Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Sekuntum Mawar Putih di Mulut Gang (Part-1)

Sekuntum Mawar Putih di Mulut Gang (Part-1)
Sekuntum Mawar Putih di Mulut Gang (Part-1)

(CIO) — Pojok Bursa Efek Jakarta yang terletak di sudut Kampus Ungu Biru Yogyakarta jadi tempat favorit bagi Arifa dalam beberapa hari terakhir. Berbagai buku dan semua informasi terkait pergerakan harga saham dan pasar modal dilahap guna menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Analisis Pasar Modal.

Arifa didaulat menjadi Ketua Kelompok oleh teman-temannya untuk menggarap tugas kelompok yang telah diberikan oleh pak Agastya. Merasa memiliki tanggungjawab yang telah diamanahkan dipundaknya, Arifa menyibukkan diri merangkum dan menggali semua referensi yang ada, sehingga tugas kelompok itu nantinya bisa diselesaikan tepat waktu.

Arifa, merupakan mahasiswa perantau dari pulau seberang Jawa yang bergabung sebagai anggota di kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam di Kampus Ungu Biru.

Sudah menjadi salah satu persyaratan di organisasi yang berkecimpung di alam bebas tersebut, bahwa setiap Anggota Muda wajib menyelesaikan tugas pendakian individu dengan syarat harus mendaki dua gunung lengkap dengan catatan laporan perjalanan pendakian serta nantinya dipresentasikan dihadapan para senior.

Pendakian individu merupakan salah satu persyaratan wajib bagi semua Anggota Muda agar nantinya bisa dilantik menjadi Anggota Biasa.

Merasa dikejar oleh deadline tugas kelompok mata kuliah Analisis Pasar Modal dan persiapan pendakian ke salah satu Gunung, Arifa terlihat berjalan terburu-buru.

“Brakkkk….!!!” Sejumlah buku dan diktat berserakan di lantai kampus.

Seperti memiliki magnet semua mata tertuju ke pusat suara. Bak drama di sinetron terlihat seorang mahasiswa dan mahasiswi bertabrakan.

“Maaf, saya enggak sengaja menabrak mbak,” ungkap Arifa sembari mengumpulkan buku-buku dan diktat yang berserakan di lantai kampus dan menyerahkannya ke mahasiswi yang terlihat masih berdiri tertegun.

“Sekali lagi saya minta maaf mbak, saya lagi terburu-buru,” ulang Arifa dengan mimik serius dan tulus meminta maaf karena ketidaksengajaannya itu.

“Iya tidak apa-apa.” jawab si mahasiswi secara singkat padat dan jelas.

Dayani merupakan mahasiswi tingkat akhir di Kampus Ungu Biru, karena itu tentu saja jadwal perkuliahannya menjadi tidak begitu padat lagi dibandingkan dengan semester-semester sebelumnya.

Pagi itu Dayani bosan berada di kos-kosan dan berniat ingin ke perpustakaan kampus yang tepat bersebelahan dengan Pojok Bursa Efek. Niatnya ke perpustakaan sekedar ingin membaca majalah atau mungkin bisa berjumpa dengan teman-teman sekelasnya.

***

“Fa, tunggu” teriak Lupus memanggil Arifa.

Merasa ada yang memanggil namanya seketika Arifa menghentikan langkah kakinya, serta berusaha mencari sumber suara. Di ujung kampus terlihat Lupus melambaikan tangan kepada Arifa.

Setelah Lupus berada di dekatnya Arifa langsung bertanya, “Ada apa Pus? Sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan?”.

“Kamu dapat salam dari Dayani,” tegas Lupus kepada Arifa.

Sontak Arifa mengeryitkan dahinya sambil bergumam.

“Dayani? Sepertinya aku tidak pernah mengenal nama itu?” ujar Arifa sambil bertanya kepada Lupus.

“Itu lho mahasiswi tempo hari yang kamu tabrak di teras Pojok Bursa Efek” terang Lupus kepada Arifa.

“Dia kakak kelas kita, tinggal menyusun tugas akhir dan di wisuda,” urai Lupus kepada Arifa.

“Oke, kalau bertemu lagi dengan cewek itu sampaikan salamnya sudah aku terima,” ucap Arifa kalem.

“Namanya Dayani,” ulang Lupus menyebutkan nama mahasiswi semester akhir itu.

“Iya, Dayani… Eh, aku tinggal dulu ya, ada tugas kuliah yang harus diselesaikan nih,” ucap Arifa sambil berlalu meninggalkan Lupus.

***

Perkebunan teh terlihat terhampar hijau membentang. Di sepanjang perjalanan sejauh mata memandang hamparan hijau itu tampak begitu indah di jalur pendakian Kledung Gunung Sindoro. Dari kejauhan tampak sekelompok pendaki, berjalan kaki sambil bersenda gurau.

Cuaca sedikit cerah, meskipun dibeberapa tempat terlihat ada gumpalan awan hitam. Cuaca di gunung memang sulit di prediksi, kadang berkabut dan terkadang cerah. Sehingga para pendaki diwajibkan mempersiapkan peralatan pendakian seperti ringcoat atau jas hujan guna mengantisipasi jika sewaktu-waktu hujan turun secara tiba-tiba.

Arifa sesekali terlihat membetulkan tali carrier-nya. Dia berjalan di belakang teman-temannya. Sambil melihat ke arah puncak, Arifa terus melangkahkan kaki setapak demi setapak di jalur pendakian yang semakin lama semakin curam dan berbatu.

Arifa berfirasat bahwa hujan akan turun sebelum rombongan pendakian sampai ke puncak Gunung Sindoro. Arifa mengutarakan prediksi tersebut kepada teman-temannya untuk mencari tempat beristirahat serta mendirikan tenda, dan pendakian dilanjutkan pada esok hari saja. Selain guna menjaga stamina Arifa juga mendengar ada keluhan dari salah seorang anggota rombongan yang mengaku sudah kelelahan.

Ketika Arifa mengutarakan maksud tersebut sebagian anggota rombongan setuju dan sebagian lagi menolak. Terjadi perdebatan yang cukup alot. Tidak ada kata sepakat. Semua bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing.

“Tinggal sedikit lagi kita sampai di Puncak, setelah itu kita turun dan mendirikan tenda untuk bermalam, sudah tanggung ini…” kata Tino.

“Puncak memang sudah dekat, tapi kita juga harus memikirkan kondisi anggota rombongan, karena kita satu tim,” terang Arifa memberikan penjelasan kepada Tino dan teman-temannya yang tidak sepakat untuk bermalam dan mendirikan tenda.

“Masa jalur pendakian yang segini saja kita sudah keok, ayo dong tinggal sedikit lagi kita sudah sampai di puncak!!! Setelah ambil dokumentasi untuk laporan lalu kita turun,” ujar Tino bersikeras dan ngotot.

“Iya, tapi lihat itu kondisi Sito sudah kecapean, takutnya nanti kalau dipaksakan bisa kena hypothermia yang bakal kerepotan kita juga,” teriak Arifa sambil mengeraskan volume suaranya disela angin kencang dan kabut yang kian pekat membuat jarak pandang hanya berkisar 2 meteran saja.

Karena tidak didapatkannya kata sepakat, akhirnya team setuju untuk melaksanakan proses demokratisasi dengan sistem voting. Setelah dilakukan proses voting yang hasilnya malah memutuskan bahwa team tetap meneruskan perjalanan meskipun dalam cuaca yang sudah tidak bersahabat. Keputusan yang keliru. Meskipun puncak Gunung Sindoro sudah dekat dan tak berapa jauh lagi.

Rombongan akhirnya meneruskan perjalanan dalam badai yang kian lama semakin kencang. Cuaca sangat tidak bersahabat. Jalanan semakin licin karena hujan terus mengguyur tiada henti. Berkali-kali anggota rombongan ada yang terpeleset jatuh akibat jalanan semakin licin.

Akhirnya brukkkk….!!! Sito tumbang terkapar di tanjakan yang semakin curam. Beruntung masih dapat ditahan. Sito pingsan. Rombongan panik, antara meneruskan perjalanan atau turun kembali.

Akhirnya Sito digotong dengan mengunakan tandu darurat yang dibuat oleh teman-temannya untuk kembali menuju posko Kebun Teh. Pendakian menuju puncak Gunung Sindoro gagal total.

(…Bersambung)

Penulis: M. Syari Faidar

Jurnalis, Penyuka Syair, Adventurer dan Photography.