Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Sekuntum Mawar Putih di Mulut Gang (Part-2)

Sekuntum Mawar Putih di Mulut Gang (Part-2)
Sekuntum Mawar Putih di Mulut Gang (Part-2)

(CIO) — Arifa terlihat rapi, klimis dan wangi. Sehabis mandi, rambutnya yang gondrong sepinggang sudah dikucir. Di langit terlihat rembulan tersenyum semringah kepadanya. Suasana terlihat cerah. Arifa berjalan perlahan di gang yang di kiri kanannya berjejer kos-kosan mahasiswa.

Meski cuaca cerah bersahabat, sebenarnya Arifa sedang dirundung kebingungan. Sebab Arifa pernah berjanji menyanggupi untuk membawakan sekuntum bunga edelweiss yang di minta oleh Dayani. Permintaan itu di utarakan sebelum Arifa melakukan pendakian ke puncak Gunung Sindoro yang berujung gagal.

Arifa sedang berpikir dan berupaya keras mencari alasan sehingga Dayani tidak merajuk karena dirinya tidak bisa mengabulkan permintaan untuk memetik bunga edelweiss. Walaupun sebenarnya ketika hampir mendekati Puncak Sindoro, Arifa sempat melihat beberapa kuntum edelweiss yang mekar indah tersenyum melambai-lambai ingin dipetik olehnya. Arifa justru malah teringat pesan mutiara di buku para pendaki yang pernah dibacanya: jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan membunuh apapun kecuali waktu dan jangan meninggalkan apapun kecuali jejak kaki.

Arifa masih terus berpikir dalam kebingungan. Sejenak langkah kaki Arifa terhenti di mulut gang. Ia melihat benda putih bergoyang-goyang pelan dibelai silir angin malam. Tepat di mulut gang Arifa melihat sekuntum mawar putih yang lagi merekah.

Sontak Arifa menemukan cara untuk meluluhkan Dayani. Arifa memetik mawar itu dan ia akan mengatakan bahwa Bunga Mawar itu dipetik di kaki gunung Sindoro. Kemudian mawar itu lalu dimasukan ke botol air mineral agar jangan layu di perjalanan ketika naik di kendaraan. Dalam hati Arifa berharap jurus itu mampu meyakinkan Dayani.

“Bunga Mawar ini ku petik dari kaki gunung Sindoro.” ujar Arifa sambil menyerahkannya kepada Dayani.

Dayani terlihat semringah, Arifa jumawah.

Dari speaker radio dikamar Dayani, terdengar syahdu tembang Sheila on Seven: Dannnnn……bukan inginkuuuuuu….. melukaimuuuuu…. Sadarkah kau di sini ku pun terlukaaaa…..

Dayani mengambil gelas kaca. Mengisinya dengan air dan langsung memasukkan bunga mawar yang telah diserahkan oleh Arifa kedalamnya. Gelas itu telah berubah fungsi menjadi vas bunga.

Dayani terlihat begitu bahagia. Arifa tertegun dalam salah.

***

Sabtu malam Dayani dan Arifa terlihat berjalan bergandengan tangan di jalan Sorosutan. Arifa dan Dayani lalu naik andong menuju jantung keramaian Malioboro. Terlihat jemari Arifa terus menggenggam jemari Dayani. Begitu romantis sekali dua sejoli itu. Pasangan yang sedang kasmaran.

Di pusat perbelanjaan Arifa mengajak Dayani masuk ke sebuah toko. Di toko itu Arifa tertarik dengan kotak musik yang dipajang di etalase. Ia membeli kotak musik itu dari uang tabungannya. Ia beli dan dihadiahkan untuk Dayani.

Sambil menyerahkan kotak musik itu Arifa berkata, “Seandainya kita bukan pasangan yang diridhoi oleh Sang Pencipta, saya berharap simpan saja kotak musik ini dan jaga baik-baik,”

“Kenapa ngomong begitu?” tanya Dayani.

“Jodoh, Maut dan Rezeki kita tidak tahu kapan datangnya, yang jelas kita berikhtiar saja,” ungkap Arifa.

“Di sini di jantung kota ini ku tegaskan bahwa aku sangat menyayangimu, suatu saat nanti aku akan kembali ke Jogja sekedar mengingat kenangan bersamamu karena memang Jogja terbuat dari untaian rindu.” gumamku dalam hati.

***

Di Stasiun Tugu Yogyakarta terlihat Dayani menenteng tas. Sementara itu tepat disebelahnya terlihat Arifa mengangkat beban yang berisi bawaan Dayani. Dayani akan pulang ke Jakarta karena kuliahnya telah selesai. Terlihat sepanjang perjalanan mereka lebih banyak diam. Sibuk dengan perasaan masing-masing yang berkecamuk. Seakan tak rela akan perpisahan itu, meskipun cuma sementara.

Ketika kereta api tujuan Jakarta akan berangkat Arifa melambaikan dua jarinya ke pada Dayani. Dayani tersenyum. Kereta api semakin menjauh dan akhirnya hilang dari pandangan Arifa.

Sebelum ke Stasiun Tugu mereka sengaja berhenti di depan Istana Negara Jogjakarta yang tepat diseberangnya berdiri gagah benteng Vredeburg. Sambil bergandengan tangan mereka terus berjalan mesra di sepanjang pelataran Malioboro. Terlihat ratusan pedagang kaki lima berjejer menggelar dagangannya di sepanjang jalanan Malioboro.

Ternyata Stasiun Tugu dan Malioboro jadi saksi bahwa kebersamaan antara Arifa dan Dayani merupakan pertemuan mereka yang terakhir. Di Jakarta Dayani disibukan oleh aktivitasnya mencari pekerjaan. Sementara itu Arifa semakin menyibukan diri dengan kegiatan petualangannya. Rindu mereka akhirnya menguap di Kerajaan Awan. Pecah bagai gelembung busa. Lenyap tak berbekas.

(***)

Penulis: M. Syari Faidar

Jurnalis, Penyuka Syair, Adventurer dan Photography.