Dengarkan Musikku – Bagian 2
Suara sorak-sorai penonton kembali terdengar, aku menatap langit-langit yang terhiasi lampu-lampu terang. Keringatku mengucur, tanganku terkulai, aku menarik nafas panjang kemudian berkata, “akhirnya selesai!”
Permainanku bagus atau tidak ya? Atau apakah juri menyukainya? Aku benar-benar tidak memperdulikannya. Hal utama yang penting adalah aku sangat menikmati. Sekarang, tinggal menunggu pengumumannya minggu depan.
*****
Ketika waktu luang, aku biasanya menyempatkan untuk pergi ke taman kota. Musim semi yang hangat, tunas daun mulai tumbuh kembali, dingin belum sepenuhnya berpamitan, tapi sudah kurasakan suasana yang mulai berubah.
Katanya, bulan April adalah bulan yang paling indah. Aku sangat berdo’a tentang itu. Sekitar pukul sepuluh pagi, aku sudah ada di sini. Duduk di sudut taman, bangku kayu di sini begitu nyaman. Kamu mungkin dapat terlelap dengan mudah, sepertiku. Aku ngantuk sekarang.
“Kak, bangun! Taman ini akan ditutup, sebentar lagi.”
“Hah? Ditutup?” Tanyaku dalam hati. Terdengar suara wanita membangunkan ku ketika aku baru saja terlelap.
“Hah? Aku baru saja sampai di sini, apa yang kamu baru saja katakan?” tanyaku, mataku sedikit menyeringai. Ternyata pagi ini lumayan menyilaukan, mataku belum sepenuhnya terbuka, masih sepet. “Kakak di sini dari pukul berapa? Sekarang sudah hampir pukul lima sore loh.”
Ketika dia mengatakan lima sore, aku terkejut. “Apa?!” Mataku kini sepenuhnya terbuka. Kesadaranku sepenuhnya pulih. Aku melihat sekitar, taman sudah sepi.
Sinar matahari tenggelam menembakan sinarnya ke arahku, tanganku refleks untuk menutupi pandanganku karena silau. Wanita itu lalu duduk di sebelahku. Aku sekarang bisa melihatnya dengan lebih jelas.
Wanita itu sepertinya berusia dua puluh tahun, rambutnya panjang dan memakai topi. Tingginya sekitar 170 cm, dan memakai seragam. Kurasa dia memang kerja di taman ini. Oh iya, dia cantik.
“Aku perhatikan, kakak tidurnya sangat nyenyak di sini. Kakak sepertinya habis melakukan sesuatu yang melelahkan ya.”
Aku masih memperhatikannya.
“Yah, ketika malam, aku tidak bisa tidur. Aku kepikiran tentang lomba piano yang kuikuti beberapa hari yang lalu. Entah kenapa, kupikir tak ada salahnya ke taman untuk menenangkan hati dan pikiran. Lalu tertidur hahaha.”
“Oh, lomba piano ya? Keren juga. Aku juga dulu menyukai violin, tetapi sudah satu tahun ini aku memutuskan untuk berhenti.”
Udara dingin berhembus, daun yang tergeletak di tanah membawanya terbang melewati kami.
“Violin?! Kamu suka bermain violin?!” Aku benar-benar sangat bersemangat ketika dia mengatakan hal itu.
“Ehh, kenapa kamu begitu bersemangat?” Dia memundurkan posisi kepalanya sembari memasang raut wajah penuh tanya.
“Aku sangat ingin bermain bersama violinist. Tapi, aku belum menemukan part-“
“Maaf, aku tidak bisa bermain bersamamu?” wanita itu memotong ucapanku dengan nada keras.
“Eh, kenapa?”
“Ak..aku tidak mau menjawabnya.”
“Kenapa? aku masih tidak paham.” Raut wajahnya terlihat sangat panik.
“Tidak, tidak ada. Sekarang, pokoknya kamu pulang, karena sudah sore.”
Dia kemudian pergi meninggalkanku. Aku bahkan belum mengetahui namanya. Aku masih tidak paham. Tapi, kalau dia seorang violinist, aku akan berusaha untuk membuatnya kembali memainkan violin.
Keesokan harinya, aku kembali ke taman. Hari ini, aku ingin menemuinya kembali. Aku mencari dari ujung selatan taman hingga ke timur. Aku memperhatikan setiap orang yang ada di sini.
Sial, hari ini lebih ramai dari hari kemarin. Aku benar-benar kesulitan untuk mencarinya. Aku mencoba bertanya beberapa kali dengan orang-orang yang ada di taman dengan menyebutkan ciri-cirinya, tapi tidak ada satupun yang melihatnya.
Hingga sore tiba, aku masih belum menemukan, Kurasa dia tidak berangkat bekerja hari ini, dan usahaku dari pagi adalah sia-sia. Aku kemudian kembali duduk di bangku yang kemarin dia menemukanku sedang tertidur.
“Hah, lelahnya,” gumamku.
“Kamu di sini lagi ternyata?” Suara wanita yang tak asing itu. Seketika, aku terkejut, kepalaku spontan menoleh ke belakang bangku.
“Kamu?” hanya kata itu yang dapat kuucapkan kepadanya setelah berjam-jam mencarinya.
“Aku? Kenapa denganku?” balasnya. Dia kemudian duduk di sebelahku.
“Iya, kamu, kamu mau bermain violin bersamaku?” tanyaku bersemangat.
“Hah? Sudah kukatakan, aku sudah berhenti memainkan violin, seberapa keras pun kamu memaksaku, kamu tidak akan bisa membuatku berubah pikiran.”
“Tapi, aku ingin-“
“Cukup, kita bahkan belum berkenalan.” Dia memotong ucapanku kembali.
“Hah. Siapa namamu? Dan mengapa kamu kembali ke sini?” lanjutnya, dia mendekatkan wajahnya ke arah wajahku.
“Aku Leonard, aku dari pagi mencarimu.”
“Hah? Kamu pagi-pagi mencariku? Hahaha” Dia benar-benar menertawaiku.
“Tunggu, kamu mau apa mencariku? Oh jangan-jangan, kamu ingin melakukan hal negatif kepadaku? Wowowo, itu mengerikan. Hahaha.” Dia semakin menjadi menggodaku.
“Bukan itu, aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu,” ketusku.
“Hmmm? Jadi?”
“Ya itu tadi.”
“Tadi?” “Aku ingin mengajakmu bermain violin bersamaku,” jawabku semakin keras.
Dia terdiam sejenak. Kepalanya menunduk, satu tetes air matanya mengalir di pipinya. Dia kemudian berkata, “Sudah kukatakan, bukan? Aku sudah tidak bermain violin lagi.” Nada suaranya sekarang serius, tidak seperti tadi yang menggodaku. Aku bisa mendengar isaknya,
“Aku benar-benar tidak ingin memainkannya lagi. Jadi jangan kembali lagi dan mengajakku untuk bermain bersamamu.” Dia kemudian melangkah pergi meninggalkanku kembali.
“Aku tahu kamu berbohong ketika kamu mengatakan itu. Aku juga tahu kalau kamu tersakiti ketika mengucapkan kalimat itu. Mau sampai kapan kamu ingin melarikan diri seperti itu?”
Dia kemudian menghentikan langkahnya ketika aku mengatakan itu. Aku juga mendengar suara isak tangisnya yang semakin keras dari sebelumnya.
Tanpa membalikkan badannya, dia berkata “kamu tahu apa tentangku? Itu tidak ada hubungannya denganmu, kan?”
“Tentu ada, kita seorang musisi, dan aku tahu betul perasaanmu.”
Tanpa balasan, di kembali melanjutkan langkahnya. Hari semakin sore, aku pun memutuskan untuk kembali. Tapi, aku berjanji akan membuatnya kembali bermain violin.