Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen True Story: Ejekan Anak Tetangga (Bagian 5)

EJEKAN ANAK TETANGGA

Oleh: Mastiardi, Pelaku UMKM

Hari Kelima Isolasi.

Beberapa pesan dari WA masuk seperti biasa setiap pagi. Para kerabat dan abang sepupu saya yang dokter menanyakan kondisi dan perkembangan kami. Telah saya balas bahwa kami baik-baik saja.

Sakit dan nyeri di pinggang yang sudah dua hari ini saya rasakan belum saya ceritakan padanya.

Saya coba stop dulu mengonsumsi ramuan minuman herbal yang berupa serabut akar kayu dimasukkan ke air putih sehingga air putih tersebut berubah warna menjadi kuning.

Itu lah yang saya konsumsi selain bubuk jahe. Saya mengganti air putih dengan ramuan herbal tersebut.

Mulai hari ini, saya memutuskan untuk tidak meminumnya dulu dan kembali meminum air putih sambil melihat reaksi nyeri di pinggang.

Mana tahu banyak minum air berwarna atau air yang tidak bening, dapat sedikit mengganggu kinerja ginjal.

Kopi, teh sudah beberapa hari tidak saya konsumsi. Setelah sejak semalam meminum air putih sebanyak-banyaknya nyeri di pinggang agak berkurang, atau minimal sudah hilang-hilang timbul. Kadang muncul kadang sirna. Seperti sinyal seluler.

Saya dan anak-anak masih menunggu pihak Puskesmas untuk tes swab. Dan standar ketat tetap saya lakukan di rumah. Dan saya memimpin semua standar isolasi di rumah.

Pukul sembilan sampai sepuluh pagi, seperti biasa adalah waktu berjemur. Anak-anak juga ikut. Pagi ini saya tidak menyiram tanaman sebab semalam hujan. Dan tanah-tanah di rumput dan tanaman saya lihat masih basah. Jadi saya hanya mencabuti rumput-rumput liar saja.

Saat itu lah, anak-anak tetangga yang juga teman anak-anak seperti mengejek dengan mengatakan. “Maaf kami tidak mau ke sana ya bang –menyebut nama anak sulung saya. Kami gak mau kena korona”. Ucapnya berame-rame sambil tertawa dari seberang jalan depan rumah.

Saya melihat kedua anak saya saling pandang dan tidak bisa berkata apa-apa.

“Abang kasih tahu?” tanya saya memastikan lagi pesan beberapa hari yang lalu pada si Sulung untuk memberi tahu teman-temannya via WA bahwa ada tugas-tugas sekolah selama dua minggu ini yang tidak bisa diganggu.

Si Sulung menggeleng, si Bungsu melihat gelengan abangnya itu tanpa komentar.

Entah dari mana anak-anak itu mengetahui informasi tersebut. Salah satu kekhawatiran saya telah terjadi pagi itu.

Stigma negatif yang akan disandang anak-anak dalam lingkungan sosialnya nanti, bisa saja nanti menjadi bully-an sesama mereka.

Kalau kita yang dewasa ini tentu sudah lebih paham menyikapi hal ini.

Bahkan waktu saya sedang mencari udara segar di belakang ada tamu datang tak terhindarkan lagi, dan saya terpaksa katakan yang sejujurnya bahwa saya sedang melakukan karantina mandiri.

Kami ngobrol lama sampai siang. Pakai masker, tentu jaga jarak juga, tanpa salam meski Ia sudah terlanjur mengulurkan tangan. Tanpa ejekan dan bahkan banyak memberi semangat.

Saya membayangkan beban sosial yang ditanggung orang-orang yang terkena waktu awal-awal pandemi terjadi. Tentu lebih berat dari pada saat ini.

Oleh sebab itu juga kami masih bernegosiasi dengan pihak kantor istri saya dan Puskesmas terdekat menolak untuk dikarantina ke Rumah Sakit jika dijemput pakai ambulance.

Malam nya, waktu tulisan ini saya selesaikan baru saja kepala BNPB memaparkan langkah-langkah dan capaian yang telah dilakukan pemerintah dalam mencegah dan menangani pandemi ini di ILC.

Ia katakan bahwa treatment, testing, tracing yang dilakukan sudah mencapai delapan puluh persen lebih yang membuat mantan Panglina TNI yang juga menjadi narasumber dalam acara itu minta penjelasan ulang.

Beberapa saat sebelum itu saya baru saja mendapat konfirmasi dari pihak Puskesmas bahwa besok — Rabu — jadwal saya di Swab.

“Anak-anak tidak?” tanya saya sama istri yang meneruskan informasi dari Puskesmas tersebut.

“Nggak ada dibilangnya tadi,” jawab istri saya.

Saya teringat artikel-artikel yang pernah saya baca bahwa standar tracing contact dari WHO adalah akan dilakukan tracing minimal pada 30 orang kontak erat setiap ada pasien baru.

Bukankah anak-anak termasuk yang kontak erat dengan bundanya karena kami serumah.

Tapi sudah lah. Malah kami harus berterima kasih pada pihak Puskesmas yang cukup aktif berkomunikasi dengan kami untuk penanganan ini dan terus memantau perkembangannya, begitu juga pihak kantor istri saya.

Namun di luar sana, masih banyak ejekan, ketidakpercayaan, dan masalah sosial lainnya terkait pandemi ini. Ada juga yang menjadikan bencana wabah ini bahan candaan.

Meski kami mendapat beberapa persoalan sosial terutama pada anak. Kami tetap akan menghadapi masalah ini dengan semangat dan kesadaran tinggi.

Menutup pintu, tidak menerima tamu dan melaksanakan protokol kesehatan selama isolasi mandiri.

Pada akhirnya kita lah yang mesti menjaga diri dan keluarga saat negara belum mampu melakukan swab massal sesuai standar, atau saat pilkada tidak bisa ditunda, atau saat pemerintah tidak mampu melockdown wilayah sesuai undang-undang.

Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi , keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Itulah hadiah penyemangat dari salah seorang sahabat baik kepada saya hari ini dari pesan WA. Seperti kata-kata Wilibrodus Surendra atau yang lebih dikenal dengan nama WS. Rendra.

***

Biodata Penulis:

Mastiardi, S.T

Dilahirkan di Lubuk Bendahara, 27 Juni 1983. Pernah menempuh pendidikan S1 Arsitektur UII Yogyakarta (Tamat 2006)

Ada beberapa karya-karyanya yang belum pernah dipublikasi, diantaranya:

Cerpen

  1. Selamatan Salamek
  2. Penyakit Lamin
  3. Hari Eksekusi
  4. Pendaratan di Paris
  5. Barudin Hito

Puisi

  1. Robohnya Tebing Sungai Kami
  2. Kursi Langit
  3. Mendayung Masa

Saat ini Mastiardi, S.T yang mantan Bankir ini berprofesi sebagai penjual pulsa, yang bergerak di UMKM dengan bendera bisnis Sakti Network (SN). Ia juga tercatat sebagai anggota Pegiat Literasi Rokan Hulu (PLR) dan Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kabupaten Rokan Hulu.