Bab 10
Hari beranjak siang. Sinar matahari mulai menyengat kulit. Beberapa orang tua yang sedang menjemput anaknya berada di depan gerbang sekolah. Tidak semua orang dapat masuk semaunya di sekolah menengah atas. Ada kartu yang sudah disediakan oleh pihak sekolah bagi para penjemput. Tanda kartu mirip ATM. Penjemput dilarang keras untuk masuk area sekolah dan bisa diusir. Peraturan tersebut sudah disepakati sejak awal masuk sekolah.
Siswa di kelas level satu terlihat sudah mulai keluar dari kelas. Mereka dengan rapi berbaris dengan dipimpin oleh guru masing-masing. Anak-anak mengikuti dari belakang sampai ke depan pintu gerbang.
Petugas pemanggil murid pun sudah duduk sejak tadi. Para orang tua dengan tertib meletakan kartu jemputan. Guru petugas satu persatu memanggil para siswa yang sudah dijemput.
Petugas pemanggilan siswa memegang microphone. “Bagi Ayah dan Bunda diharapkan tertib ya demi kenyamanan anak-anak kita,” ucapnya disertai senyuman ramah.
Para orang tua pun dengan cepat berbaris. Murid-murid kelas satu yang telah melihat Ayah-Bundanya. Mereka berteriak. “Ayah aku di sini!.” Yang lain pun mengikuti. Membuat suasana penjemputan mulai ramai dengan suara teriakan anak-anak. Satu persatu para murid meninggalkan sekolah. Hanya ada beberapa siswa yang masih di sekolah.
“Ah., Terlambat lagi. Terlambat lagi,” ujar Hanni memasang wajah cemberut.
Mr Alki memanggil Hanni. “Kak Hanni ayo masuk kelas yuk,” ajak Mr Alki agar dapat mengontrol Hanni supaya ia tidak keluar dari sekolah.
Mr Alki mengambil kertas putih dan spidol ia menyerahkan pada Hanni. “Kak Hanni boleh mewarnai hewan rabbit ini deh. Sambil menunggu jemputan,” ungkap Mr Alki sambil menyerahkan kertas tersebut.
Hanni walaupun dengan berat hati, ia mengambil kertas yang diberikan Mr Alki.
“Apakah Hanni ingin bercerita sesuatu ke Mr,” ucap Mr Alki sambil menatap Hanni.
Hanni lagi duduk di teras kelas di atas karpet merah bergambar wortel besar.
“Iya Mr,” jawab Hanni.
“Bunda aku masuk rumah sakit. Sekarang belum pulang,” ujarnya dengan sedikit khawatir.
Pada masa usia anak-anak seperti Hanni, biasanya mereka sangat takut kehilangan orang terdekatnya. Apalagi orang tersebut sudah dikenal dengan sangat baik olehnya.
“Bunda Kak Hanni dibawa ke Rumah Sakit karena apa?” tanyanya Mr Alki.
“Bunda aku kerja terus. Suka pulang malam,” jawab Hanni polos.
“Ayah Hanni memang tidak ada rumah atau lagi kerja juga?” tanya Mr Alki lagi.
“Aku kan tidak tahu ayah aku Mr,” jawabnya polos.
Mr Alki sedikit terkejut tapi mencoba mengendalikan diri. “Kasihan anak satu ini. Pantesan sejak tadi risau terus,” pikirnya sambil menatap lekat wajah Hanni yang mengenakan jilbab putih.
Mr Alki sudah bisa menebak kemana pembicaraan anak kecil satu ini. Mr Alki tidak ingin mengungkit masa lalu anak kecil manis yang berada di depannya. Bisa jadi ayahnya pergi meninggalkan Hanni waktu kecil.
“Tapi mengapa pihak sekolah tidak memberitahu jika ada anak yang seperti ini. Seharusnya aku sebagai guru tahu data pribadi murid-murid dengan detail agar jika ada suatu tentang anak tersebut. Aku dapat mengambil langkah-langkah tertentu,” ujarnya sendiri dalam hati.
Mr Alki baru tersadar bahwa ketika Hanni masuk sekolah di raport hanya tertulis nama bundanya saja. Tidak ada secuil pun nama ayahnya. Walaupun sebenarnya waktu itu ia ingin sekali bertanya tapi takut menyinggung perasaan orang tua murid. Akhirnya pertanyaan itu tak muncul-muncul dan menghilang begitu saja.
Dering pesan WhatsApp berbunyi nyaring dan bergetar di meja Mr Alki. Tertera di notification Bibinya Hanni mengirim pesan.
Mr Alki membuka pesan tersebut, ”Mr jemputan Hanni akan segera tiba di sekolah ya, terima kasih. Just info,” ujar pesan tersebut.
“Hanni jangan takut ada Mr Alki di sini yang gagah berani menjaga Hanni. Oke.” ucapnya sambil tersenyum guna menghibur Hanni.
Hanni pun sedikit lega. “Ia deh percaya sama Mr Alki yang paling sedunia,” ucap Hanni.
Mr Alki pun membalas dengan tertawa keras. “Ahahhhahhhah.”
“Hanni tunggu di kelas dulu ya. Jangan kemana-mana. Sebentar lagi jemputannya datang. Biar enggak bingung Mr nyarinya nanti!!” Perintah Alki pada Hanni.
Cerita tadi membuat Hanni menjadi lupa dengan apa yang sedang ia alami. Sebenarnya Mr Alki sengaja mengajak Hanni bercerita supaya Mr Alki sebagai guru, mengetahui kondisi anak didiknya.
Mr Alki dalam keadaan tertentu bisa menirukan suara anak kecil, kemudian dapat menjadi raksasa dengan suara besar, dan meniru menjadi Presiden dengan nada suaranya. Hal itu membuat anak-anak di kelas satu merasa terhibur dan seperti memiliki teman yang mengerti akan keadaan mereka di kelas.
Mr Alki seperti tahu kondisi anak-anak sehingga dengan mudah mengajak mereka pada kebaikan. Maka konsep berdialog aktif menjadi sangat penting dan menarik.
Mr Alki melangkah menuju ke dapur sekolah guna menyeduh kopi. Dapur yang berada di dekat labor komputer.
Di dapur sudah ada sarana dan prasarana buat masak memasak.
Terlihat seorang perempuan bernama ibu Sarti. Ia menyapa Mr Alki. Ibu Sarti sudah sangat lama berada di sekolah tersebut. Peran guru sedikit berkurang dengan keberadaan ibu Sarti, karena beliau walaupun perempuan selain bertugas membersihkan piring-piring di dapur. Ia juga membersihkan toilet sekolah. Maka tak heran toilet sekolah selalu bersih dan wangi.
“Mr Alki mau ngapain?” tanya ibu Sarti dengan tersenyum. Mr Alki sudah sangat akrab dengan para pegawai di sekolah. Walaupun Mr Alki terhitung baru setahun mengajar di sekolah formal itu. Namun ia sangat mudah bergaul. Dengan kepribadiannya yang ramah dan suka tersenyum jika bertemu orang lain membuat orang senang dengan Mr Alki.
Mr Alki pun tidak pernah sungkan untuk membantu jika ada yang memintanya.
Dengan perawakannya yang sedang ditambah profesional kerjanya membuat ia langsung menjadi wali kelas satu. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang besar untuknya.
Mr Alki pun selalu bertanya kepada guru-guru senior, bagaimana cara menghadapi anak-anak kelas satu level bawah. Karena kelas level bawah memang memiliki kerawanan yang cukup tinggi dalam hal apa-pun. Jadi menuntut Mr Alki harus selalu sigap dalam setiap keadaan. Terkadang orang tua murid pada jam sepuluh malam bertanya alasan yang sangat sepele. Seperti Mr besok pakai baju seragam apa. Boleh tidak pakai baju lain. Atau pertanyaan lain, Mr minta tolong kirim jadwal harian ya.
Sudah dapat dibayangkan betapa berat kerjanya Mr Alki sebagai seorang guru. Itu pun gaji Mr Alki belum menyentuh standar UMR padahal itu sekolah elit Islam. Tapi sekali lagi Mr Alki hanya ingin bekerja dan mencari berkah hidup. Ia terkadang tidak memperdulikan hal-hal itu. Atau yang disebut nothing tulus.
Setelah selesai menyeduh kopi panas Mr Alki kembali lagi kelas. Terlihat Hanni dengan semangat mewarnai kertas yang telah diberikan oleh Mr Alki tadi. Mr Alki masuk dengan salam.
Hanni kemudian menoleh ke arah Mr Alki. “Mr ngopi terus. Emang enak ya?” tanya Hanni pada Mr Alki yang sedang membawa kopi.
Mr Alki melewati Hanni dan duduk di bangkunya. “Tentunya enak Kak. Biar seger mata Mr,” jawab Mr Alki diselingi dengan senyuman tersungging.
Panggilan untuk Hanni terdengar keras di sound yang menempel di dinding kelas. “Kakak Hanni sudah dijemput oleh Gojek. Silakan ke depan gerbang. Terima kasih.” Seperti itulah bunyi panggilan untuk Hanni.
Hanni pun bergegas mengambil tas yang ia letakan di belakang kursi. Mr Alki pun menuntun Hanni menuju gerbang sekolah.
(…bersambung)