Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Tiga Kiat Menjadi Pers Mahasiswa Buruk

(CIO) – Telah tiga tahun saya bergabung dalam pers mahasiswa (persma), dan saya menghabiskan kira-kira setengahnya untuk mengkhawatirkan bagaimana nasib organisasi ini di masa depan. Hari-hari ini persma-persma bagus mulai tumbang. Sialnya, tak banyak persma yang masih hidup mampu menjadi media bagus dan layak dibaca orang-orang.

Simpulan ini saya dapat setelah mengamati organisasi sendiri sekaligus persma-persma lain terutama di Semarang. Simpulan lain: ada tiga kiat yang bisa membantu Anda menjadi (jurnalis) pers mahasiswa dengan kualitas buruk.

Menganggap Mahasiswa Selamanya Baik

Persma yang membebek pada kampus merupakan persma menyebalkan. Akan tetapi, persma yang menganggap bahwa mahasiswa senantiasa baik juga sama sembrononya. Saya mengenal beberapa orang yang seperti ini; mereka habis-habisan memusuhi penguasa, menganggap kebenaran selamanya ada pada tangan mahasiswa pemrotes pemangku kebijakan. Saya tak hendak mendiskreditkan siapa pun yang menentang penguasa karena kezaliman. Itu sikap bagus dan kesatria apabila dilandasi kesadaran penuh dan kajian mendalam.

Poin saya, persma harus tetap independen; melihat “apa” bukan “siapa” untuk mengabarkan kebenaran. Kebutaan bahwa mahasiswa selalu mulia melahirkan sikap konyol.

Umumnya, persma seperti ini akan dengan mudah disetir lembaga mahasiswa yang tak jarang juga melakukan kesemena-menaan—sadar maupun tidak.

Beberapa waktu lalu, misalnya, saya harus berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa lawak karena LPM saya memberitakan ospek kampus yang kegiatannya amburadul dan, secara personal, saya menulis kritik karena masih ada perploncoan. Oleh mahasiswa-mahasiswa konyol itu, LPM saya dianggap ingin numpang tenar, clickbait, dan cari sensasi. Saya pribadi mendapatkan banyak “asu”, “bangsat”, dan “bajingan” dan “kamu tidak merasakan jadi panitia” dan “opinimu tidak cover both side”. Tidak ada argumentasi lebih baik dari itu, maka saya cukup menganggap mereka mengigau karena tak tahu apa yang sedang dikatakan.

Insiden ini membuat saya berpikir: ada lingkaran-lingkaran setan juga di kalangan mahasiswa. Untuk menyadarkannya, barangkali dibutuhkan demonstrasi panjang dari anak TK hingga SMA.

Tidak Membaca dengan Baik

Francis Bacon memberikan petuah bagus untuk terus dipikirkan: sebagian buku diciptakan untuk dicicipi, sebagian untuk ditelan, dan sebagian lagi untuk dikunyah dan dicerna. Bacon sedang berbicara bahwa tak semua buku patut kita santap secara utuh dan, menurut tafsir saya yang lain, beberapa buku juga memerlukan metode pembacaan yang tepat.

Selama ini, saya jamak melihat jurnalis-jurnalis persma menghabiskan waktu membaca buku-buku buruk; novel percintaan populer, horror, dan seterusnya. Mereka terlihat amat sulit menyisihkan waktu membaca buku jurnalistik, karya sastra kanon, atau minimal berita yang ditulis secara baik dan benar. Beberapa memang membaca karya bagus, tetapi mereka berhenti sampai di sana; tak ada diskusi, usaha menulis resensi, apalagi iktikad membikin karya yang sama baiknya.

Buntut dari kebiasaan buruk ini adalah ketiadaan daya kritis, ketidakpekaan memahami situasi, serta penulisan berita dan produk lain secara asal-asalan

Mengikuti Tren Kosong Media Arus Utama

Semakin ke sini, saya semakin melihat gejala persma menganut penyakit buruk dari media massa arus utama. Mereka gemar menyajikan tulisan viral, dangkal, amat kehumasan, sementara mengabaikan reportase penuh data dengan analisis dalam. Fenomena ini tak sehat untuk persma. Sebagai media alternatif yang harusnya independen dan punya integritas, persma terjebak dalam arus yang berisik alih-alih mencerahkan.

Di banyak laman persma, saya sering membaca berita straight news yang bahkan tak memedulikan struktur piramida terbalik atau 5W + 1H, kalimatnya tak lengkap, hingga cacat logika di sana-sini. Berita-berita itu seolah dibuat oleh orang yang sedang mabuk. Dan editor dan redakturnya pun ikut mabuk.

Yang paling mencemaskan dalam hal ini: persma telah kehilangan idealismenya. Mereka ikut dalam spektrum kapital. Mereka menghamba pada lalu lintas pengunjung. Maka saran saya: mereka sebaiknya berhenti dan langsung mendaftar di media massa bebal saja.

Itulah tiga kiat menjadi persma buruk. Tentu saja boleh diamalkan boleh pula tidak. Semua orang di dunia, kita tahu, punya pilihan untuk melakukan hal-hal yang dimau. Menjadi persma buruk salah satunya.

(***)

Catatan: esai ini beberapa bulan lalu terpilih dalam Sayembara Esai yang diadakan LPM Manunggal UNDIP

Penulis: Ahmad Abu Rifa’i, lahir di Pati pada 23 April 1999. Ia aktif di BP2M Unnes, Kelas Menulis Cerpen Kang Putu, dan Kelas Cerpen Daring Nesatopia. FB: Abu Rifai. IG: @aaburifai