Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerbung: Aku, Buku dan Perjalanan Adaptasiku

(CIO) — Angin pagi di bulan Desember 2019.

Entah, mengapa pagi ini begitu panas di lantai 2 rumahku. Aku tahu bulan Desember adalah bulannya para perindu hujan, atau biasa disebut pluviophile orang yang suka hujan berebut menunggui hujan. Ada yang ingin mematung sambil terkena hujan. Ada yang ingin membelai hujan dengan jari-jarinya. Ada yang berjingkrak-jingkrak ketika hujan itu datang. Tidak ada pula yang memusuhi hujan. Karena menurut mereka hujan bukan pembawa bencana alam. Banyak hal yang ditimbulkan oleh hujan dari mulai tanah longsor, banjir, gempa, tsunami mereka sebuah terkait dengan hujan.

Pagi ini, walaupun sebenarnya aku tak ingin keluar walaupun hanya duduk di depan jendela lantai 2 rumahku. Tapi pikiranku yang terpengaruhui oleh mata coklatku melirik mentari kecil sebesar selendang anak wisuda. Dengan cahaya sangat terang. Mataku sangat kagum dengan keindahan sinar itu, ada sedikit awan disampingnya, seakan dia ingin bicara mari bermain bersamaku kawan.

Kemudian awan putih tak kalah menarik dengan gumpalan yang halus mencoba begerak pelan. Jangan lupakan aku juga ingin bermain bersamamu kawan. Di bawahnya ada pohon nangka hijau jika tepat pada musimnya ia akan berbuah dan para hewan bertaring hinggap untuk memakan buahnya pada malam hari. Siapa lagi kalau bukan hewan kelelawar atau bat. Itu sebutan untuk yang kecil jika besar sebutan kalong. Berwarna hitam dengan paruh mirip monster, giginya bertaring kecil yang runcing seperti jarum suntik. Matanya kecil dan hitam. Jika ia tidur terbalik. Kaki di atas kepala di bawah.

Di sebelah pohon nangka terdapat rumput tinggi yang belum dipotong beberapa bulan lalu. Maklum pemilik belum ada dana untuk memotong rumput yang sangat luas hampir melebihi lapangan sepak bola. Tidak memiliki uang alasannya. Kata yang paling sering diucapkan oleh orang-orang di dunia ini. Sejatinya walaupun sudah dibeli oleh perusahaan property berupa tanah kosong berpohon, berumput, berhewan liar dan berbisa tetap belum menjanjikan. Maka jadilah tempat itu sebagai tempat para rumput, pohon-pohon kecil dan para hewan mematikan di dalamnya.

Ada hewan buas seperti kodok beracun yang berkamuflase dengan tanah dan dedaunan. Kelabang yang bersembunyi di balik reruntuhan pohon tua yang dimakan tanah. Termasuk jenis ular menggerikan dari mulai Kakek, Nenek dan Cucunya ular bermukim di tempat itu. Aku sendiri di tempat bersemak itu, pernah menangkap anak cobra kecil sebesar jari kelingking orang dewasa pada tahun 2019 bulan Desember.

Setelah kejadian itu aku dan beberapa tetangga kami beberapa hari kemudian menangkap induk cobra yang gagah bertenaga kuat, dengan kulit hitam mengkilat seperti oli motor. Waktu itu Covid-19 masih belum ada dan tidak terdengar pula kabarnya sedikti pun tentangnya. Ular Cobra itu tertangkap oleh kami ketika tengah malam.

“Cepat tangkap dia!” ujar pegawai mengenakan baju security bernama Darjo.

Ular berdesis pelan membunyikan irama.. Esssss..
Bulu roma di belakang kuduk ku meninggi. Mataku melotot. Pikiranku siap siaga. Tanganku mengepal keras. Jika dia menyerang aku pun sama. Kami memasang kuda-kuda untuk bertahan dan melawan. Ular Cobra dengan warna hitam coba berdiri menatap kami.

“Ayo pukul. Pukul!” suruh teman Darjo.

“Entar nape. Ini ular berbisa Jo. Kita mukul dia nyerang balik ke kite. Tewas dah nyawe aye.” jawabnya pada Darjo.

“Janganlah dipukul kasihan dia mau hidup juga. Lepasin aja.” seorang yang dipanggil Pak Ustadz memberi usulan.

“Kita panggil teman Panji aja. Biar ular ini gampang ditaklukkan.” seru Darjo lagi.

“Boro-boro mau manggil Panji. Dia kesini ular udah kabur kali.” jawab Sumin geram.

“Buruan ambil karung.” perintah Darjo.

Tiba karung berwarna putih bertuliskan beras bulog dengan ciri yang khas warna orange.
Sumin tanpa disuruh langsung menekan batang leher ular cobra. Cobra melawan bergerak cepat dan berdiri lagi. Kita semua melompat menghindar. Cobra coba mulai berlari. Kita kejar lagi.

“Tekan lagi cepat dengan alat itu!” kata Sumin.

Sedangkan Pak Ustadz dengan mulut bergerak cepat ke kanan dan ke kiri. Seperti komat kamit terdengar membaca beberapa ayat yang umum dibacakan anak-anak seperti al fatihah, annas, al falaq dan al ikhlas. Pak Ustadz membantu untuk menekan leher Sang Cobra tersebut.

“Oui. Oui, tenaganya mak kuat sekali. Hampir lepas kayunya.” kata Darjo memasang wajah sedikit takut.

Ia menindih batang leher Sang Cobra. Ular itu masih meronta-ronta. Terdengar lagi suaranya yang menakutkan. Esssss,sss. Beberapa kali. Sepertinya Sang Cobra ingin menyampaikan pesan. Bahwa kalian jangan macam-macam. Aku bisa membunuh kalian.

Sang Ustadz merasakan ancaman tersebut. Darjo dengan cepat membuka karung putih, Sang Cobra dimasukan kedalamnya. Ketika akan ditutup tepat di ujung karung Sang Cobra melotot tajam. Darjo tidak sengaja menyentuh Sang Cobra ular yang berada dalam karung. Ia baru merasakan jika Sang Cobra memiliki tenaga super kuat.

(Bersambung…)

Penulis: Al Firdaus

Profesi penulis sebagai Tenaga Pendidik di SD Tahfiz Jabal Rahma dan SD Cikal Cendekia Tangerang.