Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

SEREMONIAL BIASA

(CIO) — Maaf bukannya malas menulis. Atau apalah yang membuat seorang penulis tiba-tiba berhenti pada satu waktu untuk melanjutkan tulisan mereka sendiri. Jangan pula dilabeli dengan pepatah klasik seribu macam alasan.

Begitulah keadaannya, terkadang seorang harus berhenti sejenak untuk melihat ke belakang. Melihat ke belakang dalam rangka meneliti apakah jejak yang dibuat waktu itu masih bisa dipakai atau tidak. Jika bisa dipakai alangkah beruntung seorang pembuat karya tersebut. Seandainya tidak bisa dipakai pun, tidak bisa juga divonis karyanya jelek. Sedikit pembacanya, sedikit pembeli karyanya, atau pun lain-lain.

Si pembuat karya, tetaplah dia paling depan. Karena ia sudah memulai lebih dulu berbuat. Dengan segala duka yang ia miliki. Banyak cerita yang tidak enak didengar oleh para peserta yang hadir dalam sebuah acara peluncuran sebuah karya baru.

Ada seorang seniman yang memotong telinganya, untuk membuat sebuah lukisan. Ia bernama Vincent Van Gogh berasal dari negeri Kincir Angin atau Belanda. Lukisan yang ia buat tersebut bernama Self Potrait with Bandaged Ear. Dan lukisan itu sangat mahal harganya.

Ada pula seniman menjadi penyendiri untuk menghasilkan tulisan hebat. Seperti Prameodya Ananta Toer, yang pernah diasingkan di Pulau Buru. Karya yang dilahirkan pun tidak main-main Bumi Manusia. Roman tetralogi yang mengambil latar belakang nation Indonesia di abad ke-20.

Mereka sebagai penggerak yang melangkah untuk mengambil inisiatif untuk berbuat bukan sebaliknya. Berkomentar kurang positif atas karya orang lain.
Kita sulit membayangkan dengan kondisi bangsa kita saat ini jika tidak merdeka. Para pahlawan berjuang untuk bangsa Indonesia dalam memerdekakan dari para penjajah. Jika kita tidak merdeka mungkin kita akan menjadi bangsa yang terpecah-pecah. Perang yang tak berkesudahan.

Ternyata skenario Allah SWT masih ingin menjaga bumi pertiwi ini. Sehingga Indonesia menjadi merdeka melalui kata-kata yang berapi-api Allahu Akbar. Kata yang sangat lantang diucapkan oleh Bung Tomo. Pecahlah perang di Surabaya. Berkorban jihad fisabilillah dalam rangka membela NKRI untuk melawan Inggris.

Beberapa tokoh seperti K.H Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah serta kyai-kyai di pesantren menggerakan santri dan masyarakat untuk bertempur habis-habisan. Banyak para pejuang yang gugur pada waktu itu. Hari itu dikenang sebagai Hari Pahlawan, 10 November.

Inilah yang harus membuat kita merenung betapa pentingnya bangsa kita. Berjuta-juta nyawa melayang untuk mempertahankan tanah bumi pertiwi ini. Bangsa ini menunggu jejak berikutnya dari para pemuda hebat. Untuk membangun negeri ini. Bukan sebaliknya menjual apa yang ada dalam negeri ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Maka penting untuk kita kembali membaca sejarah negeri ini. Dalam rangka kembali menulis sejarah baru tanpa melupakan sejarah lama bangsa sendiri. Kita perlu berkontribusi positif untuk bangsa ini. Berhenti merengek. Jadilah pemuda yang tegar, tahan banting, tidak manja, pantang menyerah, ulet, rajin, termotivasi tinggi untuk mencari ilmu. Seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW. Gunakan masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Karena jika tua sudah tiba, sudah berkurang daya yang tersisa. Tinggal upaya. Kata Dahlan Iskan habiskan jatah kegagalanmu sampai ia membawamu pada kesuksesan.

Momentum hari pahlawan kita sudahi dengan seremonial biasa. Kita harus meneladani sosok para pahlawan kita. Seperti kecintaan mereka terhadap tanah air, kedisplinan mereka, saling menghargai, tolong menolong, sampai pada waktu kita harus memajukan bangsa ini bersama-sama.

(***)

Penulis: Al Firdaus, Guru SD Islam Cikal Cendekia Tangerang