Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerbung: Pria Berbadan Kurus (5)

Bab 5
Pria Berbadan Kurus

Ia pulang ke kosannya di Ciputat. Suara azan pertama dari tadi sudah memanggil. Sang Guru tertidur di kelas dengan posisi duduk, tangan bersedekap di dada. Suara dengkuran yang keras mengisi ruangan kelas satu.

Guru lain menengok ke jendela. Dan ada suara mengejutkan Sang Guru. “Saatnya pulang Ouii. Mau nginap di sekolah!” Salah satu temannya mengoceh.

Dengan coba melepas wajah berat. Ia menatap ke pintu kelas berwarna coklat.
“Jangan ganggu kenapa. Orang lagi mimpi indah.” Menyahut dengan nada kesal.

“Mau pulang bareng enggak?” tawar temannya yang bertetangga di dekat masjid.

“Saya tunggu di kelas ya!” Dengan segera ia berlalu pergi.

Gurunya Hanni bernama Alki. Sebelum pulang ia merapikan semua perlengkapan belajar anak-anak. Karena besok akan digunakan kembali seperti meja, kursi, buku gambar, alat perkalian dari lidi, kapur tulis, spidol warna, kertas-kertas yang tadi berserakan. Diletakan dengan sesuai dengan tempatnya.

Anak-anak pun sudah dijemput untuk pulang semua. Kecuali anak-anak yang menambah jam belajar sore atau ikut program ekskul.

“Akhirnya kita pulang,” ucapnya dalam hati.

Sang guru memasukan laptop, buku catatan siswa ke dalam tas berwarna biru. Setelah menekan tombol absen Sang Guru menuju tempat parkir sekolah. Hanya tinggal beberapa motor di sekolah. Guru-guru yang lain sudah pulang sejak tadi.

Sang Guru berboncengan berdua melewati Pasar Tekstil Cipadu. Motor yang mereka gunakan Yamaha Jupiter Z keluaran tahun 2005. Motor itu tidak bisa berlari cepat karena sudah mulai rusak dibeberapa bagian. Suaranya pun nyaris tak terdengar. Jika ada polisi tidur sangat terasa seperti pantat terkena batu.

Mereka berdua merupakan guru honor sekolah swasta. Sudah hampir setahun mereka mengajar di Sekolah Dasar Islam. Plus mereka adalah para jomblo. Yang satu anak perantauan tinggal di Masjid sebagai Imam serta mengumandangkan Azan. Dan yang satunya lagi penduduk asli Ciputat yang baru resign dari pekerjaannya yang lama.

Ketika di daerah Bintaro Plaza, mereka berdua terjebak macet yang mengular. ditambah mereka akan melewati rel kereta api Stasiun Rempoa. Di situlah paling sering menjadi sarangnya macet. Dipenuhi dengan banyak motor dan pejalan kaki.

Sampai di Ciputat mereka menyusuri Danau Gintung melewati pinggiran. Pemandangan sore yang khas indah mulai tersaji. Sinar matahari sore yang menjadi hiburan expensive selalu menarik pengunjung. Diselahi dengan kopi hitam yang mengepul. Aroma harum biji kopi ala negeri Indonesia.

Perahu kecil yang menebar jaring ikan, sore ini mulai ditarik ke darat. Ikan air tawar yang segar melompat-lompat terkena jaring di lempar ke darat. Anak-anak kecil tak berbaju hanya dengan celana pendek mengemasi para ikan. Lumayan untuk lauk makan hari ini. Mengingat harga sandang, pangan dan papan semakin naik.

Para pemancing sore dengan rokok yang mengepul-ngepul menjadikan danau ini sebuah surgawi memancing. Ikan-ikan yang lapar melahap kail pancing yang terisi makanan. Beberapa kali kail terkena tarikan. Yang membuat pemancing sangat menantikan detik-detik tarikan ikan ke kail.

Dapet-dapet. Dengan wajah semringah. Para photografer amatiran mulai siap dengan kameranya masing-masing.
Dengan area yang begitu mendukung karena terdapat bebatuan yang mengarah ke bawah. Biasanya banyak pula pengunjung yang duduk-duduk di bebatuan tersebut.

Menurut sejarah Situ Gintung dibangun oleh Belanda tahun 1932 dalam waktu dua tahun. Danau yang hanya seluas 31 ha sengaja dibuat tanggul untuk irigasi persawahan dan pertanian masyarakat pada waktu itu.

Banyak pula cerita beredar bagaimana mistik yang berada di Situ Gintung. Walaupun belum dapat dibuktikan ke kebenarannya.

Pada tahun 2009 bulan Maret, Danau Situ Gintung pernah meluap hebat yang memakan banyak korban. Lahan 10 hektar di Cirendue jadi korban tanpa ampun. 300 rumah penduduk hancur dan rusak.

Hanya satu yang tersisa yaitu Masjid Jabal Rahma milik dua saudagar sukses dari Aceh bernama Thoyib Idie dan Tengku Lakmana Umar.

Sore ini adalah sore yang wajib untuk dijadikan status di WA, FB, IG bahwa sore menyimpan kenangan yang tak boleh pergi begitu saja. Ribuan status pun muncul hanya dengan melihat orang pegang smartphone di pinggir danau.

Apalagi kamera pengunjung mengarah ke sunset. Ada banyak cerita pula di sana. Termasuk yang dialami oleh Sang Guru. Mereka duduk santai ditemani semilir angin sore yang menyejukkan jiwa.

Danau semakin sore semakin banyak dipadati oleh para pengunjung lain. Ada yang kebetulan lewat. Letaknya juga strategis sebelah kampus UIN dan UMJ. Mahasiswa pun sering mengadakan banyak kegiatan di Danau Gintung.

“Masih ada waktu sedikit lagi. untuk menuntaskan segelas kopi dan merekam pemandangan sore ini,” ucap temannya dengan melihat jam di tangan kirinya.

Ia bernama Faisal. Dengan rambut tebal tinggi 165 centimeter. Jidatnya lebar dengan dada berbidang. Dan banyak tersenyum. Jarang sekali mengeraskan suaranya. Jika bicara datar. Para Guru di sekolah memanggilnya Mr Ical.

“Iya betul. Aku sedikit ingin membuang lelahku. Karena di sekolah tadi banyak PR yang harus dikerjakan. RPP-lah, Pj Panitia Maulid dan Manasik Haji. Semua harus disiapkan dengan matang,” sahut Alki dengan menghela nafas sambil menyeruput kopi hitam yang sudah dipesan sejak tadi.

“Sama Bro sekolah kita sepertinya terlalu banyak kegiatan. Jadi gurunya juga kurang fokus.” Dengan nada mengeluh.
“Tapi kelas aman kan? tidak ada insiden apa-apa,” tambahnya lagi.

“Alhamdulillah anak-anak senang. Tadi Bibinya Hanni telepon. Salah satu keluarganya ada yang sakit. Jadi pulangnya agak telat,” ujar Alki sambil mengibas-ibas jaket hijau bermerek Eiger.

“Sebagai guru kita memang harus menjaga anak-anak baik dari psikologi sampai ke yang lainnya. Mereka generasi bangsa titipan untuk ke depannya.” Ia menambahi.

Suara krisek, kresek dari mikrofon masjid Jabal Rahma terdengar. Tanda-tanda bahwa rekaman mengaji muratal sore akan diputar. Matahari sore akan menutup dengan gelap malamnya. Mereka berdua bergegas pulang.

Alki memasuki area masjid. Ia melepas alasan kaki dengan duduk di teras masjid Jabal Rahma. Datang seorang paruh baya. Bernama Pak Suryono. Biasa disebut Pak Yono. Usianya sekitar lima puluh lebih. Tumbuhnya gempal, sedikit berkumis, jika bicara sangat kental dengan logat ngapak-nya. Urat-urat ditangannya bermunculan berwarna kehijauan seperti film Hulk.

Ia sudah lama berada di masjid Jabal Rahma. Tugasnya membersihkan segala yang kotor di masjid. Beliau terkenal galak terhadap jamaah yang seenaknya di masjid. Maka tidak heran jika Masjid Jabal Rahma selalu bersih. Tapi sebaliknya Pak Yono akan baik hati dengan mereka yang sopan.

Terkadang beberapa warga di perumahan Cirendue menggunakan masjid untuk acara pernikahan.

Alki sering ngobrol-ngobrol santai dengan Pak Yono. Pak Yono dulunya adalah Supir dari Pak Haji Lakmana Umar pemilik masjid Jabal Rahma. Karena Pak Yono orang jujur dan amanah. Setelah masa jadi supir selesai Pak Yono tetap kerja di rumah Pak Lakmana Umar sampai saat ini.

Di masjid Jabal Rahma selain ada bagian kebersihan ada penjaga keamanan masjid. Bernama Babeh Ikin yang merupakan nama panggilan, dan Pak Jun. mereka bergantian menjadi security masjid.

Dari tahun-ke tahun masjid Jabal Rahma semakin maju sejak di bawah kepemimpinan Ketua DKM yang baru bernama Ustadz Yusuf, seorang ustadz muda bergelar M.A studi Hadist IIQ dengan basic penghafal Al-Qur’an. Beliau berguru pada dua ulama besar Prof Ali Mustafa Yakub dan Dr M. Akhis Sakho. Lengkap sudah keilmuanya untuk memimpin masjid bersejarah itu.

Banyak program yang dibuat salah satunya, Program penghafal Al- Qur’an untuk mahasiswa. TPA untuk anak-anak setempat. Kajian spiritual pekanan untuk masyarakat dan jamaah. Dan yang terbaru berdiri sekolah dasar untuk anak-anak dengan konsep Hafal Quran modern, berakhlakul karimah.

“Baru pulang ngajar Mas Alki. Sore benar ya,” ujarnya.

Alki menoleh sambil menyalami kedua tangannya. “Iya tadi ke Gintung dulu Pak. Cari hiburan dikit,” jawab Alki dengan senyuman.

“Semangat aja Mas Alki biar jadi orang sukses. Jangan kaya saya. Cuma jadi tukang sapu,” dengan nada Jawa ngapak yang medok banget. Sambil merapikan beberapa dedaunan kering yang berada di depan masjid.

“Ah, Pak Yono bisa aja. Jusrtu saya banyak belajar dari Pak Yono,” jawab Alki.

“Ustadz ada Pak?” tanya Alki pada Pak Yono.

“Tahu ya. Tadi sih katanya mau pergi ke Bintaro ada urusan bentar,” jawab pak Yono seperti tidak yakin.

“Di atas ada siapa Pak?” kembali Alki berujar.

“Sepi anak-anak mahasiswa pulang malam katanya,” balas Pak Yono.

“Berarti yang Imam Maghrib saya nih?” ucap Alki.

“Kalau Ustadz belum datang dari Bintaro yang imam ya Mas Alki no,” jawabnya tegas. Kata no bukan Bahasa Inggris itu istilah Bahasa Jawa.

Alki pamit ke Pak Yono. Alki mempercepat langkah menuju asrama di lantai atas sebelah masjid. Untuk berjaga-jaga jika Ustadz Yusuf tidak hadir maka imam maghrib digantikan olehnya.

Alki akan bergegas membersihkan seluruh badannya di kamar mandi.

“Eh Abang Ganteng. Baru pulang bang?” ucap anak asrama Junior bernama Ustman. Dengan senyum ramah. Ustman Mahasiswa UIN Jakarta Jurusan Filsafat. Ia mendapatkan beasiswa dari sekolah untuk masuk UIN Jakarta.

“Man jangan ngajak ngobrol dulu. Saya mau mandi. Ustadz belum ada yang gantiin,” sahut Alki dengan mengetok-ngetok kamar mandi.

“Masih ada orang Bang,” jawab Ustman.

Kalau sudah ngobrol dengan Utsman obrolan bisa sangat lama dan panjang. Ia benar-benar tipikal anak filsafat banyak bertanya.

“Iya atuh Bang. Ustman juga tahu Abang kan orang sibuk,” sahutnya dengan logat Sukabumi orang Sunda.

“Abang malam ini jadi dipijit enggak?” Ustman merayu. Ada sesuatu.

Alki seperti tidak bisa menolak. Karena pun di sekolah merasakan kelelahan teramat sangat, tulang-tulang ngilu jika digerakan. Butuh pijitan untuk melenturkannya.

Salah seorang keluar dari kamar mandi. Dengan tersenyum-senyum. Dengan handuk tanpa memakai baju, keluar dari kamar mandi tergesa-gesa.

“Sorry Bang lama. Sakit perut. Tadi juga airnya habis. Jadi nunggu dulu,” ucapnya santai sambil berjalan.

Ia bernama Nawir anak Aceh. Kuliah di dua kampus berbeda. Pagi di UIN Jakarta ambil jurusan hukum. Malam kuliah di STIE Ahmad Dahlan sekarang menjadi ITB Ahmad Dahlan. Jurusan Ekonomi.
Berbadan tinggi hampir 188 centimeter mirip pemain bola liga Premier Inggris. Matanya sedikit sipit berkulit sawo matang. Jika tersenyum ada sedikit ginsul yang membuatnya jadi sedikit manis.

“Udah buruan jangan kelamaan!” seru Alki.

Ustman mengumandangkan azan Maghrib dengan suara merdu. Allahu Akbar. Allahu Akbar.

Beberapa jamaah setia masjid Jamal Rahma sudah hadir sepuluh menit sebelum azan di mulai.

Alki bergegas turun dari asrama dengan berpakaian muslim rapi. Dilengkapi dengan peci dan al-Quran saku. Benar adanya bahwa Ustadz Yusuf belum hadir di masjid. Alamat bahwa dia harus menjadi imam shalat.

Alki melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib. Kemudian mengecek surat yang akan ia baca nanti ketika imam. Ia memilih surat-surat pendek yang pelafazan cukup sulit yakni surat Al-‘adiyat. Jika surat ini dibaca dengan tartil, jamaah yang mendengar dapat menangis dan terhanyut. Alki membacanya berulang-ulang walaupun sebenarnya ia sudah hafal. Tapi untuk meyakinkan bahwa surat yang dibaca satu huruf pun tidak boleh salah.

Ustman menoleh ke belakang. Ia memberikan isyarat bahwa Alki harus siap jadi imam. Hanya anggukan kepala yang dijawab oleh Alki. Ustman berdiri dan qomat tanda shalat maghrib akan dilaksanakan.

Alki melihat sudut shaff dari kanan ke kiri. Ia berucap. Rapatkan dan lurus shaff shalat karena itu bagian dari kesempurnaan shalat. Jamaah serentak menjawab sami’na wato’na.

Ia menenangkan diri untuk mengatur nafas. Kemudian ia bertakbir berta’audz dan membaca doa iftitah.

Tarikan nafas pertama Alki buka dengan surat Alfatiha yang merdu. Begitu enak dengar dan dirasakan oleh hati. Ia membaca surat Alfatiha benar-benar mengenai tepat perhuruf yang diucapkannya. Semua khusyuk menyimak.

Dari atas asrama Nawir baru mau turun ke masjid. “Ini yang imam pasti Bang Alki suaranya khas banget dah,” sayup-sayup terdengar ucapannya dari kejauhan.

Malam hari.

Suasana malam yang mulai sepi di masjid. Lampu-lampu sudah dimatikan. Ruangan semua menjadi gelap kecuali asrama anak-anak mahasiswa yang ramai. Beberapa di antara mereka ada yang sibuk dengan tugas perkuliahan. Ada yang sibuk menghafal Al-Quran. Ada yang sibuk masak mie rebus.

Sebaliknya Danau Situ Gintung tidak mau sepi, semakin banyak orang yang datang. Terutama mahasiswa dan mahasiswi entah apa yang mereka lakukan. Yang berada di tempat gelap. Ada yang sedang mancing malam, katanya lebih asyik. Ada yang tertawa terbahak-bahak. Sepertinya Danau Situ Gintung menyimpan kehidupan malam yang eksotis.

Alki duduk di lantai atas teras masjid. Ia duduk dengan sebuah buku tulis kecil. Disebelahnya ada kopi hitam yang begitu pekat. Matanya sayu tanda kelelahan karena profesinya mengajar menuntut ia bertindak lebih. Apalagi ia baru diterima. Dan jelas ia harus melakukan yang terbaik jika ingin terus diperpanjang kontrak mengajarnya.

Badannya kurus, tulang lehernya terlihat jelas seperti akar beringin yang menjuntai. Dahi yang sedikit lonjong tidak ditumbuhi rambut. Ia tipikal anak muda pekerja keras. Banyak cita-cita yang ingin capai. Cuma sepertinya harus terus bersabar. Karena kehidupan ini menunggu momen yang pas.

Mengajar adalah kesempatan terakhir Alki setelah ia resign diberbagai perusahaan yang telah memberinya pengalaman. Ingat, bukan uang tapi pengalaman. Pengalaman itulah yang membuatnya dapat bertahan di Kota Besar Jakarta.

Alki pernah mencicipi bekerja menjadi OB di Sudirman lantai 11 depan Grand Indonesia. Tak bertahan lama ia berlabuh ke PIM menjadi staff elektronik produk Apple. Suatu kebanggaan karena ia bekerja di produk buatan Steven Job pendiri Apple inc. Ia pun pernah mencapai prestasi terbaik dengan penjualan tertinggi. Dengan itu pula dipromosikan menjadi SPV. Tidak lama kemudian ia mencoba dunia Call Center di Telkom BSD. Setelah ia putus asa akhirnya memutus resign. Hidupnya seperti mengalami ketidakpastian.

Ketika seperti itu ia mengingat seorang teman bernama Ucok anak Medan yang hilang tapi ia masih menyimpan kontaknya. Ucok menyarankan bertemu dengan Ustadz Yusuf. Akhirnya Alki menemui Ustadz Yusuf setelah diberi nasehat, Alki memutuskan untuk tinggal di masjid sampai ia mendapatkan pekerjaan berikutnya.

Alki menulis setiap yang ia alami di sekolah. Termasuk Hanni anak didiknya yang penuh tanda tanya. Buku-buku agenda yang dibelinya hampir semua penuh dengan tulisan.

Malam ini pun sama, ia kembali menulis. Terkadang ia menatap langit yang penuhi bintang-bintang di langit. Terkadang pula ia menyimak serius obrolan anak-anak asrama di pos security walaupunnya jaraknya cukup jauh.

(***)