Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen: Titik Buntu Kesemena-menaan

(CIO)  — Tidak akan pernah selamanya kekuasaan, kecerdasan, serta kekayaan dipegang oleh orang yang sama, kecuali jika langit berkehendak akan lain ceritanya. Begitu juga proses meraih sesuatu, tak ada yang dapat diraih dengan sangat mudah, pasti ada peluh dan derai air mata.

Irdif tak percaya dirinya bisa merasakan serangan yang cukup dahsyat dari seorang bocah yang tak bertampang. Dengan tatapan penuh meremehkan menyunggingkan senyumnya. Merentangkan lagi kedua lengannya.
Lalu berlari ke arah Nahirtif dengan penuh nafsu mengalahkan sekaligus membunuh. Khilsum A diabaikan. Larinya lebih kencang, pergerakannya sangat berbeda dari sebelumnya. Tetapi perut buncitnya tetap terlihat sangat menyebalkan.

Irdif tak lari, dia bersiap. Karena memang sebelumnya dia sudah berhasil mendaratkan serangan yang cukup telak. Meski dibantu oleh gurunya dia tetap memiliki daya serang yang lebih kuat dari gurunya.

Khilsum A khawatir, dia tak begitu yakin muridnya bisa menghalau seorang Irdif dengan mudah. Irdif membentangkan kedua tangannya, lalu diarahkan ke kepala Nahirtif, seolah hendak dipecahkan begitu saja. Nahirtif mengernyitkan dahinya.

Rasanya ada yang pernah dilaluinya, tapi lupa di mana, sampai memegang kening dan sedikit menggaruk-garuk rambut dekat telinganya. Serangan Irdif dihindarinya dengan sangat mudah. Khilsum A berdecak kagum.

_Apa ini!? Secepat ini dia berkembang!? Bukan maen!_ Nahirtif merunduk, lalu melompat untuk menghindari tendangan keras yang mengarah ke organ masa depannya. Lompatan itu membuatnya sudah berada di atas kaki Irdif.

Irdif makin menggeram, sunggingan senyumnya makin buas. Rasa puasnya tak pernah padam, setelah gagal menyerang dan tahu akan posisinya, hal itu tak membuatnya berkaca lebih teliti lagi. Nahirtif telah melambung tinggi meninggalkan dirinya.

Berkali-kali serangan dahsyat nan mematikan dilontarkan, seperti itu juga Nahirtif dengan mudahnya menghindari tanpa ada jejak-jejak kelelahan di wajahnya. Semakin dicoba semakin tak berhasil, Irdif murka.

“SINI BRENGS*K GAK USAH NGINDAR TERUS PENGECUT BANGS*T!” Gertakan itu bukan membuat Nahirtif takut atau pun gentar, malah membuatnya hampir tertawa. Rasa itu pun berkelabat lagi di kepala dan jiwanya.

_Sepertinya kejadian ini udah pernah terjadi! Ada apa ini sebenarnya!?_ keheranan demi keheranan menerpa Khilsum A tanpa ampun. Rasanya terlalu cepat waktu berputar, merenggut, mengembang, mungkin juga menghilangkan yang dulunya ada.
Nahirtif santai sambil tersenyum jijik pada Irdif. Kelebat kenangan akan rumah, awal mula dia dipukuli muncul begitu saja ke permukaan pantai kenangannya.

_Apa mungkin aku pernah bertemu dengan orang ini!? Tapi,_ dia hanya mengira dirinya kelelahan hingga banyak melupakan hal-hal yang tak seharusnya dilupakan. Nahirtif lebih serius lagi memikirkan tentang kejadian yang sedang dia alami hari ini.

Benturan demi benturan terasa terulang sedang otak lupa rinci dari waktu serta tempat terjadinya. Khilsum A makin dibuat geleng-geleng kepala dari tiap pergerakan Nahirtif yang sangat ringan sekali merespon serangan Irdif yang sebenarnya bagi Khilsum A masih terasa cukup berat.

Biasanya ranting akan tumbuh sangat luas dan meninggalkan akar, bahkan tak sedikit yang ranting itu berkembang hingga menghasilkan banyak akar kokoh nan kuat di bumi yang terhampar luas.
Napas, Irdif sudah masuk ke fase batas maksimalnya. Mungkin selama seumur hidupnya baru kali ini mendapatkan lawan yang sangat tangguh. Bahkan—serasa mustahil menaklukkannya. Kini mereka saling beradu pandang. Seketika itu juga Nahirtif memegang kening kanannya sambil merunduk.

Kenangan yang tadinya buram, kini makin jelas dan menerang perlahan. Begitu juga Irdif. Potongan ingatan itu kini mulai kembali perlahan.

Malam itu seorang pemuda kurus, penampilannya urak-urakan dan jauh dari kata enak dipandang, yang berjalan penuh beban, tubuhnya yang mengatakan rinci semua beban yang disembunyikannya, meski jauh dan teramat dalam, semua itu tetap dengan sangat mudah terbaca bagi orang-orang yang bisa dan biasa membaca bahasa alami tubuh seseorang.

Keenam komplotan bengis itu sedang berada pada posisinya masing-masing. Hanya satu orang yang merespon, dia adalah ‘Sikma’ karena basa-basinya terlalu basi dan lama, maka Irdif tak sabar lagi menonton kemonotonan itu.
Dengan cepat Irdif menendang sambil memaki-maki Nahirtif yang tengah terjerat dalam jeratan busuk Sikma berbalut ‘kepedulian’. Semuanya buyar waktu itu, hingga Mareh selaku ketua komplotan bengis itu membentak Irdif agar berhenti dari serangan bodoh tanpa izin darinya.

Sekarang keduanya ingat sangat jelas potongan ingatan kelam itu. Terutama Nahirtif. Khilsum A tak tahu ini, jelas ini juga tak akan Nahirtif ceritakan kepada gurunya, terlalu suram lagi menjengkelkan.

Nahirtif tersenyum, sekarang dirinya sudah jauh melambung di atas Irdif buncit emosional lagi jumawa. Khilsum A duduk, menghela napas. _Selesaikan dengan sempurna Nak._

Potongan ingatan kembali dengan sendirinya, seolah kembali ke tempat yang sama di waktu yang berbeda, memaksa ingat akan kenangan pada tempat yang lebih mengikat dari kenangan per-orang-an.

Menghembuskan aroma yang masih sangat sama seperti dahulu awal mula kenangan itu terbentuk.

Tendangan keras menghujam perut Nahirtif, hingga dirinya tak kuat lagi bangkit, seraya memegang keningnya, kedutan kenangan menguat, membawa pekatnya malam yang telah berlalu ratusan hari.

Irdif pun tak kalah tercengang setelah dia memperhatikan sosok anak muda yang dulu pernah ditendangnya dengan sepenuh tenaga. Pertanyaan itu muncul begitu saja di benaknya, _apakah ini anak yang dulu pernah kutendang!?_ sedikit goyah, menggoyang-goyangkan kepalanya ragu akan pertanyaan yang memergokinya begitu saja.

Khilsum A sudah tak sabar, _Selesaikan dengan sempurna Nak!_ Terhempas begitu saja di tengah gemerlapnya malam yang diterangi lampu-lampu dari berbagai bangunan, seolah benda-benda mati itu telah menyaksikan kekejian komplotan bengis.

Buas menerkam siapa pun yang dianggap sebagai penghalang jalan akan kerakusannya atas kekuasaan di dunia ini. Kelebat ingatan membuat masing-masing jantung berdegup lebih cepat dari biasanya.

Siapa yang menyangka kalau seseorang yang dahulunya telah dihajar habis-habisan kini bangkit dengan kekuatan yang jauh dari perkiraan. Entah dendam atau apa, mungkin kalau saja Irdif tak mencari masalah Nahirtif tak akan segila sekarang ini.

Cepatnya degup jantung membuat keduanya menjadi merasa tekanan udara lebih kuat, membuat suasana yang luas jadi sempit lagi pengap. Khilsum A dari tadi terlihat sudah sangat tak sabar, dirinya sangat ingin sekali melihat Irdif dihancurkan sehancur-hancurnya.
Kesemena-menaan itu akhirnya menemui titik buntunya. Keringat takut mulai bercucuran dari kening Irdif, kepalan tangannya pun terasa melemas. Bayangan keputusasaan hadir begitu besar di otaknya.

_Enggak Mungkin! Ini hanya aku yang kelelahan mengorganisir setengah dari karyawan pabrik!_ Tetap berusaha sekuat mungkin menepis kenyataan pahit yang jelas-jelas sedang berada di depannya dengan tenang dan tak terkalahkan.

Seperti tak ada celah untuknya menyerang. “Maju sini bocah tengik! Pengecut!” Teriak Irdif untuk menutupi gemetarnya. Nahirtif santai, dilihatnya Irdif, dia tahu kalau lawannya sudah tak sekuat awal mula gurunya pernah dikalahkan.

Nahirtif berjalan santai mendekat ke arah Irdif. Keringat di kening Irdif malah makin lebih cepat terjun dari sebelumnya. Kedua telapak kakinya menggeser-geser ke belakang dengan derapan yang hampir tak terlihat oleh mata.

Khilsum A tersenyum, _anak ini benar-benar sudah jauh melampauiku! Benar-benar luar biasa!_ ketenangan Nahirtif membuat siapa pun yang melihatnya ternganga, lebih-lebih dari pihak ‘ketelatan’, sontak perkelahian yang sedang terjadi antara dua kubu besar pun terhenti sejenak.

Mata-mata mereka kini tertuju pada Nahirtif dan Irdif. Kubu ‘Keteladanan’ pun sudah dari tadi bersorak-sorai agar pada Nahirtif agar menghentikan perilaku bodohnya, tapi mana ada yang bodoh, semua telah dirasa dan diperhitungkannya.

Tepat kini Nahirtif berada di depan Irdif, jarak mereka hanya satu hasta. Nahirtif tersenyum sinis. “Bapak mau pulang ke tempat asal Bapak atau dikubur dengan rasa malu di sini?” Pertanyaan sederhana itu benar-benar membuat sekujur tubuh Irdif gemetar.

Keringat itu sudah terlampau jatuh, basah, merusak segala pamor, pamer, keangkuhannya. Tangan kanannya yang hendak memukul Nahirtif pun bergetar tak ditangkis hanya dibiarkan begitu saja mengenai rahang Nahirtif.

Sangat tak terasa! Pukulan ketakutan yang tenggelam rasa bersalah itu benar-benar tak ada bobotnya sama sekali. Irdif tak berani melihat ke sekitarnya, matanya hanya menatap Nahirtif, ingin mencekik, menendang, dan mematahkan leher Nahirtif.

Semuanya sia-sia, tubuhnya melemas tak berdaya, ditambah kenangan dahulu dirinya pernah menyiksa seseorang yang sangat serupa dengan Nahirtif itu benar-benar berada di depannya.

Tanpa kata-kata Irdif pun tertunduk berjalan menghindari Nahirtif, berjalan terhuyung ke arah kubu ‘ketelatan’ lalu kerubungan itu membelah dengan sendirinya, seperti mempersilahkan raja mereka berjalan.

Mereka sangat heran, dari mereka tak seorang pun ada yang berani menanyakan keadaan Irdif. Irdif pergi keluar pabrik masker ‘meroket’ begitu saja, para petugas keamanan pun dibuat menganga sambil terbelalak heran.
Batin mereka semua, _apa ini! Aneh sekali! Apa yang sebenarnya terjadi!?_ Nahirtif memejamkan mata, merunduk sebentar, lalu tersenyum di tempat Khilsum A berada seraya mengacungkan jempolnya.

Khilsum A geleng-geleng kepala sangat bangga. _Ini murid gila! Sebelumnya belum pernah mengangkat murid, malah dia sendiri yang menganggapku murid, padahal diri ini jauh, amat jauh dari karakter seorang guru!_

___

Penulis: Halub
RTD. Kamis 23 Juni 2022. 7:33
toscahlb©

“Makin banyak melihat, harus makin banyak mengambil pelajaran, bukan melihat, lalu mencontoh dan menerapkan pada kehidupan nyata. Kecuali kalau contoh itu benar dan tentunya cocok, tapi jangan juga ngerasa cocok, padahal sebenarnya sangat enggak pantas.”

(***)