Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Kemen PPPA Apresiasi Penerbitan Buku Antologi; 93 Penyair Membaca Ibu

(Ibu yang melahirkan, ibu pertiwi & ibu alam semesta)

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyambut baik inisiasi komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia dalam menerbitkan buku antologi bersama seri ke dua penyair membaca Indonesia dengan judul ‘93 Penyair Membaca Ibu’ peserta dari 34 Provinsi. Tema khusus tersebut sebagai penghormatan serta penghargaan kepada kaum perumpuan yang disebut Ibu.

“Diharapkan buku ‘93 Penyair Membaca Ibu’ dapat menginspirasi serta mendorong lebih banyak pihak untuk berpartisipasi dalam pemberdayaan perempuan, sehingga akan lahir lebih banyak lagi para Ibu bangsa, yang berkiprah untuk dirinya, untuk mengoptimalkan kualitas dan membangun karakter generasi penerus bangsa, untuk menjaga lingkungan sekitarnya, dan untuk membangun tanah air tercinta. Perempuan berbudaya, Indonesia
maju!” Demikian dikatakan I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dalam kata pengantar.

Sementara itu, Rahayu Saraswati D. Djojohadikusumo, sebagai tokoh perempuan Indonesia, menambahkan. Bahwa, perempuan yang berjumlah setengah penduduk Indonesia, di masa depan kemajuan bangsa ini terletak di tangan perempuan, karena ialah yang akan melahirkan generasi penerus. Ibu-ibu yang tangguh pasti akan
membesarkan anak-anak yang berkualitas.

Menurutnya, “Hari Ibu” diadakan bukan hanya untuk memperingati keberadaan para ibu-ibu yang membesarkan anak-anak di Indonesia yang sama maknanya dengan Mother’s Day di beberapa negara asing. Tetapi, faktanya
Hari Ibu justru mengangkat semangat perjuangan perempuan, dimana Kongres Perempuan Indonesia pertama di
Indonesia yang dihadiri oleh 1.000 perempuan dan laki-laki berkumpul di Jogjakarta pada tanggal 22 Desember 1928, beberapa bulan setelah Sumpah Pemuda terjadi, untuk membahas isu-isu krusial bagi perempuan.” kata Rahayu Saraswati yang juga menjadi anggota DPR RI.

Sedangkan Sastri Sunarti dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek, memaparkan
dalam sambutannya. “Kasih Ibu sepanjang jalan; kasih ayah sepenggalan”, adalah sebuah peribahasa lama dalam budaya Melayu yang menggambarkan kasih sayang seorang Ibu adalah abadi sepanjang masa yang
dianalogikan sepanjang jalan dan tak terbatas. Sebaliknya kasih sayang seorang ayah singkat dan dianalogikan sepanjang penggalan, terbatas.

Sejatinya, pemujaan dan pemuliaan kepada Ibu merupakan tradisi yang sudah sangat tua di dunia ini. Baik ibu sebagai darah daging maupun Ibu sebagai sebuah konsep seperti konsep the Mother Goddess yang
menyamakan ibu sebagai bumi atau ibu pertiwi yang lahir ditengah masyarakat agraris. Konsep the Mother Goddess ini merupakan unsur kebudayaan yang sudah tua, sejak zaman Batu Tua Akhir (Upper Palaeolithic) di daerah Eropa Timur dan Tengah. Konsep ini dianut oleh masyarakat pendukung kebudayaan Gravettian (James,
1961 dan Santiko 1999) dalam (Kumala Satya Dewi, 2011:219). Yang kemudian menjadi konsep yang bersifat universal.

Buku ‘93 Penyair Membaca Ibu’ setebal 360 halaman dikritisi oleh Sunu Wasono, menurutnya, bahwa ibu dalam perspektif penyair yang karyanya dibukukan dalam antologi ini tidak semata-mata mengacu pada sosok perempuan yang melahirkan, tetapi juga ibu dalam pengertian ibu pertiwi (personifikasi tanah air) dan ibu dalam pengertian alam semesta, bumi yang dihuni manusia beserta makhluk lainnya. Tiga “wajah” ibu itulah yang menjadi titik perhatian penyair dalam menciptakan puisi yang kemudian terhimpun dalam buku ini.

Bagaimana tiga pengertian/acuan itu dimanifestasikan dalam bentuk puisi kiranya menarik untuk diulas.
Lebih jauh Sunu Wasono sebagai dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, menilai. Ada satu hal yang juga perlu digarisbawahi, munculnya sejumlah metafora segar (tidak klise) yang menggambarkan
kehebatan sosok ibu. Untuk sekadar bukti/contoh, dikutip satu bait sajak “Mekkah” karya Eki Thadan berikut.

Ibu, hingga aku dewasa
hanya menjadi anak biasa-biasa
kesederhanaanmu, bajuku
ketulusanmu, tanganku
kelembutanmu, wajahku
keteguhanmu, kakiku.

Diksi baju, tangan, wajah, dan kaki yang dibandingkan dengan kesederhanaan, ketulusan, kelembutan, dan keteguhan mengongkretkan pengertian. Kesederhanaan, ketulusan, lelembutan, dan keteguhan merupakan kata abstrak. Menjadi konkret ketika dibandingkan dengan baku, tangan, wajah, dan kaki.

Sunu Wasono pun meninjau sekilas terhadap puisi yang terhimpun dalam antologi ini, ia melihat bahwa ada begitu beragam cara dan gaya penyair dalam menggambarkan atau menanggapi tema ibu, baik ibu dalam pengertian orang yang melahirkan maupun ibu dalam pengertian tanah air dan alam semesta. Tanpa
penghitungan detil atau secara rinci, ada kesan bahwa hampir semua karya penyair yang menggambarkan ibu sebagai sosok yang melahirkan seseorang menempatkan ibu sebagai sosok yang luar biasa hebat.

Terkait dengan tema ibu dalam pengertian tanah air, para penyair dalam antologi ini umumnya menempatkan tanah air sebagai sesuatu yang amat dicintai dan dijaga marwahnya. Sementara itu, terkait dengan tema ibu dalam arti alam semesta, umumnya perhatian penyair terarah pada soal kerusakan alam semesta akibat ulah manusia.

Dengan kata lain, sajak-sajak yang menyoroti semesta yang tercemari tampak dominan dibandingkan dengan sajak yang sekadar melukiskan keindahan alam. Barangkali boleh disimpulkan bahwa para penyair dalam antologi ini umumnya amat peduli atau menaruh perhatian pada kerusakan dan pelestarian alam.

Penerbitan buku lewat Teras Budaya Jakarta, menurut M. Oktavianus Masheka, Ketua Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) merupakan penerbitan ketiga dari komunitas TISI, setelah penerbitan Persetujuan dengan Chairil
dan 76 Penyair Membaca Indonesia (Seri Penyair Membaca Indonesia ke-1). Antologi kali ini hadir untuk
merespons perayaan Hari Ibu Ke-93 tanggal 22 Desember 2021.

“Karya 93 Penyair dari 34 Provinsi, sebagai bagian dari sosial kontrol masyarakat dan pemerintah, para
penyair dan pegiat sastra mencoba melihat permasalahan “Ibu” sebagai ibu biologis dan ibu sebagai metafora “ibu kebudayaan” dan alam semesta. Apa sesungguhnya permasalahan perempuan masa kini ditinjau dari sudut hukum, sosial, budaya, politik, agama, dan pendidikan di Republik Indonesia yang kita cintai ini”. kata Oktavianus yang ikut menulis puisi.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Panitia Nur Khofifah menerangkan, Buku ‘93 Penyair Membaca Ibu’
dimaksudkan untuk memuliakan kaum ibu sebagai perempuan yang penuh kasih sayang dalam membangun dan merawat negeri tercinta, Indonesia. Perlu dikemukakan bahwa Ibu dalam bunga rampai ini merupakan
representasi ekspresi para penyair terhadap profil Ibu dalam tiga wujud: Ibu biologis, Ibu Pertiwi, dan alam semesta. Kegiatan ini juga untuk memperkaya produk literasi dalam perjalanan sastra Indonesia, khususnya dunia perpuisian.

Peluncuran antologi puisi 93 Penyair Membaca Ibu ini juga melaksanakan bedah buku tersebut diselenggarakan pada Sabtu, 11 Desember 2021, Jam 14:00 Wib. di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Jln. Perintis Kemerdekaan No. 1 Pulogadung, Jakarta Timur, atas dukungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Prov. DKI Jakarta serta Penerbit Teras Budaya Jakarta dan dukungan yang penuh dari seluruh admin TISI. kata Nur Khofifah yang mengabdi menjadi guru, bermukim di Banyuwangi.

Dalam kata sambutannya Wardjito Soeharso sebagai pembina pelaksanaan kegiatan antologi 93 Penyair Membaca Ibu ini memaparkan, “Bedah Buku 93 Penyair Membaca Ibu ini, kami
dedikasikan khusus untuk kaum perempuan dengan kodratnya sebagai ibu. Ibu sebagai penerus generasi. Ibu sebagai simbol tumpah darah yang memberikan rasa cinta tanah air dalam bingkai kebangsaan. Dan ibu sebagai penjaga, pemelihara, perawat, alam lingkungan agar tetap tercipta kehidupan yang harmonis di antara semua mahluk penghuni bumi. Semangat ibu adalah semangat penuh cinta kasih. Bukan semangat eksploitatif. Apalagi semangat berhitung untung dan rugi. Dengan semangat cinta kasih inilah, kita bisa terus saling peduli, saling berbagi, saling memberi, tanpa harus menunggu untuk diminta terlebih dahulu.“ demikian isi pidato Wardjito Soeharso seperti yang dibacakan oleh perwakilan dari admin TISI, Fanny Jonathan’s Poyk. (*EQ&Vie)

Adapun Peserta ‘93 Penyair Membaca Ibu’ antara lain;
1. Abdul Mukhid (Jatim)
2. Adi Arwan Alimin (Sulawesi Barat)
3. Agusri Jun (Lampung)
4. Ainun Ahmad (Kep. Riau)
5. Alfrida Yamanop (Papua)
6. Amalia Isma Adeliani Harahap (Riau)
7. Aming Aminoedhin (Jatim)
8. Ariani Isnamurti (DKI Jakarta)
9. Asia Ramli Prapanca (Sulawesi Selatan)
10. Asmedia Ulfahany (NTB)
11. Asro Al Murthawy (Jambi)
12. Bety C. Rumkoda (Maluku)
13. Cornelia Endah Wulandari (Kalimantan Selatan)
14. Denok Asmiati (Kep. Riau)
15. DG Kumarsana (Bali)
16. Dhenok Kristianti (DIY)
17. Dhia Prekasha Yoedha (DKI Jakarta)
18. Djefri Bantahari (Gorontalo)
19. Dyah Nkusuma (Kalimantan Tengah)
20. E. Nong Yonson (NTT)
21. Eki Thadan (DKI Jakarta)
22. Elma Susanti (Bengkulu)
23. Erndra Achaer (Jawa Barat)
24. Fanny Jonathan’s Poyk (DKI Jakarta)
25. Fikar W. Eda (DKI Jakarta)
26. Halimah Munawir (DKI Jakarta)
27. Henny Purnawati (Kalimantan Barat)
28. Hermawan (Sumatera Barat)
29. Heru Marwata (DIY)
30. Ian Sancin (Bangka Belitung)
31. Iqbal Napak Tilas (Jawa Barat)
32. Jhon Dewa Bayu Samudra (Bali)
33. JJ. Polong (Sumatera Selatan)
34. Jose Rizal Manua (DKI Jakarta)
35. K. Kasdi W.A (Jawa Tengah)
36. Kambali Zutas (Bali)
37. Khalid Alrasyid (Jawa Timur)
38. Khalish Abniswarin (Kalimantan Tengah)
39. Kunni Masrohanti (Riau)
40. Kurniati (Bangka Belitung)
41. La Ode (Maluku)
42. Larasati Sahara (NAD)
43. Lusi Susanti Bahar (Sulawesi
44. Margaretha Liwoso (Sulawesi Utara)
45. Maria Lidwina Ika Haryundari (Kep. Riau)
46. Maria Roeslie (Kalimantan Selatan)
47. Maria Margaretha Supamena (Sulawesi Utara)
48. Ma’rifah Nurmala (Sulawesi Tengah)
49. Marina Novianty Tampubolon (Sumatera Utara)
50. Maryo Sopater Istia (NTT)
51. Mas’amah Mufti (Sulawesi Tengah)
52. Maya Pransiska (Bengkulu)
53. Meita Jeane Pangandaheng (Sulawesi Utara)
54. Merry Christine Rumainum (Papua Barat)
55. Mezra E. Pellondou (NTT)
56. Mita Katoyo (DKI Jakarta)
57. Muhammad Ibrahim Ilyas (Sumatera Barat)
58. Naim Irmayani (Sulawesi Barat)
59. Nanin Andaningrum (Jawa Tengah)
60. Nurul Swandari (Jatim)
61. Octavianus Masheka (Banten)
62. R. Muliana Sution (Banten)
63. Rahayu Saraswati (DKI Jakarta)
64. Refdinal Muzan (Sumatera Barat)
65. Remmy Novaris DM (DKI Jakarta)
66. Rita Jassin (DKI Jakarta)
67. Robertus Fahik (NTT)
68. Rosmita (Jambi)
69. Rosyidi Aryadi (Kalimantan
70. Rudi Fofid (Maluku)
71. S. Titik Widya (Kalimantan Utara)
72. Syaifuddin Gani (Sulawesi Tenggara)
73. Salman Alade (Gorontalo)
74. Sarifudin Kojeh (Kalimantan) Barat)
75. Sartian Nuriamin (Sulawesi Tenggara)
76. Saut Raja H . Sitanggang (DKI Jakarta)
77. Selamat Said Sanib (Kalimantan Timur)
78. Sigit Hardadi (Jawa Barat)
79. Siti Khusnul Khotimah (NTB)
80. Sukardi Wahyudi (Kalimantan Timur)
81. Sunu Wasono (DKI Jakarta)
82. Syahriyan Khamary (Maluku Utara)
83. Syamsudin (Sulawesi Tengah)
84. Tabaheriyanto Matur Purba (Bengkulu)
85. Tarmizi Rumahitam (Kep. Riau)
86. Trisia Chandra (Kalsel)
87. Udo Z Karzi (Sumatera Selatan)
88. Umar Zein ( Sumatera Utara)
89. Viefa (Jawa Timur)
90. Wardjito Soeharso (Jawa Tengah)
91. Young Joseph Xie (Jawa Tengah)
92. Z.A Narasinga (Sumatera Selatan)
93. Zahir Juana Ridwan (Sulawesi Selatan)