tanya Jijris dengan Bahasa Jawa halus.

Sebelum ibu itu menjawab muncul seorang dengan badan yang tinggi berambut putih.

“Iki mas Jijris enggih,” sergahnya langsung.

“Enggeh Pak,” jawab Jirjis.

Setelah menjelaskan alasannya. Jirjis pun berkali-kali minta diskon supaya harga kayu bakarnya dikurangi karena ini akan dijual lagi.

Jirjis minta Alki mengeluarkan uang sebesar 600 ribu. Dengan jumlah yang banyak itu Alki dapat kayu bakar satu truk.

Pak Heru besok akan mengirim kayu tersebut besok pagi. Memesan barang selesai.

Jirjis dan Alki kembali ke masjid At-Tawwabiin. Kita menulis huruf capital,  JUAL KAYU BAKAR MURAH SIAP ANTAR KE RUMAH LANGSUNG.

Itu bunyi tulisannya untuk menarik konsumen.

Besok pagi tempat jam 10:00 pagi truk penuh dengan kayu bakar berhenti di samping masjid At-Tawwabiin.

Kayu bakar tersebut diturunkan di tanah kosong dekat samping masjid At-tawwabiin. Tentu Alki sudah memperoleh ijin sebelumnya dari pengurus masjid dan itu dibolehkan.

Para warga dan tetangga banyak bertanya itu kayu bakar milik siapa.

Penulis: Al FirdausEditor: Imam Arifin