Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerbung: Hanni (1)

BAB I

HANNI

Sebut saja nama itu,”Hanni” gadis kecil berperawakan mungil. Ia terlihat sangat lucu dan menggemaskan ketika berbicara dan tersenyum. Sepertinya mendung hari ini mengganggunya.

Senyum manis yang pernah bersinar di waktu bertemu dengannya sepertinya sembunyi entah dimana.

Ia membuat Sang Guru terkejut alang kepalang, ketika akan masuk kelas dan menyapa seluruh murid. Ia menghamburkan dirinya dengan langkah secepat kilat keluar kelas. Padahal jelas cuaca sedang tidak bersahabat.

Cuaca hujan sedang mengguyur sekitar Jakarta saat itu. Tiba-tiba ia berhenti di bawah pohon rambutan yang menjulang tinggi bak tugu monas.

Ia tertegun dibawahnya dan menatap daun-daun hijau yang dikerumuni pertikel air yang mengalir syahdu. Sang Guru tidak tega melihat itu sehingga berlari ke arahnya.

“Why do you stay here Nak? It’s rain. Ayo masuk kelas,” seru Sang Guru di tengah gerimis.

Kebiasaan di sekolah kami menggunakan bahasa campuran Inggris dan Indonesia untuk melatih mereka agar terbiasa dengan bahasa asing.

I don’t want.” Jawabnya dengan manja dan cemberut sambil memasang wajah imutnya yang lucu.

“Mr kemarin melihat ukiran bunga yang indah di kelasmu. Maukah menunjukkannya kepada Mr?” Sang Guru coba memberi umpan pertanyaan kepadanya agar ia menganga mulutnya.

Kemudian ia berpikir sejenak. “Oh, ia?…, di kelasku ada ukiran bunga.” Ia mulai bicara walaupun masih terkesan curiga denganku.

“Kau tahu siapa pembuat bunga itu Hanni?”

Ia menggelengkan kepalanya yang dibaluti jilbab putih bergambar bunga yang lucu.

Sang Guru mengandeng tangan Hani untuk mengajaknya ke kelas. Kelas yang berukuran kecil tapi kelas kecil itu sangat nyaman untuk anak-anak seusianya.

Di dalamnya terdapat gambar alphabet yang lucu, poster Bahasa Inggris besar yang bertuliskan “speak English everytime” dan satu lagi ukiran bunga yang indah terpampang mesra di dinding kelas.

Hanni menunjukkan ukiran bunga itu kepadaku. Sampai detail. Seperti siapa pembuatnya, kertasnya dari mana, harganya berapa. Ingatannya seperti mesin smartphone. Dalam hati kecil aku bertanya mengapa Hanni begitu mengingat detail peristiwa itu.

“Hanni coba kau sebutkan siapa orang yang membuat ukiran seindah ini Nak?”

Dia kemudian terdiam seribu bahasa.
Sang Guru mulai curiga dan dihantui rasa khawatir jangan-jangan dia akan kabur seperti tadi tanpa alasan.

Sang Guru mengalihkan dengan cepat mengatakan. “Maafkan Mr Nak. jika pertanyaan itu tidak bagus.”

Dengan jawaban yang sepertinya berat, ia menggelengkan kepalanya.

“Oke., Mr tak akan memaksamu tentang orang itu Nak. Adakah Hanni akan bercerita mengapa Hanni suka dengan ukiran itu?”

Sang Gadis Kecil tersenyum malu. Sang Guru seperti orang yang menemukan harta karun di balik senyum itu. Hani sepertinya tidak mudah untuk diajak bicara. Dia menjadi pendiam sejak Sang Ibu terkena sakit.

Sebagai Sang Guru melihat hal itu menjadi prihatin. Hanni tidak tahu jika Sang Ibu terbaring di rumah sakit. Karena Nenek Hanni tidak memberi tahunya. Dengan alasan takut tergoncang jiwa Hanni melihat ibunya yang sedang koma di rumah sakit. Yang Hanni dengar ibunya telah pergi.

(…bersambung)