Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Toke nan Malang (4)

Oleh : Agus Sutawijaya.

(CIO) — Hari berlalu musim berganti, kehidupan berjalan sebagaimana biasa di kampungku. Kampung kecil di tepian sungai Kampar nan berhulu nun jauh di sela Bukit Barisan mengalir berkelok gagah berwibawa bagai seekor Naga Khayangan, mengalir terus sampai ke Laut. Sungai yang penuh sejarah dan menjadi awal mula peradaban melayu tua. Nun di hulu sana, berdiri megah sebuah candi, tempat dahulu kala beribu-ribu penuntut ilmu bersekolah. Sampai kini masihlah nampak sisa-sisa bangunan kemegahan itu di daerah Muara Takus. Tempat di mana sehari dalam setahun matahari tegak lurus dan tak membiarkan bayangan hadir mengikuti raga.

Di sini, di kampungku, pada sebuah rumah panggung yang megah, Toke duduk di beranda rumahnya sambil menghisap tembakau linting. Sesekali dihirupnya jua kopi buatan Mak Lena , istrinya. Tiga potong singkong rebus bertabur parutan kelapa tak menarik seleranya. Pandangannya kosong, ingatannya jauh melayang nun ke seberang pulau sana. Dihisapnya dalam-dalam tembakau lintingnya, dan dihembuskan perlahan gumpalan asap beraroma khas itu. Ada beban yang hendak dilepaskannya dalam setiap hisapan dan hembusan asap rokoknya. Beban kerinduan akan seorang anak kebanggaannya.

Tiga tahun sudah Budiman pergi menuntut ilmu ke Jakarta. Harapan akan kepulangan anak kebanggaan dengan gelar dokter yang diidamkannya perlahan mulai memudar. Banyak sudah biaya yang dihabiskan. Tak sedikit kebun getah miliknya yang sudah berpindah tangan demi mengirim biaya untuk sekolah anak kesayangan. Bukankah sekolah dokter berbiaya mahal fikirnya. Berapa pun Budiman minta dikirim ia akan penuhi. Tak perduli hartanya akan habis. “Jika perlu, nyawaku aku pertaruhkan asalkan gelar dokter itu ditangan,” demikian berkali ia sampaikan kepada orang-orang.

Bukan rahasia lagi, di kampung beredar cerita bahwa Budiman di Jakarta sana tidaklah berkuliah. Ia asyik berfoya-foya saja menikmati dunia dan asyik dengan kemaksiatan. Beberapa orang perantau yang kembali ke kampung saat mudik lebaran banyak bercerita. Namun tentu saja sangat sulit meyakinkan Toke tentang bagaimana perangai Budiman di ibu kota.

“Kalian semua orang kampung sama saja. Tak senang sedikit juga melihat kemajuan. Yang ada di hati kalian hanyalah iri dengki belaka,” murka Toke di kedai Tuok Lonsiu saat ia mendengar cerita orang kampung tentang anaknya. Sejak itu, jarang sekali, bahkan boleh dibilang tak pernah lagi Toke menikmati duduk bersama sambil ngopi di Lopau Tuok Lonsiu. Baginya, semua orang kampung saat ini telah bersekongkol, bersepakat menjelekkan Budiman.

Demikian juga Mak Lena. Sebagai seorang ibu, bagaimana pun nakalnya anak tentu tak akan mengurangi kasih sayangnya sedikitpun. Namun perasaan rindu itu kini menjadi lebih meyakitkan, manakala setiap perempuan di kampung ini menceritakan bagaimana perangai Budiman di perantauan. Badannya kurus, matanya sayu. Ia jarang sekali ke luar rumah. Untunglah ada Tek Nulik. Ia telah ikut Mak Lena sejak lama. Tek Nulik lah yang melayani semua kebutuhan Mak Lena dan Toke di rumah.

Malang tak dapat di tolak, mujur tak dapat diraih, pada sebuah sore nan damai, setelah shalat Ashar Mak Lena meninggal dunia. Ia pergi dengan menanggung rindu pada anak semata wayangnya.

Kepergian Mak Lena seakan membawa separuh nyawa Toke. Hidupnya yang belakangan ini sepi karena kepergian Budiman dan perselisihannya dengan orang kampung menjadi semakin sunyi setelah kepergian Mak Lena. Surat dari Jakarta sudah tiga bulan ini tak pernah lagi diterimanya. Meski ia telah hafal isi surat yang diterima dari Budiman, namun, setiap kali petugas dari Kantor Desa mengantarkan surat yang baru diterima dari Kantor Pos itu, berbunga-bunga lah hatinya. Aku telah hafal bagaimana isi surat Budiman setiap bulan, tak lebih dari menceritakan bahwa sekolah kedokteran itu butuh biaya dan ia minta dikirim lebih banyak uang setiap bulan. Aku hafal isi suratnya, karena akulah yang selalu diminta untuk membacakan dan menuliskan surat untuk Budiman setiap bulan. Aku juga yang diminta menemani mengantarkan surat itu ke Kantor Pos di Air Tiris, tentu saja sekalian mengirimkan uang dengan jumlah yang tidak sedikit melalui Wesel Pos.

“Iwan, kau tulislah lagi surat untuk Budiman, kabarkan tentang kepergian Maknya, dan sampaikan kalau aku sangat rindu padanya, mintalah ia pulang lebaran depan, habis lebaran berangkatlah kembali”, pinta Toke padaku.

Sepuluh kali sudah ku kirimkan surat Toke untuk Budiman di Jakarta, tak satu pun dibalas. Aku semakin kasihan melihat Toke. Setiap hari ia hanya duduk di beranda rumah saja, berharap ada petugas Kantor Desa datang bersepeda mengantarkan surat dari putra kebanggaannya. Surat yang dinantinya siang dan malam. Semakin hari semakin berat saja sakitnya.

“Oh, andai saja Budiman telah selesai pendidikan dokternya, tentu aku tak akan menderita sakit begini. Tentulah ia akan memberikan aku obat mujarab sehingga aku akan selalu sehat…” keluhnya ketika sakit yang dideritanya terasa begitu menyiksa raganya. Tubuhnya semakin lemah jua, tak sedikitpun makanan yang masuk ke dalam perutnya. Tek Nulik membuatkannya bubur sumsum tak disentuhnya. Dibuatkan bubur kacang hijau dimuntahkannya. Aku membantunya berdiri, dan memapahnya dari dalam rumah ke beranda. Ia selalu ingin duduk di situ, menunggu Budiman pulang, setidaknya surat darinya.

Semakin hari Toke semakin lemah jua. Ia tak lagi sanggup untuk sekedar duduk di beranda. Ia hanya mampu terbaring saja. Ia meminta Tek Nulik membentangkan tilam di tengah rumah dan meminta untuk dibaringkan menghadap ke pintu. Ia ingin melihat Budiman pulang. Dokter Budiman tepatnya. Siang dan malam pintu rumah itu tak boleh ditutup.

“Biarkan saja terbuka Wan, nanti Budiman Pulang” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar ketika aku hendak menutup pintu sebab di luar hujan turun begitu derasnya.

Aku tak sanggup melihat keadaan Toke. Berat betul sakitnya. Sakit fisik mungkin tak seberapa, namun kerinduan dan siksa akan angan dan harapan telah merampas segalanya dari Toke. Nasib seakan menghianatinya.

Siang itu, hari Selasa, Cu Amur, petugas Kantor Desa datang tergesa-gesa dengan sepeda “unto” nya. Ia membawa sepucuk surat. Aku yakin ini adalah sebuah telegram penting, karena biasanya surat dari Kantor Pos selalu dikirim hari Kamis saja.

“Siapa yang datang Wan…? Tanya Toke sambil berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dari tempat tidurnya.

“Iwan… apakah itu surat dari Budiman…?” Tanyanya lagi. Entah kekuatan dari mana, Toke yang hampir sebulan ini terbaging lemah tak berdaya tiba-tiba kini telah berdiri di sampingku di beranda rumahnya. Cu Amur masih berdiri di tangga.

“Bacakanlah Wan… bacakan surat dari Budiman…” pintanya lirih.

Perlahan kubuka amplop telegram itu. Hatiku perih. Dadaku sesak, nafasku tersengal turun naik. Sepi menerkam jiwaku, sehingga aku dapat mendengar detak jantungku bergelora. Tanganku gemetar memegang telegram dari Polres Jakarta Pusat. Isi telegram itu mengabarkan bahwa Budiman telah meninggal di Rumah Sakit Polri akibat kelebihan dosis narkotika.

“Apa kata Budiman Wan, apakah ia telah selesai sekolah dokternya, kapan ia pulang?” Toke mengumpulkan sisa tenaganya demi menekan pita suaranya agar terdengar lebih keras.

Aku tak tahu harus menjawab apa. Air mataku membuncah. Emosiku meluap. Ya Rabbi apa yang harus aku katakan. Tak mungkin ku kabarkan kematian Budiman pada ayah yang sangat merindukannya ini.

“Apa katanya Wan…?” Tanyanya tak sabar.

“Budiman telah selesai Toke” jawabku singkat. Sekuat tenaga aku mencoba menyembunyikan tangisku, sekuat itu pula dorongan air mataku mengalir.

“Alhamdulillah, akhirnya Budiman selesai, alhamdulillaah…” Toke bicara seraya menengadahkan kedua telapak tangannya dan mengusapkan ke wajahnya.

“Bawa aku ke dalam Wan, ganti pakaianku, suruh Nulik menjerang air hangat, aku mau mandi, Budiman pasti tak ingin melihatku kotor dan bau seperti ini..” pintanya sambil berusaha bangkit dari bangku. Diraihnya telegram dari tanganku, diciuminya seakan ia mencium anaknya. Ku papah Toke kembali ke tengah rumah, dan aku beranjak ke dapur meminta Tek Nulik menyiapkan air hangat untuk Toke.

Saat aku kembali ke tengah rumah, Toke masih saja menciumi telegram itu. Ajaib, sinar matamya yang selama ini hilang nampak kembali. Ada aura kebahagiaan membuncah di dada lelaki malang ini, bergelora, hingga mampu terpancar di raut wajahnya.

“Bacakan sekali lagi Wan, agar lengkap kebahagiaan ku kali ini…” pintanya seraya menyerahkan telegram itu kepadaku. Selesai aku membacanya, tentu saja aku berdusta, ia kembali meminta telegram itu dariku. Diciuminya telegram itu tanpa henti. Kata syukur tak henti mengalir dari bibirnya. Kalimat tasbih, tahmid dan takbir lirih diucapkannya seraya menciumi telegram itu, hingga akhirnya telegram itu jatuh terkulai di dadanya. Toke pergi dengan senyum bahagia.

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”

(***)

Cerpen ini ditulis oleh Agus Sutawijaya selama perawatan pasca operasi di rumah saja, sebagai pengingat diri bahwa setiap yang hidup pasti akan mati

Penulis: Agus SutawijayaEditor: M Syari Faidar