Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Pria yang Terlupa

Oleh: Al Firdaus, Tenaga pendidik.

CIO — Jogjakarta 1999. Sudah tiga tahun lebih Aldi tidak merasakan pulang kampung. Tentunya, bagi Aldi dan teman-temannya sebagai anak rantau pulang kampung menjadi sesuatu hal yang sangat mahal. Terlebih lagi mereka memiliki perjanjian pada diri sendiri untuk tak akan pulang sebelum selesai sekolah. Karena begitu mendalami falsafah itu, pulang tidak meraih apa-apa akan dianggap tidak berguna. Jadi pilihannya cuma satu dalam diri mereka, bahwa mereka harus berhasil. Apalagi mereka hanya beberapa pelajar dari daerah terpencil yang khusus dikirim belajar ke tanah Jawa dalam rangka menajamkan ilmu pengetahuan mereka.

Pada tahun 1998 di kampung pedalaman Sumatera Selatan jaringan listrik masih susah, kondisi jalan tidak karuan sehingga sudah bisa dipastikan transportasi masih sangat jarang. Hanya motor bebek Yamaha berwarna merah yang paling canggih pada saat itu. Mengapa di cap canggih, karena hanya benda itu yang paling sering lalu lalang di tengah perkampungan. Itu pun hanya beberapa gelintir penduduk yang punya. Kendaraan itulah yang mereka sewa untuk berpergian.

Terkadang menjadi peristiwa menegangkan ketika tepat berada di tengah hutan yang sepi tiba-tiba motor mati. Yang ada dipikiran, bisa saja harimau muncul secara tiba-tiba lalu menerkam dan memakan mereka hidup-hidup seperti yang terjadi pada Pawang Sirkus dimakan Harimau. Ngeri.

Hewan buas seperti Harimau ibarat tamu tak diundang. Dia bisa muncul tanpa tegur sapa dengan wajah yang garang di balik semak-semak hutan belukar. Mau tidak mau Aldi dan teman-temannya harus memberanikan diri melewati itu semua.

“Hai Bujang akan kemanakah kalian berdua?” tanya Tukang Ojek Motor kampung dengan heran karena anak beranjak remaja membawa tas besar berwarna hitam dan itu jarang terjadi. Tentunya hal itu menjadi pemandangan aneh yang menimbulkan pertanyaan.

“Belajar jauh Mang di suatu Pulau.” Jawab Aldi mantap.

“Atas perintah siapa belajar di suatu pulau Bujang?” tegasnya seakan meremehkan Aldi dan temannya.

Dalam hati Aldi merasa geram dengan Tukang Ojek Motor satu ini. Dengan pengetahuan yang ia baca di perpustakaan sekolah. Ia menjawab tangkas, “Amanat UUD 1945 Mang.” Tukang Ojek Motor tertegun sejenak.

“Apa itu amanat UUD 1945. Maklum Jang kami tak bisa baca buku sekolah,” jawabnya mengaku jika ia tidak banyak membaca. Bisa jadi teks UUD 1945 ia tidak pernah menyentuhnya, kecuali anak sekolah seperti Aldi dan temannya.

Aldi dengan tenang menjelaskan. “Mang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia bahwa kewajiban negara itu mencerdaskan bangsa. Nah, itu wajib di miliki anak bangsa. Kami anak bangsa juga. Jadi dengan amanah itu kami harus belajar.”

Tertegun Tukang Ojek Motor mendengar jawaban itu dengan wajah sedikit memerah. Sambil mengibas topi seperti mangkok mie ayam, ia bergegas mengengkol motor Yamaha tahun 80-an. Setelah mengengkol motor dalam hitungan melebih jari tangan barulah motor berteriak kencang.

“Motornya hidup anakku.” Semangatnya terucap.

“Ini rejeki kalian. Aku bangga bertemu dengan anak muda seperti kalian ini. Sepertinya kalian akan dimudahkan di sana,” ucapnya.

Aldi dan temannya tersenyum. Dalam hati Aldi dan temannya berkata. “Amiin Mang. Doakan kami agar tidak memalukan di sana.”

“Tunggu dulu anakku, jangan naik dulu. Aku akan bertanya lagi. Selain dari Uda, uda — maksudnya UUD 1945. Ada lagi yang menyeru kalian?”

Di awal percakapan Aldi memang sedikit kesal, namun kini malah bersemangat ingin memberi tahu.”Tentu Mang. Mereka adalah orang tua kami.”
“Menurut orang tua di kampung kami, tanah Jawa merupakan ladang ilmu. Banyak sekolah, banyak kampus dan banyak organisasi. Dan tentunya yang paling asyik banyak orang pinter,” imbuh Aldi dengan semangat.

Terkagum Sang Tukang Ojek Motor. “Sekarang aku percaya kalian,” balasnya.

Aldi menaiki motor itu. Setelah sampai di ujung Kampung, Aldi dan temannya turun dari motor Yamaha merah yang mereka tunggangi. Lalu ia menatap si Tukang Ojek Motor yang berlalu dan menghilang di balik pepohonan besar.

 

***

Terasa berbeda ketika Aldi pertama kali menginjakan kaki di tanah yang pernah dikuasai oleh Majapahit itu. Semua yang Aldi pandang serba unik. Baik dari segi bangunan rumah, cara bertutur kata, kendaraan yang digunakan sampai pada pekerjaan ibu-ibu yang membawa bakul besar di pinggul dengan isian berbagai macam sayuran.

Bus yang Aldi tumpangi berhenti tepat di pinggir jalan Pojok Benteng Wetan. Benteng yang sangat khas berwarna putih melingkar mengelilingi kota Jogjakarta. Terpana bukan main Aldi menyaksikan Benteng bersejarah yang didirikan oleh Adipati Anom yang bergelar putra Mahkota Sultan Hamengku Buwono I yang kemudian digantikan oleh Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono II.

Pada saat ini pun masih berdiri tegak benteng yang sering disebut dalam Bahasa Belanda Vredeburg itu.

“Melu Mas!” seru seorang Ibu paruh baya.

Aldi bingung minta ampun.

“Maaf Bu permisi saya masuk,” ucap Aldi dengan berjalan masuk ke dalam bus.

Sang ibu terheran. “Lah nganggo boso Indo toh?”

Bertambah bingung Aldi dengan ucapan ibu itu. Ia termanggut dengan senyuman kecil.

“Teng pundi Mas?” tanya Kondektur bus.

“Apa Pak?” Aldi menjawab cepat. Walaupun dengan keadaan letih dengan wajah yang kusut karena terlalu lama berada di dalam bus luar kota antar Provinsi.

“Masnya ini mau kemana?” tanya Kondektur bus mencoba menjelaskan dengan Bahasa Indonesia.

“Itu iya Pak. Saya mau ke Bantul,” jawab Aldi sedikit puas karena ia akhirnya bisa mengerti. Adi pun kembali duduk.

 

***

Dari kejauhan di antara kerumunan orang banyak terlihat Iwan berjalan ke arah Aldi.

“Hari ini ada undangan dari tetangga sebelah asrama kita. Mau ikut enggak?” tawarnya pada Aldi. Ajakan itu sedikit menimbulkan pertanyaan di dalam hati Aldi.

“Sebenarnya ada apa ya?” tanya Aldi yang lagi dihinggapi rasa malas yang merajainya untuk mendekam di asrama saja.

Tapi akhirnya Aldi setuju dengan ajakan Iwan. “Siapa tahu bisa menghilangkan kegabutanku ini,” pikirnya.

“Aku harus berinteraksi dengan orang lain. Siapa tahu ada senyuman yang tulus di luar sana,” ucapnya setengah bimbang namun segera menemukan kesimpulan bahwa ia setuju dengan ide Iwan –teman satu daerahnya di asrama.

“Baiklah,” jawab Aldi singkat.
“Jam berapa ya?” tanyanya memastikan.

“Nanti aku menghampirimu pakai sepeda. Tunggu saja,” balas Iwan dengan mengangkat kedua alis matanya.

Azan berkumandang baru saja selesai. Orang-orang telah ramai berkumpul di ujung perbatasan asrama mahasiswa Sumatera. Asrama yang memang sengaja terletak di dekat perkampungan masyarakat, agar para mahasiswa yang dari luar Jawa bisa berbaur dengan mereka.

Aldi cukup dikenal oleh masyarakat sekitar asrama seperti tukang warung langganan Mahasiswa, tetangga sebelah asrama dan tukang bersih-bersih asrama.

Lain halnya dengan Iwan mahasiswa yang tidak betah di asrama ia sangat suka kelayapan kemana-mana. Ia sama persis seperti di kampungnya. Masuk hutan keluar lagi. Masuk kampung masuk hutan lagi.

Orang seperti Iwan biasanya pergaulan dan keilmuannya tentang masyarakat sangat lihai. Maka tak heran para tetangga suka menyebut namanya.

“Anak mahasiswa yang kalau ngomong bahasa Jawa suka lucu. Logatnya enggak jelas.” ungkap masyarakat, tapi ia dapat diterima di masyarakat sekitar.

“Wan mana temanmu?” tanya seorang Bapak berkulit legam dengan senyuman tersungging.

“Ini mau saya jemput dulu Pak,” jawab Iwan dengan santai. Iwan mengayuh sepeda ke asrama.

“Aldi, ayo lest go. Berangkat Kita!” ajak Iwan antusias.

Tidak jauh dari asrama, Iwan dan Aldi berhenti di sebuah kerumunan orang banyak.

“Eh Nak Iwan. Mari silahkan.” sapanya ramah.

“Katanya mau bawa teman, mana?” disertai logat Jawa yang kental.

Iwan tersenyum santai sambil membalik badan dan menatap Aldi.

“Ini teman saya Pak,” jawabnya.

Aldi dan Iwan segera turun dari sepada ontel milik asrama. Aldi menatap heran dengan para lelaki-lelaki yang terlihat berbadan kekar tapi tidak mengenakan baju. Urat-urat di tangan mereka terlihat sangat keras menandakan mereka pekerja keras. Kulit mereka hampir gelap karena terlalu sering terkena sinar matahari di sawah.

Bisa dihitung lelaki tersebut berjumlah belasan orang dengan bahasa yang sama yaitu bahasa Jawa. Mereka terlihat sangat asyik berbincang-bincang antara satu dengan yang lainnya. Seperti ada kesetiaan yang sangat kuat di antara mereka.

Beberapa orang menyapa Iwan dengan ramah dan sesekali melempar senyuman kepadanya. Seperti menganggap Iwan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mereka.

Di luar rumah sudah tersedia berbagai makanan. Ini mungkin kesempatan yang sempurna untuk Aldi yaitu mendapatkan makanan gratis. Aldi menatap makanan yang sangat khas di bungkus daun pisang yang sudah direbus. Ada pisang kepok yang sudah digoreng, ada teh pahit dan kopi yang tersedia dihadapan mereka.

Dalam pikiran Aldi mungkin ini acara selametan. Yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa. Tapi mereka semua tidak menggunakan pakaian resmi.

Terdengar seseorang berteriak dengan keras. Sepertinya ia bertindak sebagai komandan.

“1.2.3. angkat!” teriaknya memberi perintah.

Semua orang hadir dan berada di dekat rumah Joglo. Iwan setengah berlari mengikuti instruksi. Mereka membuat posisi persegi panjang yang setiap baris terdapat beberapa orang di pojok.

Akhirnya Rumah Joglo yang berukuran hampir setengah lapangan bola kaki di angkat beramai-ramai. Aldi pun dengan segera mencoba ikut mengangkat. Perlahan tapi pasti.

“Jangan terlalu cepat,” ucap komandan untuk kedua kalinya.

Belasan orang yang mengangkat perlahan melambat. Aldi pun mengikuti. Tapi karena ia tidak dapat mengendalikan badannya, ia terpental ke samping terkena senggolan ujung rumah Joglo. Ia terjerembab. Tak mau kalah ia bangkit. Balik kembali mengangkat rumah Joglo. Akhirnya rumah itu terangkat dan berpindah dengan pasti.

“Tahan dulu. Jangan dilepaskan.” aba-aba kembali mencuat keras.

Semua orang memasang posisi siaga penuh menahan, jika rumah Joglo sampai miring tentu saja bisa ambruk. Perlahan Rumah Joglo diletakkan dan semua terpasang dengan pas dan rapi.

Nafas Aldi dan Iwan tersengal-sengal karena mengangkat Rumah Joglo. Mereka duduk di bawah pohon rindang di sebelah Rumah Joglo. Karena memang di perkampungan itu pepohonan masih terjaga terutama pohon kelapa, pakel, dan tanaman lainnya.

“Nak Iwan. Sini ajak temanmu makan. Enak loh ini,” ucap seorang Bapak menawari Iwan dan Aldi. Mereka terlihat sedikit malu namun menyetujui tawaran itu.

Iwan kembali membuka percakapan. “Ternyata belasan orang bisa mengangkat Rumah Joglo ya Pak?”

Sang Bapak tersenyum. “Kita sudah biasa Nak seperti ini. Biasa setiap tahun ada yang pindah rumah. Tapi kerangka rumahnya saja yang pindah bukan orangnya.”

Iwan dan Aldi hanya mengangguk pelan disertai senyuman kecil.

Sang Bapak menyambungnya lagi. “Makanya saya tadi butuh Nak Iwan dan Kawannya. Supaya menambah tenaga kami.” terangnya di samping Iwan dan Aldi.

“Dan kebiasaan seperti tadi tidak hanya pindah rumah Mas. Tapi setiap ada kegiatan yang melibatkan orang banyak terutama bagi orang tidak yang mampu maka dengan semangat Gotong Royong kita harus membantu mereka. Contohnya saat panen padi. Kami bersama-sama warga yang lain ikut membantu juga,” tegas sang Bapak sambil menatap Iwan dan Aldi.

Di balik tatapan Aldi dan Iwan ada sebuah kebanggaan yang terbersit dalam pada diri mereka. Bahwa mereka bukan hanya diterima sebagai orang baru di sebuah wilayah baru. Tapi mereka sudah dianggap keluarga besar oleh masyarakat di sekitar.

Jadi kerinduan terhadap kampung halaman di seberang pulau Jawa sedikit terobati oleh masyarakat yang cinta akan gotong royong demi kemajuan bersama tidak hanya pada tingkat desa. Tapi kemajuan gotong royong ini dapat menjadi slogan bangsa Indonesia dalam memajukan seluruh rakyat Indonesia.

Beberapa tahun berikutnya. Aldi dan Iwan menginjakkan kaki di kampung halaman mereka. Ada pemandangan yang berbeda dari kampung tersebut. Jalan yang sudah lama ada mulai dilalui oleh beberapa mobil. Motor dengan berbagai merk pun sudah cukup banyak. Beberapa tahun ia tinggalkan ternyata pemerintah tetap peduli pada masyarakat pelosok ini.

Mereka menunggu di ujung jalan. Artinya rumah sudah tidak ada lagi. Mereka melihat sebuah motor merah yang tinggi seperti motor trail Kawasaki. Pengendara mengenakan helm lengkap.

Aldi dan Iwan terheran bukan main dengan penuh tanda tanya, ”Apakah Tukang Motor ikut bereformasi juga.”

Tukang Motor berhenti di depan Aldi dan Iwan. “Siap antar kemana anak muda mau,” ucapnya.

“Maaf Mang kami hanya ingin ke kampung sebelah bisa diantar?” pinta Aldi.

“Oke sangat bisa anak muda,” balasnya.

“Sebelum kami naik motor. Ada baiknya Mamang membuka helm dan kaca mata hitamnya. Kita ingin tahu,” tegas Aldi, dan Iwan sangat menyetujui itu.

“Oh, tentunya,” jawabnya cepat.

Terkejut bukan main ketika ia membuka helm dan kaca mata hitamnya, ia melihat kedua anak muda dengan seksama.

Dia kemudian berujar. “Kalian anak itu. Anak yang beberapa tahun lalu aku antar dari kampung ini,” ujarnya dengan terheran.

Dengan ingatan yang kuat Tukang Motor berkata lagi. “Dan tas hitam besar itu masih kamu bawa anak muda. Kalian luar biasa.”

Aldi dan Iwan menatap heran karena sejatinya mereka sendiri sudah lupa dengan Tukang Motor tersebut.

“Mane aku tahu siape Mamang nih!” ujar Aldi dalam hati. Ia coba mengingat dalam memorinya yang tertumpuk-tumpuk oleh jejak kehidupannya yang jauh di tanah Jawa. Ia seperti menemukan harta karun di dalam memori kehidupannya.

“Ie, ie.” ucapnya dengan kecepatan kedipan mata.

“Ai Mamang nih. Baru aku ingat nian. Maaf ye Mang lupe tadi.” sambungnya lagi seperti diiringi rasa bersalah.

Iwan pun terheran bukan main. “Siape itu tuh Di?” tanyanya.
“Dia orang kampung sini.” jawabnya singkat.

Ia kembali tersenyum bangga karena mereka telah dipertemukan kembali dengan seorang yang tulus mendo’akan mereka waktu itu.

***

Biografi Penulis: Al Firdaus. Lahir di Sumatera Selatan.

Menamatkan S1 IAIN Surakarta 2011 dan S2 Institut PTIQ Jakarta 2019.

Prestasi dan Karya:

* Juara 1 Debat Ilmiah di Kampus IAIN Surakarta.

* Pernah mengikuti pelatihan penulisan Buku Online.

* Menerbitkan novel pertamanya yang berjudul Dermaga Tanjung Si Api-api (Inspirator Academy Jakarta), Jejak Rindu di antara Dua Pulau dan Lima Jiwa yang Pergi (jejakpublising.com), yang terbaru 2020 Aku dan Tentang Kita (Guepedia.com), Surat Rindu (Guepedia.com).

* Beberapa artikelnya pernah terbit media online, diantaranya:

https://www.hallotangsel.com/2020/10/merupakan-kebutuhan-siswa-modern.html

Sekarang aktif mengajar di SD Islam Cikal Cendekia Tangerang.

Fb al firdaus.alfi, My IG Alfi alfirdaus, Email [email protected]

Penulis: Al FirdausEditor: M Syari Faidar