Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerbung: Melawan Maling (6)

Bab 6
Melawan Maling

Malam ini cukup membuat Alki lelah. Pekerjaannya sebagai guru harus membuatnya banyak persiapan. Baik sebelum berangkat mengajar atau pun sesudahnya. Selesai mengajar di sekolah, Alki harus menyelesaikan banyak administrasi sekolah. Apalagi rancangan pembelajaran yang dibuatnya kemarin harus direvisi lagi supaya lebih bagus. Untuk malam ini semua ditundanya.

Ia hanya ingin merehatkan badan yang lelah bekerja hampir sepuluh jam sehari. Badannya terasa remuk. Tulang belulang berasa ngilu. Urat-urat seperti terkena setrum. Apabila bergerak sedikit terasa sakit.

Alki merebahkan badannya di atas karpet teras masjid berwarna hijau tua. Karpet tebal cukup untuk mengobati lelahnya hari ini.

Beberapa kata ia tulis dengan mengalir. Alki awalnya mencatat yang remeh-temeh dulu seperti kejadian pagi hari dan malamnya.

“Ah menulis. Tak semudah membuat kopi hitam,” ucapnya sendiri.

Di keheningan malam jam sepuluhan. Sebuah keheningan membuatnya ingin terlarut dalam sebuah kata-kata dan imajinasi.

Ada sepucuk harapan yang besar dibalik tulisan-tulisannya. Ada cita-cita tinggi yang harus diraihnya. Ada sebuah senyuman terukir yang membuatnya terus bersabar dalam menghadapi sebuah roda kehidupan. Dan ada doa yang ia selipkan disetiap tulisannya.
Jari square-nya berhenti sejenak. Mata Alki terpengaruh oleh bintang-bintang kecil yang saling menyapa.

Dengan santai Alki menyeruput kopi yang tadi ia buat tapi lupa diminum. Walaupun terasa dingin terkena angin malam kopi tetap memberikan rasa ketenangan.

Perlahan-lahan pikirannya bermain dengan cepat. Seakan-akan topik yang satu dengan yang lain bergantian muncul seperti iklan TV.

Ingat membawanya jauh sekali ke Muntilan, Magelang. Tempat dimana ia menghabiskan masa remajanya. Alki tidak menulisnya padahal itu adalah harta karun bagi penulis. Ia hanya merasakannya saja. Ia pun tidak tergesa-gesa untuk langsung menyudahi memori itu. Sekali lagi ia menikmatinya. Seperti ada gairah pada kenangan itu. Sang penulis malam.

“Mas Alki,” teriak penjual somay di depan masjid.

Alki seperti mengenali dimana suara itu berada. Ia berdiri dan membuka jendela.

“Iya Bang Mamang. Kenapa ya,” ia menyahut dengan mengeluarkan sebagian badan dan kepalanya.
Alki berpikir, “Ini orang ya. Menganggu saja.” Tapi mau tidak mau ia harus menjawab panggilan Pak Mamang. Karena hanya Pak Mamang lah yang mau dihutangi somay oleh anak masjid. Jika menolak maka jatah untuk lauk makan tidak ada.

Pak Mamang orang Garut yang merantau ke Ciputat ia mengontrak di rumah Pak Haji Lakmana Umar pemilik masjid Jabal Rahma. Pak Mamang kehidupannya mirip dengan kelelawar. Malam ia terjaga. Siang dia tidak nampak. Prinsipnya apa pun itu harus menghasilkan uang. Malam hari selain menjual somay, ia juga sering mencari benda-benda berbahan makanan dan minuman yang terbuat dari plastik di dekat Danau Gintung.

Apalagi pengunjung Danau Gintung banyak. Dengan mereka berkunjung mereka akan banyak membeli snack-snack. Maka itu menjadi lahan manis untuknya dalam rangka mengumpulkan benda-benda plastik tadi.

Jika bulan berikutnya sudah tiba ia akan menjual seluruh benda-benda plastik itu. Tidak tanggung-tanggung kemarin ia mengantongi lima juta. Sempat dimarahi Pak Haji karena di samping kontrakan menggunung benda-benda plastik. Dan itu membuat pemandangan yang tidak nyaman buat yang lain. Tapi Pak Maman dengan segala lobi-lobinya ke Pak Haji Lakmana semua bisa teratasi.

“Itu ada yang masuk masjid,” ucapnya pelan sambil menuju pagar masjid yang tepat berada di depannya. Sedangkan Alki menyimak dari atas. Segera ia turun. Ia membangunkan Nawir dan Ustman.

“Man bangun bentar,” lalu ia mengajaknya ke bawah. Dengan berat Ustman mengusap matanya.

“Ada apa Bang. Udah malam ini,” balasnya dengan mata masih berat untuk dibuka.

“Kita akan menangkap maling.” Ustman terkejut bukan main.

“Maling..?”dengan segera ia membuka mata.

“Jangan keras-kerasnya!” seru Alki.
“Kita periksa dulu. Jangan-jangan Pak Mamang salah lihat orang,” tambahnya lagi.

Nawir masih meringkuk dengan selimut sarung yang menutupi tubuhnya.

“Wir bangun dulu!” perintah Ustman.
Nawir karena sudah sangat kelelahan dari pagi ke kampus, sore ke kampus lagi, dan malamnya masih harus menunggu warung. Jelas sangat sulit dibangunkan.

Akhirnya Ustman menyerah sendiri. “Udah Bang kita saja memeriksa maling itu,” ucapnya.

Mereka berdua turun dari asrama. Ustman menenteng sapu besi milik masjid. Sedang Alki membawa senter kecil.

Mereka mengitari masjid tanpa bersuara sangat pelan. Suara kaki mereka pun tidak terdengar sekali pun. Justru mereka malah mendengarkan suara-suara tidak jelas dari para pengunjung Danau Situ Gitung.

Mereka melanjutkan langkah menuju area sekolah yang baru bangun. Sekolah bertingkat dengan lantai atas tiga ruang besar. Di ujung terdapat kamar kosong. Setelah itu tidak ada bangunan kecuali danau yang bersemak-semak tinggi. Bahkan hewan seperti musang, ular masih bersarang di semak-semak itu.

Area sekolah sebenarnya sudah dilapisi dengan kawat tajam untuk menghindari kemalingan. Tapi tetap saja ada barang-barang milik yayasan yang raib disikat maling. Padahal security selalu berjaga malam. Apa boleh buat security sudah tua. Jika datang ia hanya absen saja, kemudian menggelar tikar di teras masjid dan terlelap dengan dengkurannya yang keras. Ketika Alki melewatinya, security itu sedang tertidur pulas.

Udara malam yang dingin mulai menyelinapi tubuh mereka. Mereka seakan-akan takut jika ada hewan buas seperti ular dan musang. Karena semak belukar sangat cocok untuk hewan-hewan berdarah dingin. Hewan itu tidak suka diganggu, bisa saja ia menghajar kedua anak muda tersebut.

Mereka terus berjalan dengan hati-hati. Di dalam ruang pojok atas ada sesuatu yang bergerak disertai bunyi kriiiiit…, dengan sangat halus. Seperti ada yang mengangkat benda. Lampu semua dalam keadaan mati, maka hal itu jadi tidak terlihat.

“Tidak salah lagi Man ini pasti maling,” sela Alki kepada Ustman tepat di sisinya.

“Kita harus segera masuk. Sergap, tangkap dan sikat mereka,” sambung Ustman penuh semangat. Sedikit mirip polisi yang menangkap para bandit di jalanan.

“Jika mereka membawa komplotannya. Kita bisa kalah Man,” seru Alki.

“Kita berteriak maling saja Bang,” Ustman membela diri.

Sambil menarik nafas pelan Alki berujar, “Memang anak muda jika sudah semangat sulit dikendalikan.”

Di sekitar Danau Situ Gintung malam semakin larut. Kecuali warung Nawir dan Tukang Somay yang masih terjaga. Warung Nawir yang menjaga orang lain.
Kendaraan yang biasa melewati jalan tersebut sudah sangat berkurang. Saat seperti ini impian bagi para maling beraksi dan memiliki peluang untuk sukses dengan permalingannya. Tapi di sisi lain, waktu menjelang subuh adalah kenikmatan untuk tidur pulas. Mereka mulai mengatur strategi untuk menangkap maling.

“Man sebelum masuk ke ruangan pojok. Kamu nyalakan lampu dengan segera, ” perintah Alki pada Ustman dengan berbisik.

Ustman menyalakan lampu. Alki dengan cepat menendang pintu ruang labor komputer. Pintu menganga. Engsel terlepas. Maling terkejut, ia akan meloncat melalui jendela.

Alki terpeleset di lantai. Sandal jepit yang ia pakai lepas karena sudah menipis. Utsman dengan cepat melemparkan sebuah sapu besi sepanjang dua lengan orang dewasa ke Maling. Maling terkena dibagian belakang. Ia meringis kesakitan. Aaaa…. Ternyata maling memakai topeng berwarna hitam seperti ninja. Ia mengeluarkan sesuatu. Alki segera berdiri mengambil ancang-acang. Ustman tanpa aba-aba segera mengeluarkan jurus tendang seribu bayangan.

Maling mengelak ia mengeluarkan benda tajam. Ia membalik badan dan menyerang balik Ustman dengan benda tajam. Ustman terjatuh, benda cair berwarna merah keluar dari perutnya. Ia memekik pelan dan tersungkur ke lantai.
Aaaa…

Alki dengan sigap mengangkat meja lalu melemparkannya ke arah maling dan sambil berteriak, “malinggggg…malinggggg….” Maling panik lalu ia melompat ke semak-semak.

Alki menatap Utsman yang kesakitan.
Dari ruang labor komputer. Ada teriakan muncul. “Dimana Mas Alki,” terdengar suara sambil berlari.

“Di labor Pak,” balas Alki dengan tetap memegang tangan Ustman.

“Sabar ya Man. Nanti ada yang bakal menolong kita,” ucap Alki dengan kasihan menatap Ustman.

Inna Lillahi.
Pak Mamang tiba-tiba masuk dengan beberapa rombongan.

“Kenapa begini?” tanyanya.
“Mana Malingnya?”

“Ustman terluka Pak,” sela Alki

“Cepat bawa ke masjid! “ ujar Pak Iqin yang ikut dalam rombongan.

Ustman digotong. Ia meringis menahan rasa sakit, ia memegang perutnya.

(…bersambung)