Bagian #1
Inggris 1978. Menurutku, musik adalah seni paling indah yang pernah hadir. Aku sangat menikmatinya. Kala itu, ayah mengajakku ke acara konser piano. Awalnya aku menolak, karena konser piano terlihat membosankan, tapi ayah tidak pernah berhenti untuk mengajak setiap malam minggu. Jadi, terpaksa aku untuk ikut dengannya untuk pertama kali. Tempat konsernya tidak begitu jauh, sekitar tiga puluh menit dari rumah dengan mengendarai mobil.
Dalam perjalanan, aku bertanya kepada ayah, “Kenapa ayah selalu mengajakku untuk menonton konser piano?”
Lalu ayah menjawab, “Ayah ingin kamu menikmati apa yang ayah nikmati,” tangannya sembari mengendarai mobil.
“Tapi, sepertinya itu membosankan. Aku lebih senang kalau ayah mengajakku nonton konser lagu pop.”
“Kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Kamu hanya belum mendengarkan musik klasik yang berasal dari piano. Itu sangat indah, Nak. Percaya ke ayah, kamu pasti akan menyukainya.”
Setelah ayah mengatakan itu, mesin mobilnya dimatikan. Ternyata kita sudah sampai. Ya tempatnya lumayan sih, bagus juga. Ayah kemudian mengajak masuk ke dalam. Aku menonton konser piano itu selama sekitar dua jam setengah. Ternyata bagus, dan sepertinya aku tertarik. Malam minggu berikutnya, aku kembali, begitu pula dengan malam minggu berikutnya, dan malam minggu berikutnya. Pada akhirnya, aku menyukai konser piano tersebut, dan mengharapkan punya piano sendiri.
*****
Di umurku yang ke sepuluh tahun, aku meminta kepada ayah untuk dibelikan piano. Jadi pada bulan Januari, aku dan ayah pergi ke toko musik di Kota Bradford, kota asalku untuk membeli piano. Salju yang turun pada bulan ini, tak mematahkan hasratku untuk pergi ke sana. Mantel yang kukenakan setidaknya sudah cukup untuk melindungiku dari dingin yang hendak menjamah kulit. Suhu di sini berkisar empat derajat celsius, ya musim dingin tentu suhunya dingin. Sesampainya, aku dibuat takjub dengan semua jenis alat musik yang ada di sini. Aku sangat bersemangat saat berada di sini. Akibat ayah yang maniak terhadap piano, aku pun ikut tertular. Berbeda denganku yang juga ingin belajar memainkannya, ayahku hanya sekadar penikmat.
Meskipun ayahku bukan seorang musisi, tapi candu dia terhadap musik tidak bisa dianggap remeh. Dia mampu hafal setiap nada, hingga suara dari piano yang berbeda-beda. Dia bisa mengetahui tipe dan merk piano hanya dengan mendengarkan suara yang dihasilkan dari piano tersebut. Keren bukan? Entah mengapa dia tidak ingin menjadi musisi, itu hal yang tidak kupahami hingga saat ini. Pernah kutanya, lalu dia menjawab, “Bermain piano itu ribet, ayah tidak bisa seteliti itu,” begitulah.
Di dalam toko alat musik, ayah terpana dengan satu piano yang letaknya terpisah sendiri. Ayah lalu mendekati piano tersebut, dia juga memperhatikan piano itu setiap detilnya. Tak lama kemudian, ayah memanggil salah satu pegawai toko.
“Mas! Tolong mainkan satu lagu dengan piano ini!”
Pegawai tersebut menghampiri ayah. Aku pun pergi menuju ayah untuk melihat piano yang ayah tunjuk. Sepertinya, itu piano yang ingin ayah belikan untukku.
“Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?” ucap pegawai laki-laki yang ayah panggil.
“Iya Mas, aku tertarik dengan piano ini, bisakah Mas memainkannya. Aku ingin kalau piano ini masih berfungsi dengan baik.”
“Tapi Pak, apakah bapak yakin ingin mencoba piano ini? Piano ini harganya paling mahal di sini. Piano ini sudah ada sejak toko ini pertama kali dibuka dan ya bisa bapak lihat, dia masih ada di sini.”
“Berapa pun harganya, saya tertarik dengan piano ini. Kalau masih berfungsi dengan baik, segera buatkan nota pembeliannya.”
“Baik, Pak. Saya izin memainkannya, ya. Permisi!” Pegawai laki-laki itu kemudian mengambil posisi duduk di depan piano, badannya tegak tapi tidak kaku, tangannya luwes memainkan lagu milik Chopin berjudul Nocturne no.20 dengan kunci C-sharp minor op. posth.
Musik yang dia mainkan tersebut seperti ilusi yang membawa jiwa dan pikiranku. Aku benar-benar seperti menjelajah ke dunia lain, dan diajak duduk melihat Sir. Chopin memainkan lagu tersebut. Sebuah lagu yang sangat indah bagiku.
“Nak, kau tahu? Ayah pun tahu. Kamu pasti sedang melihat Chopin kan di depanmu? Kau tahu, itu bukan hanya orang yang memainkannya, namun piano ini sangatlah istimewa.”
“Iya ayah, aku sedang melihatnya, Sir. Chopin,” pandanganku benar-benar tidak bisa berpaling darinya.
“Cukup Mas, buatkan nota pembeliannya, saya akan membeli ini.”
Benar-benar di luar dugaan, ayah benaran membelikan piano termahal itu untukku. Sesampainya di rumah, ayah mengucapkan ulang tahun kepadaku. Di depan perapian, dia jongkok ke arahku, lalu menepuk pundakku sembari berkata, “Leonard, selamat ulang tahun untukmu, sekaligus ayah membayar hutang pada saat natal kemarin karena ayah tak sempat memberikanmu apa-apa. Berlatihlah dengan giat dengan piano ini, dan hibur ayah di atas panggung megah. Kamu bisa berjanji kan dengan ayah?” Ayah lalu memelukku dengan erat.
“Ayah mencintaimu, Leo,” lanjutnya.
“Aku juga ayah, hadiah, ini sangat indah,” balasku.
*****
Sebelas tahun kemudian, aku tumbuh sebagai remaja yang sehat dan normal. Aku sangat bersyukur karena kedua orangtuaku sudah merawatku dengan sangat baik. Tentunya, aku masih bersemangat bermain piano sampai sekarang. Itu kubuktikan dengan hari ini, aku mengikuti sebuah lomba piano. Lawanku adalah pianis hebat dari seluruh Inggris. Sekitar pukul tujuh malam, aku sudah harus bersiap di lokasi. Terlihat orang-orang yang mengikuti lomba sepertiku merasakan gugup yang kuat di depan pintu menuju panggung. Ada sekitar dua puluh orang yang sedang dirundung ketakutan. Aku juga pertama kalinya mengikuti lomba piano. Tapi entah mengapa, yang kurasakan biasa saja. Aku sangat percaya diri dengan diriku. Ayahku selalu bilang, kalau aku tidak boleh melemahkan mentalku hingga perlombaan nanti, dan setiap perlombaan karena kalau mentalku jatuh, maka aku bisa terbunuh oleh mentalku sendiri. Kurasa ucapan ayahku benar, terlihat di sini. Ya, mereka semua adalah rivalku, dan mereka tengah dikuasai oleh mental mereka yang jatuh. Aku selalu mengatakan di dalam hati, kalau aku harus kuat. Aku tidak boleh kalah oleh rasa gugup dan takut.
Satu-persatu, nama peserta lomba dipanggil. Aku dapat urutan kedelapan. Kurasa tidaklah buruk, setidaknya aku bisa melihat reaksi mereka yang memiliki urutan satu hingga tujuh. Aku terus mencoba tetap tenang selama menunggu giliranku, aku juga mencoba menghafalkan kembali not lagu yang ingin kubawa dengan membayangkan ada piano di depanku. Mataku terpejam, ku imajinasikan suara piano ke pikiranku.
“Nomor urut delapan, atas nama Leonard, silahkan untuk masuk!” seorang panitia lomba memanggilku dari balik pintu menuju panggung.
“Baik!”
Aku berjalan masuk, derap langkahku menggema. Ketika berada di ujung jalan, suaranya terpecahkan oleh sorak-sorai penonton. Aku juga melihat cahaya dan cahaya itu semakin terang selaras dengan jalanku menuju panggung, di hadapanku terlihat sudah ada piano grand, dan bangku piano berwarna hitam. Aku mengenakan jas hitam dengan dalaman kemeja putih. Aku berjalan menuju ke tengah. Aku berdiri sejenak, kemudian memberikan salam dengan menundukan kepala, Setelah itu, aku duduk di depan piano, ruang auditorium menjadi hening. Aku membuka satu kancing jas milikku. Kutarik nafas panjang.
“Leo, kamu harus bisa!”
Bersambung…