(CIO) — Salah satu yang kebijakan yang hangat bergulir di masyarakat adalah revisi UU sistem pendidikan nasional. RUU Sisdiknas merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hilangnya frasa Madrasah dalam RUU Sisdiknas tersebut menimbulkan tanggapan dan ketakutan hilangnya nilai-nilai “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Di madrasah itulah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi spesifik. Di lembaga ini anak memperoleh pembelajaran hal ihwal atau seluk-beluk agama dan
keagamaan.
Meski dunia pendidikan terus bergerak dinamis konsep madrasah tak terpisahkan dengan sejarah pendidikan di negara ini. Dengan dihilangkannya frasa Madrasah muncul kekhawatiran adanya dikotomi dalam pendidikan yakni ilmu umum dan ilmu agama dengan memotong hubungan kedua ilmu tersebut. Padahal kedua ilmu tersebut harus dapat berjalan seimbang.
Agar tidak bergulir menjadi bola panas di masyarakat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, mengklarifikasi soal isu tersebut. Menurut Nadiem Makarim, madrasah tetap masuk Sisdiknas dan diatur melalui batang tubuh RUU Sisdiknas. Hanya saja penamaan spesifik jenis sekolah akan dipaparkan di bagian penjelasan agar tidak terikat di tingkat UU sehingga lebih fleksibel. Sekolah maupun madrasah secara substansi tetap menjadi bagian dari jalur-jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh RUU Sisdiknas. Namun penamaan secara spesifik seperti SDN, MI, SMP dan MTs atau SMA, SMK dan MA akan dipaparkan di bagian penjelasan.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menguatkan pernyataaan Nadiem. Yaqut mengatakan Kementerian Agama selalu berkoordinasi dengan Kemendikbudristek selama proses revisi RUU Sisdiknas berjalan.
Mengutip kata bijak Theodore Roosevelt, mantan presiden USA “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).
Begitulah harusnya pendidikan dijalankan dan untuk memaksimalkan kinerja pemangku kebijakan. Pro dan kontra adalah sebuah kontrol sosial agar setiap kebijakan dapat melibatkan publik agar tidak terjadi kesenjangan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perubahan yang berkembang saat ini tanpa mengabaikan sikap dan budaya bangsa.
(***)
Penulis: Arma Winarni, S. Pd
(Relawan Literasi Forum TBM Riau)