Cakrawalaindonesia.id – Dua tahun lalu anak seorang manusia yang juga jenis kelaminnya lelaki ini baru wisuda di salah satu perguruan tinggi. Orang-orang juga sibuk membicarakan dirinya yang baru saja lulus wisuda dan kembali lagi ke desa. Setelah lima tahun kuliah, beberapa buku dibawanya pulang ke rumah. Beberapa buku itu juga nampak usang dan sudah lama.
Kebiasaannya dia katanya temannya suka membaca buku. Entah beberapa buku dan buku apa aja yang sudah dibaca. Jelasnya memang dia baru saja wisuda. Saat itu memakai toga wisuda hitam dan berkalungkan medal yang berlambangkan almamaternya, dia mengajak foto beberapa keluarganya, terutama ayah dan ibunya. Dia gagah-gagahkan dirinya yang berdiri di tengah itu.
Karena alasan sesuatu dia sunggingkan bibir. Sedikit senyum dan wajahnya nampak serius-serius amat. Dengan begitu sudah sah dia jadi wisuda juga. Walaupun ketika diajak bicara dia mikir dulu apa yang akan dibicarakan. Bahkan juga obrolannya jauh-jauh tentang hal yang keluar dari topik pembicaraan. Orang yang diajak ngomong juga jadi bingung jadinya mau ngobrol apa.
Setelah sesi pemotretan yang dilakukan sendiri, kemudian dia membuka toganya dan senyum-senyum sendirian setelah keluar dari pintu rumah dan mengeluarkan rokoknya. Dia rokok sambil mikir jauh kebayang nanti jadi apa. ketika sedang ngobrol itu, dia nampak sedikit melirik ke teras, karena datang satu motor membawa kabar baik, selamat telah diwisuda juga.
Temannya itu datang karena dia undang. Teman yang baik itu membawa beberapa roti lapis sebagai perayaan wisudanya. Mereka nikmati momen berdua itu di kursi rumah. Dengan datangnya seorang manusia, berarti dia juga akan ngobrol tentang sesuatu.
“Wah, katanya Indonesia ini sedang naik krisis moneter?” ucap lelaki itu kepada temannya yang baru datang dan menepuk bahunya.
“Kenapa tiba-tiba kita ngomong Indonesia?” temannya heran tiba-tiba disuguhi pertanyaan macam itu.
“Begini, sebagai orang kit aitu harus ikut mengurus negara juga.”
“Tidak, prosesnya tidak macam itu. Kita itu hanya perlu tahu saja.”
“Ah, kamu salah. Harus mengurusi juga.”
Mereka terlibat perdebatan kecil berbicara tentang Indonesia. Katanya lelaki itu, sambil jarinya memelintir rokok dan menetakkan abunya ke asbak. Temannya itu dalam hati juga sebenarnya heran. Dia hanya ke sini untuk ikut merayakan momen wisudanya, kenapa justru diajak bicara tentang Indonesia. Temannya sambil memegang dada juga istighfar dalam hatinya.
“Gini, Indonesia itu sebenarnya seperti kata Pramoedya. Mesti dimerdekakan permanusianya,” katanya sambil mengangkat satu kaki.
“Kejauhan, kita terlalu jauh pembicaraan kita. Jangan mengomongkan tentang Indonesia lagi. Kita harus bicara ala kadarnya saja.”
“Kamu ini jauh-jauh kuajak bicara justru tidak nyambung.”
“Kamu bicaranya tentang Indonesia, tentang bangsa, artis, aku jadi malah bingung sendiri.”
“Ruwet, itu namanya kamu ruwet. Karena tidak mau mengerti tentang Indonesia.”
Temannya ini jadi kebingungan dibuat bicara tidak tentu. Ada hal yang perlu mereka bicarakan tentang hal lain yang lebih perlu. Tetapi lelaki itu nyambung pembicaraannya tentang kemerdekaan, sama keaktoran. Orang yang diajak bicara justru tidak paham maksudnya apa.
Dia menyuguhkan juga rokoknya buat dirokok bersama. Sudah jadi kebiasaan kalau ada tamu disuguhi rokok biar merokok bersama-sama. Kemudian dia menawarkan kopi kepada tamunya itu. Tamunya itu menganggukkan kepala. Itu tandanya temannya mau. Dia lantas ke dapur dan membuat kopi.
Dia menuangkan bubuk kopi ke dalam dua gelas, tanpa kasih gula. Menurut dia, pabrik tebu itu sudah dikuasai modal asing. Sehingga dia tidak harus mengkonsumsi tebu, tetapi gula merah saja. Karena gula merah itu diproduksi oleh petani aren di daerah gunung kidulan. Makanya, menurut dia gula merah itu produk terbaik di Indonesia.
Dia memasukkan gula merah juga ke dalam gelas. Dikasih air hangat yang sudah mendidih dan mengaduk kopi. Biasanya orang kalau membuat kopi pakai gula pasir dan sakarin cair. Lelaki itu memilih yang berbeda, memakai gula merah. Menurut dia hal sperti itu jenius.
Kopi itu dia bawa keluar dan dia bawakan kepada temannya. Menghirup segarnya aroma kopi hangat itu, tamunya senyum sambil menolehkan kepala ke gelas kopi. Itu tandanya dia mau minum. Lelaki itu mengijinkan temannya minum terlebih dahulu.
Tamu itu menenggak minuman kopi. Dia menenggaknya sedikit, menyeruput kopi, mencoba menikmati rasanya. Dia pelintir-pelintir lidahnya, dia rasakan ada yang berbeda. Rasanya seperti gula merah. Ada yang menyangkut juga di gigi, seperti coklat, tapi manis pahit dan keras. Dia pun meludahkannya ke tangannya.
“Wah, ini apa?” kata tamunya.’
“Itu gula merah, masak kamu tidak tahu.”
“Kenapa ada gula merah dalam kopi. Setahuku tidak ada kopi gula merah.”
“Ini inovasi, kamu tidak tahu kalau ini kopi bagus buat kesehatan.”
Temannya itu lama-lama jengah dan bingung menghadapi si lelaki itu. Apa yang lelaki itu pikirkan rasanya asing dari polah kebiasaan manusia secara umumnya. Apa yang dia lakukan barusan juga itu termasuk hal aneh menurut kemanusiaan secara umum. Tetapi lelaki itu menganggap hal itu sederhana saja.
Karena tidak tahan dengan hal tersebut, dia akhirnya pamit saja untuk segera pulang. Lelaki itu merasa pembicaraan mereka belum selesai. Sehingga harus dilanjutkan kembali. Tetapi tamunya itu mencari alasan bahwa dia harus menjenguk neneknya, karena itu dia harus segera pulang.
Lelaki itu tentu tidak bisa menahan apa yang harus dia inginkan dari tamunya. Dia rela mengijinkan tamunya pulang. Dalam hati lelaki itu merasa, pasti ada hal yang aneh yang tamunya itu pikirkan.
***
Setahun setelah itu, dia masih di rumah. Setiap hari hanya duduk di kursi, makan, duduk lagi, rokok, duduk lagi, minum, duduk lagi tidur. Itu kebiasaan dia selama setahun. Hanya memikirkan Indonesia dan mikir mau bekerja apa. tidak berani keluar rumah. Karena orang-orang membicarakan kehadiran dirinya di desa. Dia merasa orang-orang semakin benci kepadanya.
Dia hanya bisa duduk saja. Hingga suatu hari, ayahnya menyuruhnya untuk mendaftar kerja di sebuah sekolah dan dia harus berangkat hari itu juga. Sebagai anak yang baik, tentu dia harus menuruti nasihat orang tua. Dia berangkat ke alamat sekolah yang dimaksud. Dia menyetorkan surat lamaran kerja dan berharap supaya ada jalan. Dalam hati hanya ada harapan-harapan, dan harapan.
Beberapa minggu setelah itu, ada telpon berdering. Dia diinformasikan telah diterima kerja. Lelaki itu bisa masuk mulai kerja pada hari Senin. Lelaki itu merasa riang, dia bersiap masuk kerja di hari yang ditentukan. Dia pakai seragam dan sepatu pantovel hitam. Dia berangkat ke sekolah dan bekerja untuk jadi guru.
Lelaki itu kemudian diharuskan mengajar beberapa kelas. Dia belum punya pengalaman mengajar, jadi lelaki itu juga merasa bingung. Akan tetapi, seorang pegawai di situ mendekati dia dan memberi tahu kepadanya bahwa jadi guru itu harus semangat dan berani bicara. Itu saja nasihatnya. Nasihat itu mengena di hati lelaki yang baru diterima kerja itu.
Lelaki itu memasuki salah satu ruang kelas dengan perasaan berdebar, dia takut dan gerogi, harus berbuat apa, harus bicara apa. dia merasa pesimis. Tetapi ini sudah tuntutan. Dia pun memberanikan dirinya dan mulai membuka dengan salam. Anak-anak di kelas itu sebagian menjawab, dan sebagian lagi diam saja membisu. Lebih memilih main hp dan mengobrol sama teman-temannya.
Lelaki itu sejurus memberikan mereka cerita tentang dongeng-dongeng dan misteri. Karena dia juga tidak tahu harus berbuat apa. anak-anak nampak antusias mendengarkan, sebagiannya bermain hp dan mengobrol dengan temannya. Lelaki itu tidak berani menegur mereka yang sedang main hp. Justru dia yang dibuat kecut sama lirikan tajam anak-anak di kelas itu.
Setelah dia selesai mengajar, lega rasanya di dada dia. Seperti sudah menuaikan kewajiban kerja yang dia telah lakukan. Ternyata hanya seperti itu, menyapa, mendongengkan, menurut dia. Pegawai yang menasihatinya tadi kemudian mendekatinya lagi dan mengajaknya untuk mengopi. Di kantin, sambil ngopi mereka mengobrol tentang hasil dari pembelajaran tadi.
“Bagaimana, Pak Gigik? Mudah, kan?” tanya teman kerjanya.
“Mudah, tapi sebetulnya juga sulit, saya belum terbiasa.”
“Nanti, kalau lama-lama juga terbiasa.”
“Semoga saja.”
“Bagaimana kabar Indonesia, katanya dia sedang masa krisis moneter karena harga sembako naik?”
“Wah, kata-katanya iya. Tapi kita juga perlu sadar dengan keadaan.”
Di tengah pembicaraan mereka itu, seorang wanita memberikan kopi dan mengantar kopi untuk mereka berdua. Wanita mud aitu kemudian melirik ke lelaki yang baru diterima kerja itu. Dia sunggingkan senyum. Lelaki baru itu membalasnya dan baginya, itu perasaan yang dalam. Dia perhatikan langkah wanita itu yang gemulai.
Setelah sebulan berlalu, dia masih bekerja di situ. Tetapi ada yang berbeda. Dia pakai pena di kantong saku bajunya, pakai peci, sama membeli kacamata. Katanya dia biar jadi makin keren karena berdiri di depan orang. Pekerjaan juga punya selera kalau menurut dia.
Tettt, bel berbunyi nyaring, anak-anak semua dipulangkan, karena jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Pembelajaran harus diselesaikan. Tetapi telpon lelaki baru kerja itu berdering setelah mendengar bel pulang sekolah. Dia mendapat informasi harus ke kantor. Dia cepatkan langkah kaki ke kantor, dan mendapatkan surat pengeluaran kerja. Dia merasa putus asa. Dia sudah tidak bekerja lagi. Dia menyesal membeli kacamata, juga polpen di saku. Di luar anak-anak berbaris, sambil berkata, “Hore, hore!”
Muhammad Lutfi
November 2022