Bab 9
Hanni berangkat ke sekolah dengan wajah sedikit murung. Hanni hampir tidak ingin pergi ke sekolah.
Gojek yang dipesankan bibinya untuk Hanni sudah berada di depan rumah. Hari ini Joglo cukup cerah. Walaupun di beberapa tempat awan hitam masih bertengger menunggu hukum alam, apakah hujan segera turun atau malah cuaca menjadi cerah pada hari ini.
Area Joglo di perempatan Jenggol menjadi pekerjaan rumah untuk Pemprov DKI Jakarta. Karena perempatan ini selalu macet. Asap knalpot mulai mengepul-ngepul menghiasi jalanan. Ruas jalan yang kecil membuat kendaraan dengan mudah membikin penuh sesak jalanan. Dan petugas lalu lintas jarang sekali hadir untuk mengurai kemacetan tersebut.
Gojek yang membawa Hanni terlambat sampai ke sekolah. Beberapa teman Hanni sudah berdatangan dari tadi di sekolah. Sasi dan Karin sudah berada di dalam kelas sejak beberapa menit yang lalu. Tak luput turut hadir di dalam kelas Mr Alki.
Mr Alki menyapa ramah para murid yang telah hadir disertai dengan senyuman penuh antusias. Mr Alki pun berdiri di depan kelas. Mr Alki berdiri di samping pintu masuk kelas untuk menyambut anak-anak.
“Assamu’alaikum Kakak-kakak,” ujarnya sambil merapatkan kedua tangannya.
Anak-anak yang hadir pun membalas dengan senyuman tersungging. Di antara mereka ada yang memeluk Mr Alki. Gairah semangat yang ditularkan Mr Alki ke anak-anak membuat mereka menjadi sangat senang datang ke sekolah.
Anak-anak masuk ke dalam kelas dengan salam. Mereka meletakan tas masing-masing di area belakang bangku. Setelah itu mereka mengisi emoticon hari ini yang berada di samping papan tulis.
Kelas mereka dihiasi dengan beberapa gambar dan poster berbahasa Inggris. Seperti jagalah bumi. English Everyting karena sekolah mereka mewajibkan untuk berbahasa Inggris dan Arab, sebagai ciri khas mereka.
“Mr Alki hari ini pelajaran apa saja. Sasi mau tulis di papan tulis,” ucap Karin dengan wajah malu-malu.
Karin sedikit bertumbuh tambun dengan wajah yang tembem. Jari-jarinya pun halus. Jika bicara suaranya sangat pelan, mirip sekali seperti orang sedang berbisik. Ia merupakan anak yang melankolis namun cerdas. Nilainya di setiap semester selalu bagus tidak pernah beranjak dari tiga besar kelas.
Sedangkan Sasi anak yang suka mengatur segala hal. Sasi paling bisa untuk membuat kelompok di kelas. Sasi pun tidak pernah ragu untuk mengungkapkan isi hatinya, jika itu merusak perasaannya. Ada sedikit kekhawatiran bagi Karin untuk menjauh dari Sasi.
Lain halnya dengan Hanni ia anak yang sangat supel, mudah sekali disukai oleh teman-teman. Hampir seluruh kelas berteman dengan Hanni. Wajahnya pun sangat menarik dengan hidung yang mancung, jidat sedikit ke atas dan dagu yang lonjong dengan badan sangat proporsional.
Sebenarnya ada satu lagi teman diantara mereka bernama Aliyah. Tapi Aliyah jarang sekali berkumpul dengan mereka. Terkadang sering telat jika datang ke sekolah. Aliyah terkadang suka banyak bercerita dengan mereka.
Sesekali Sasi, Karin, Hanni dan Aliyah terlibat adu mulut dengan anak laki-laki. Maka Sasi lah yang paling berani menghadapi anak laki-laki, bahkan matanya dapat melotot jika ia dibuat marah.
Hanni kemudian menceritakan kisahnya kepada Sasi dan Karin. Sebelum bel berbunyi mereka sudah berada di pojok kelas dengan membuat sebuah lingkaran kecil. Mereka membenarkan posisi duduknya masing-masing.
“Hanni kamu kenapa sedih sih?” tanya Sasi.
Karin kemudian berbisik di telinga Sasi. “Mungkin Hanni sakit Sas.”
Tiba-tiba seorang anak laki-laki masuk kelas dengan suara nyaring. “Alhamdulillah sampai di kelas,” ucap Reno dengan nafas yang masih naik turun. Ia sedikit mengibaskan rambutnya yang basah karena terkena air hujan.
“Yah mereka lagi. mereka lagi,” sahutnya sambil menatap Sasi, Karin dan Hanni.
Sasi dengan mata melotot seperti menahan ingin berucap tajam. ”Apaan si kamu Reno. Ganggu saja,” balas Sasi.
Reno tidak berani menjawab, ia hanya terdiam sambil berjalan ke arah belakang dan meletakkan tasnya yang bergambar iron man.
Aliyah masuk ke kelas. “Kita main di luar aja yuk,” ajaknya pada Hanni dan kawan-kawannya.
Sepertinya pagi semakin naik.
“Ayo semua yang belum berwudhu, segera ya,” perintah Mr Alki pada anak muridnya.
Banyak diantara mereka yang berhamburan menuju ke tempat wudhu dan mengantri dengan rapi. Mereka walaupun baru duduk di kelas semester satu tapi sudah sangat tertib. Setelah berwudhu mereka melaksanakan shalat dhuha bersama-sama di kelas. Bel berdering. Tanda anak-anak semua harus masuk kelas. Sebelum masuk kelas mereka berdiri di samping kelas untuk melaksanakan Ikrar Pelajar Muslim.
“Kami bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah SWT. Islam adalah agama kami dan percaya kepada Al-Qur’an. Kami adalah pemimpin di muka bumi ini. Menyayangi semua makhluk”.
Hentakan suara mereka diiringi dengan hembusan angin dan melipirnya daun rambutan yang sudah menguning. Perlahan mendarat di depan kelas.
Sebelum masuk kelas Mr Alki memberikan beberapa pertanyaan terlebih dahulu. Seperti pengetahuan umum dasar, perkalian dasar sampai pada bacaan surat-surat pendek.
Pelajaran pertama di mulai dengan materi keislaman.
“Kita sebagai anak yang baik harus mendoakan kedua orang tua kita,” ujar Mr Alki sambil berdiri menatap ke arah kanan dan kiri guna mengawasi anak-anak..
“Ustadz,” salah seorang dari murid memanggil Mr Alki.
“Jika orang tua kita tidak ada di rumah apakah kita juga harus mendoakan mereka?” sambungnya lagi.
“Sebentar ya,” dengan sabar Mr Alki berucap.
“Ustadz lanjutkan dulu penjelasannya di dalam Q.S Al-Isrol. Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua kita. Bukan hanya itu saja.” sambil menatap serius.
Mr Alki melanjutkan, “Tapi berbuat baik pada sesama seperti tetangga, kerabat terdekat, sampai pada orang tidak mampu. Inilah yang Allah SWT inginkan dari kita, agar kita semua menjadi muslim yang baik,” terangnya.
“Adapun dengan pertanyaan teman kita tadi. Bagaimana jika orang tua kita tidak berada di rumah apakah kita harus mendoakannya. Tentunya sebagai anak yang sholeh dan sholehah kita harus mendoakannya, seperti teman-teman di kelas ini,” terang Mr Alki dan terlihat wajah para siswa tersenyum bangga.
“Kita harus mendoakan orang tua kita dalam keadaan apa pun,” tegas Mr Alki.
Terlihat para murid menganggukkan pelan kepala mereka.
Bel istrahat pertama berbunyi.
“Sebelum sarapan berdoa dulu ya,” seru Mr Alki pada murid-muridnya.
“Baik Ustadz,” jawab mereka dengan serentak.
Mr Alki berjalan mengitari kelas sambil melihat menu makanan yang anak muridnya bawa dari rumah ke sekolah.
“Ustadz hari ini aku makan beras merah. Kata bunda biar aku sehat,” ujar Aliyah dengan mengangkat tempat makannya di depan Mr Alki.
“Oke bagus Kak,” balas Mr Alki.
“Hanni bawa menu apa pagi ini?” tanya Mr Alki pada Hanni yang sejak tadi tidak bersuara.
Mr Alki perlahan mendekat ke arah Hanni yang terlihat masih terdiam.
“Aku cuma bawa ini Ustadz,” dengan menunjukkannya di depan Mr Alki.
“Owww..roti tawar dilapisi coklat,” Mr Alki memasang wajah pura-pura terkejut.
Ia melanjutkan, “Ustadz juga suka dengan roti tawar Kak.”
“Tapi roti tawar ini dibeli Ustadz bukan buatan Mami aku,” selanya dengan nada sedikit kesal.
“Emang Maminya kemana?” tanya Mr Alki.
“Mamiku lagi sakit Ustadz,” ungkapnya dengan mata seperti ingin menangis.
Mr Alki dengan sigap memahami keadaan Hanni dan dengan cepat ia menenangkannya. “Yuk kita berdo’a bersama-sama, semoga hari ini yang sakit segera disembuhkan, dan hari ini kita selalu bahagia.”
“Amiin,” anak-anak menjawab dengan penuh semangat.
(…bersambung)