PEKANBARU(CIO) — Teratak Literasi taja bedah buku novel sejarah karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia. Acara ini digelar pada pukul 14.00-16.00 Wib di Teratak Literasi Jalan Bakti 1 No. 6A, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, Sabtu (23/01/2021) siang.
Jumlah peserta 24 orang yang terdiri dari berbagai komunitas, yakni dari; Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Wilayah Riau, TBM Kota Pekanbaru, Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Riau, FLP Kota Pekanbaru, Rupari, dan beberapa mahasiswa.
Semua peserta dalam mengikuti acara tetap mematuhi standar protokol kesehatan dengan menggunakan masker dan pihak penyelenggara melakukan cek suhu tubuh dengan thermogun serta menyediakan handsanitizer dan masker.
Ketua Teratak Literasi, Pamula Trisna Suri mengatakan bahwa, “Acara bedah buku ini merupakan agenda rutin. Tujuannya untuk menggalakkan literasi dan minat baca masyarakat Pekanbaru pada umumnya.
Selain digelar secara offline, bedah buku ini juga disiarkan secara langsung melalui instagram Teratak Literasi dan mengundang peserta dari luar melalui Zoom Meeting,” terangnya.
Selaku pemantik dalam bedah buku tersebut Bambang Kariyawan YS berujar, “Saya sangat berbahagia bergabung dengan Teratak Literasi dalam bedah buku Bumi Manusia. Ini merupakan acara rutin yang sangat mencerdaskan generasi bangsa. Suatu langkah kecil yang membawa perubahan,” ungkapnya.
Selama diskusi berlangsung, muncul berbagai komentar dan tanggapan, juga tidak luput dari pertanyaan ontologis dan epistemologis karya luar biasa tersebut.
“Siapa yang mempengaruhi imajinasi dan alam pemikirannya Pramoedya Ananta Toer?” tanya Ahlul Ketua FTBM Kota Pekanbaru.
Siapa yang digambarkan dalam buku tersebut? Selain kritik terhadap kelas sosial — borjuisi dan proletariat — juga budaya (kultur feodalisme) bahkan aristokrasi yang berkembang ditanggapi dengan pendekatan sastra oleh Pram. Sosok Nyai Ontosoroh memberikan sinyal terkait dengan pentingnya kesadaran dan keseimbangan gender — feminsime — begitu juga seorang Annelis, juga Minke yang begitu egaliter dan demokratis.
Novel sastra sebagai alternatif dalam melihat sosiologi historis perlu ditingkatkan dan diiklankan kepada masyarakat agar gandrung mengarungi samudera literasi.
Diskusi berlangsung alot dan interaktif antara pembedah dan penanggap begitu juga sesama penanggap, baik juga oleh peserta yang ikut melalui daring. Salah satunya adalah Rudi Kurniawan salah seorang Dosen sastra yang aktif dalam meneliti jejak historis perjalanan dan isi buku Pram.
Terakhir, Ketua FTBM Pekanbaru memberikan kesan terhadap kegiatan bedah buku ini. “Tiap komunitas literasi sebisa mungkin menyiapkan cara agar giat membaca dan menulis di kalangan masyarakat jadi terbangun, salah satunya dengan diskusi buku dan karya tulis oleh TBM Teratak,” pungkas Ahlul.
Diskusi bedah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang ditaja oleh Teratak Literasi berakhir pada pukul 16.00 Wib, ditutup dengan menikmati kudapan yang disediakan.
(***)