Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Toke nan Malang (1)

Oleh : Agus Sutawijaya.

(CIO) — Namanya Harun, lengkapnya H. Harun bin Jama’an, tapi ia lebih senang jika dipanggil Toke. Raut wajahnya berubah jika ada orang yang memanggilnya dengan sebutan selain panggilan kesayangannya. Ia rela berhabis asalkan orang tetap memanggilnya Toke.

Kodai Lonsiu di tepian sungai Kampar adalah tempat duduk favoritnya selepas shalat berjama’ah di Musojik Topi Ayu, demikian masyarakat kampung kami menyebut masjid yang bernama resmi Masjid Taqwa itu.

Disebut Musojik Topi Ayu, karena memang masjid ini berdiri di tepian sungai Kampar. Ada dua masjid di kampung kami, satu lagi “Musojik Bukik” atau Masjid Bukit, sebutan untuk Masjid dengan nama Al Iman. Disebut Masjid Bukit karena memang berdiri di puncak bukit. Dua masjid yang tidak hanya berbeda dari berbeda posisi secara fisik, namun juga “Aliran”.

Masjid Taqwa, dibangun oleh komunitas warga Muhammadiyah. Di masjid ini, azan Jum’at hanya satu kali. Bacaan Bismillah di awal ayat Al Fatihah “siir” atau terdengar pelan. Kalau anak-anak sedang praktek ibadah shalat maka akan terdengar bacaan doa iftitahnya dimulai dengan Allahumma baid baini, bukan Allahuakbar kabirau. Subuh di masjid ini tidak pakai do’a qunut, dan azan subuhnya tidak menyebut kalimat Asshalaatu khairum minan nauum.

Jika bulan Ramadhan tiba, di masjid ini shalat tarawih hanya delapan rakaat ditambah tiga rakaat shalat witir, imam tarawih biasanya Udo Wahyu atau Cu Bustami keduanya adalah ustadz muda lulusan Pondok Mualimin Dharun Nahdlah Bangkinang. Bacaan ayatnya panjang dengan murattal yang sangat indah. Namun masjid ini jarang sekali dipakai untuk Shalat Eid. Jama’ah Masjid Tepi Air lebih memilih shalat di lapangan bola SD 091 setiap Idul Fitri ataupun Idul Adha.

Karena berdiri di tepi sungai, masjid ini dibangun dua lantai. Lantai bawah berfungsi sebagai MDA, Madrasah Diniyah Awaliyah Muhammadiyah, namun kami di kampung lazim menyebutnya Sikolah Potang, atau Sekolah Petang. Jika banjir besar tiba, maka masjid ini juga menjadi tempat mengungsi sebagian besar warga.

Sementara di Masjid Bukit, jama’ahnya adalah komunitas Tarbiyah Islamiyah. Di sini bismillahnya dibaca zahar atau keras. Azan Jum’atnya dua kali. Subuh pakai qunut, dan jika shalat tarawih jumlah rakaatnya dua puluh rakaat ditambah tiga rakaat shalat witir. Masjid ini lebih besar dan hanya satu lantai saja. Di sini juga dilaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Jemaah kedua masjid ini dari dulu sama-sama fanatik. Bahkan, untuk kaum tuanya termasuk penganut aliran garis keras. Tapi hal itu tak terlalu berpengaruh buat anak-anak, sebagian anak sekolah di kampung kami justru menjadikan masjid Bukik sebagai Masjid favorit saat tarawih. Karena meskipun di sini jumlah rakaatnya jauh lebih banyak, namun shalat di sini jauh lebih cepat selesai dibanding shalat tarawih di Masjid Topi Ayu.

Perbedaan amalan dan tingkat fanatisme yang tinggi inilah yang kadang kala menjadi pangkal seteru dan perdebatan tak berujung dari generasi ke generasi di Kodai Cik Minah. Berbeda dengan Kodai Lonsiu yang pelanggannya kebanyakan jama’ah Masjid Topi Ayu, pelanggan Kodai Cik Minah adalah campuran. Kedai ini terletak di pinggir jalan raya, kami menyebutnya Lobuo Godang, jalan yang menghubungkan ibu kota Provinsi dan ibu kota Kabupaten. Kata orang jalan ini juga tembus sampai ke Sumatera Barat dan Medan, entahlah karena aku belum pernah menempuhnya. Perjalanan terjauh ku hanya sampai ke Rantau Berangin saja. Menyaksikan mobil yang antri di rakit penyeberangan.

Kodai Lonsiu adalah salah satu kedai legendaris di kampung kami. Kedai kecil berdinding papan dengan dua buah meja panjang tersusun di dalamnya. Usia kedai ini nyaris sama tuanya dengan usia kampung ini. Tuok Rozak adalah generasi ketiga yang menjalankan kedai ini. Ia mewarisinya dari ayahnya yang juga mewarisinya dari kakeknya Tuok Lonsiu bin Modan. Di kedai inilah Toke duduk dari selepas zuhur hingga ashar menjelang. Ia dengan senang hati membayar semua apa yang dimakan dan diminum oleh warga asal kan hatinya senang dan warga tetap.memanggilnya Toke.

Menu favorit di kedai ini adalah Kopi Obui, atau Kopi Rebus bahasa Nasionalnya. Disebut Kopi Obui, karena penyajian kopinya yang langsung di rebus di dalam sebuah panci kecil sebelum disajikan kepada pelanggan. Berbeda dengan kopi seduh biasa, aroma Kopi Obui terasa lebih kuat. Berbagai macam toples berisi Kupuok Tujin, Gulo-gulo Kalamai, Bolu Ikan, Kupuok Jangek, Jipang dan jajanan kampung lainnya. Sebuah kaleng kerupuk berwarna biru dengan kaca dibagian depannya nampak menempel di salah satu dinding. Tertulis di salah satu sisinya “Kelana”, jadilah kerupuk itu resmi dinamai “Kupuok Kelana”.

Toke dulu hidup sangat miskin. Ia anak semata wayang. Ayahnya pergi merantau ke Malaysia sejak usianya tiga bulan dan sejak itu tak pernah kembali. Sampai usianya tiga tahun, tuok Jama’an masih sering berkirim ringgit pada perantau yang pulang kampung. Tapi setelah itu sampai saat ini tak pernah lagi terdengar kabar tentangnya. Dan sampai meninggal, Niok Timah, ibunya tak pernah menikah lagi. Seperti itulah lazimnya kesetiaan wanita di kampung kami. Namun ada juga yang menikah berkali-kali seperti Niok Bainab yang seumur hidupnya telah menikah dengan tujuh lelaki berbeda dua orang cerai mati, selebihnya cerai hidup.

Kepahitan hidup masa kecil telah menempa Toke menjadi seorang yang gigih dan giat berusaha. Sedari kecil ia telah terbiasa bekerja keras. Ia terbiasa tinggal di “Daek”, sebutan kami untuk kebun kami di hutan. Di Daek, Toke kecil yang dulu masih dipanggil Arun, Baladang Kasang bersama ibunya dan warga kampung lain. Baladang Kasang adalah salah satu teknik menamam padi di tanah kering atau perbukitan. Warga akan menebang dan menebas rerumputan di hutan untuk kemudian dibakar. Setelah abunya dingin, padi akan “ditugal”. Tak ada perawatan khusus. Abu hasil pembakaran akan menjadi pupuk alami. Tak ada pestisida atau insektisida yang digunakan. Jika musim “Pianggang” tiba, warga akan menangguknya dengan tangguk kelambu, mengunyah sebagian binatang beraroma menyengat itu dan menyemburkannya ke arah bunga padi.

Toke kecil juga terbiasa dibawa ibunya pergi bekerja di sawah atau kebun orang lain, “Manjue Puaghi” bahasa kampungnya. Tak ada upah berupa uwang yang diterima. Biasanya hanya beberapa gantang beras saja. Atau terkadang bahkan hanya ucapan terimakasih saja, dan di lain hari mereka pula yang bersama datang menolong ke kebun kita, Batobo istilah kampungnya.

Karena kesulitan ekonomi, Toke tak pernah sekolah. Ia hanya belajar mengaji saja malam hari di Surau Ujuong. Kalau urusan mengaji, Toke adalah juaranya. Ia datang lebih awal dan menolong Tuok Muin membersihkan Surau. Ia juga dengan senang hati membantu Tuok Muin memompa “Lompu Strongkeng”, lampu penerangan kami untuk mengaji. Baginya, bisa menikmati cahaya terang Lompu Strongkeng dari Maghrib sampai Isya adalah sebuah kemewahan, jika dibanding penerangan di rumahnya yang hanya Lompu Togok. Namun meski hidup susah, Niok Timah mengajarkannya untuk selalu menjadi orang yang jujur. Dan kejujurannya inilah yang kemudian merubah nasibnya.

Saat usianya beranjak remaja Toke ikut membantu ibunya dengan bekerja pada salah seorang toke getah di kampung kami, H. Maran namanya. Singkat cerita, karena kejujuran dan bakatnya yang berlebih dalam hal berdagang, Toke pun menjadi orang kepercayaan H. Maran, dan bahkan H. Maran memberikan modal buat Toke untuk bisa berjualan getah sendiri. Dari situlah hidup berubah. Nasib seakan berpihak kepadanya. Arun kecil yang hidup susah dan tak pernah tahu seperti wajah ayahnya perlahan menjelma menjadi seorang pengusaha sukses. Sejak saat itulah sebutan Toke melekat pada dirinya.

Toke punya satu orang anak dari hasil lima kali menikah. Pernikahan pertama tak berlangsung lama, ia menceraikan istrinya karena dianggap tak hormat kepada ibunya. Istrinya yang kedua meninggal saat melahirkan anaknya yang pertama, seminggu setelahnya menyusul anak kesayangannya berpulang. Istrinya yang ketiga dicerai karena setelah lima kali lebaran ia tak juga kunjung memberinya keturunan, sebenarnya Toke tak ingin menceraikannya, namun setelah permintaannya untuk menikah lagi ditolak istrinya, Toke akhirnya menceraikannya. Istri yang keempat meninggal karena sakit. Orang kampung menyebutnya “Tamakan Acun”. Sudah berbagai macam dukun mengobatinya namun tak kunjung sembuh juga. Dukun di Kuntu, dukun dari Lindai bahkan dari Dalu-dalu pernah didatangkan Toke untuk mengobatinya. Namun sakitnya bertambah parah jua. Nafasnya semakin sesak, tubuhnya semakin kurus. Sesekali batuknya mengeluarkan darah hitam kental. Akhirnya ikhtiar beralih ke pengobatan modern. Dokter di Pekanbaru mendiagnosanya terkena sakit TBC akut. Sebulan dirawat, istrinya membaik, namun dokter memintanya untuk rutin membawanya berobat minimal selama satu tahun. Tiga bulan berikutnya istrinya meninggal dengan gejala sakit yang sama. Toke begitu menyesal telah mengabaikan anjuran dokter untuk rutin membawa istrinya berobat, dia bertekad, jika kelak punya anak, akan menjadikannya seorang dokter.

Akhirnya, di pernikahannya yang ke lima, Toke beroleh rezeki itu. Istrinya melahirkan seorang anak laki-laki, dinamainya anaknya dengan nama Budiman, seperti nama panggilan dokter yang merawat istrinya dulu. Kenduri besar dilaksanakan saat hari ketujuh setelah kelahirannya. Dua ekor kambing jantan besar dibantai sebagai aqiqah untuk anak kesayangannya. Tak terhitung jumlah ekor ayam jantan dan betina yang dibantai selama masa kenduri yang dilaksanakan hampir satu pekan, siang dan malam. Bunyi Oguong, Gubano dan Calempong tak berhenti setiap malam. Berbagai macam panganan dibuat, Kalamai, Oluo, Lomang, Buajik, Kue Sopik dan banyak makanan kampung lainnya. Selama seminggu hampir semua warga kampung makan di rumah Toke. Kepada setiap orang Toke dengan bangga menyebutkan bahwa anaknya kelak akan dipanggil Dokter Budiman.

Nama Budiman sendiri terasa sangat asing di kampung kami. Tak seorang pun dari kami pernah mendengar nama itu dipakai sebagai nama warga kami. Nama warga kampung kami biasanya.menggunakan nama Nabi seperti Adam, Ilyas, Harun dan lain atau bagi generasi awal, biasanya ada yang menggunakan nama hari, seperti Sotu, nama Tuok Sotu, karena ia lahir di hari Sabtu, atau nama yang sedikit Moderen, seperti Bustami, Mahyudin, Syaiful. Tapi nama Budiman tak pernah dipakai.

(***)

Diksionari
1. Kodai : Kedai
2. Musojik : Masjid
3. Lobuo : Jalan Aspal
4. Surau : Mushalla atau langgar
5. Lompu Strongkeng : Lampu Petromaks
6. Lompu Togok : Lampu minyak yang hanya menggunakan sumbu.

Penulis: Agus SutawijayaEditor: M Syari Faidar