Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
CerPen  

Sedikit Teralihkan

CIO – Rasa takut datang, biasanya ketenangan pun tak lama kemudian akan tiba juga, terkadang sebagian manusia terlalu ingat, sangat ingat dengan rasa takut yang bertamu tak lama, ketimbang dengan ketenangan yang lebih lama menetap dan menemaninya.

Palsyiar menjadi momok baru yang menyeramkan bagi Pecijo dan Gasubu, meski begitu semua rasa takut sedikit memuai ketika Pak Rakepa membawa Beuma ke hadapan mereka berdua, se-sederhana itu saja rasa takut sudah banyak yang memuai, ajaib.

Padahal kalau mau dibilang rumit, rumit, lebih rumit perjuangan di Palsyiar nanti, tetapi ternyata ketenangan itu lebih banyak porsinya dari rasa takut, hanya dengan memandangi ekspresi Beuma yang menggemaskan mereka sedikit teralihkan.

Palsyiar yang kata Pak Rakepa terdapat banyak kadal raksasa, serta orang-orangnya yang dominan melaut mata pencahariannya menjadikan hal lain bagi Pecijo dan Gasubu, mereka berdua berharap bisa berjalan baik-baik saja.

Terutama Pecijo, dia sangat berharap di Palsyiar tidak lagi bertemu dengan para sniper yang mendebarkan, bisa-bisa kalau sering ketakutan uban pun tumbuh dengan subur di kepalanya. Begitu juga Gasubu.

Masih banyak perjalanan panjang yang akan menyita kekuatan dan fokus mereka untuk sementara, meski yang membuat rencana perjalanan, dia juga yang ikut lebur dengan segala rasa di dalam menempuh jalan mengungkap tabir ‘kepalsuan yang dibuat Negeri Archimrald’ tercintah.

Pak Rakepa pun menyarankan agar mundur saja kalau merasa sudah tak mampu lagi melangkahkan kaki. Ubi itu masih banyak, kepulan asapnya sangat menggoda perut-perut yang lapar, jahe-jahe hangat pun tersedia di atas meja dengan air yang masih cukup panas, terlihat sekali jahe itu hanya ditumbuk lalu dicampurkan air panas.

Gasubu yang sudah mencicipi ubi pun ingin rasanya segera merasakan tegukan hangat dari jahe yang telah disediakan. Karena memang jika lapar sudah datang, se-sederhana apa pun hidangannya akan tetap terlihat mewah, gengsi pun tak berlaku lagi.

Hanya orang-orang yang berhati miskin saja yang hanya selalu mau makan enak terus, banyak mengeluhkan hari-hari yang dijalani, mencelanya jika bertolak belakang dari alur yang diinginkannya. Melemparkan kesialan yang didapatkan ke orang lain.

Karakter-karakter manusia sampah, yang hidupnya selalu merasa benar dan tak pernah mau salah meski sudah jelas-jelas berbuat salah, sifat-sifat terkutuk seperti itu sangat terlarang bagi seluruh anggota pilar Palbat.

Sedari tadi Pecijo belum menyentuh sama sekali ubi atau air jahenya, pikirannya masih melayang ke 2 sniper itu, “Kalau di Palsyiar ada sniper juga bisa repot nih!” Gumamnya dengan segala terkaannya yang belum pasti. “Pak makan makan.” Gasubu mengingatkan dengan suara lirih.

“Eh iya,” baru aja Pecijo mencoba untuk memakan ubi dan sedikit-sedikit menyeruput jahe. “Eh, tawar ya jahe ini?” Tanyanya dalam hati. Raut wajah Pecijo tak bisa menyembunyikan kecewanya, raut itu pun terlihat oleh Pak Rakepa. “Oh iya Dik Pecijo, itu jahe gak pake gula ya, kita di rumah biasa ngonsumsi kayak gitu.” Pecijo dengan cepat mengubah raut wajahnya.

Bayang-bayang tentang keluarga kecilnya pun datang begitu saja. Satu orang anak laki-lakinya yang kini juga bernasib sama dengan ‘Beuma’ terpaksa dititipkan di rumah orang tuanya, lantaran istrinya tak mau menerima keadaan dan jumlah penghasilan Pecijo yang bagi istrinya adalah kurang, sangat kurang, meski hanya sekedar untuk beli pulsa belaka.

Meski begitu Pecijo tak tinggal diam, anak-anak laki-lakinya yang dititipkan ke orang tuanya sudah dibekali ‘warung kecil’ yang dengan perantara itu sedikit-sedikit bisa memenuhi kebutuhan anak laki-lakinya.

Ibunya Pecijo seorang tabib tradisional yang cukup terpercaya di kampung itu. Pengobatannya jenis herbal dan anti obat-obatan kimiawi dan segala macam yang berbau kedokteran, kedokteran hanya budak dari ‘WHO’ semata, binatang piaraannya yang ngikut saja, dengan tagline ‘yang penting dapat uang’, enggak peduli meski menyakiti banyak orang dengan dalih apa pun!

Bapaknya Pecijo seorang mantan supir taksi yang sudah jarang sekali menyupir, meski hanya supir panggilan, dia hanya yang kini hidup dengan semangat hidup yang nyala hidup nyala hidup. Ibunya Pecijo pun sudah angkat tangan dengan kelakuan suaminya.

Kejadian itu pun tak jarang membuat semangat Pecijo turun drastis. Istri beserta keluarganya sangat merepotkan, hanya manis di awal, menjengkelkan hingga akhir yang tak terhingga. Ingin sekali Pecijo lepas dari belenggu kebengalan serta kekeras kepalaan istrinya, tapi belum juga ditemukan jalan keluarnya.

Makanya setelah Pecijo bertanya tentang kedua orang tua ‘Beuma’ hatinya terasa teriris sangat dalam. Meski seorang pilar pecinta jogging, beban hidup memang tak bisa dihindari. Tetapi di lain sisi Pecijo juga merasa agak teralihkan rasa khawatir dan ketakutannya dengan ketenanganNya yang tiba-tiba saja muncul, entah bagaimana cara menjelaskannya.

Ingin rasanya Pecijo mengulang kembali awal mula dia kenal dengan istrinya, ingin rasanya mengurungkan segala niat untuk meminang istrinya, karena setelah tahu karakternya, rasa-rasanya lebih baik menjomblo se-umur hidup ketimbang harus menikah dengan wanita super keras kepala dan pembangkang.

Gasubu lain cerita, dia kini sedang larut dalam obrolan dengan Pak Rakepa, Pecijo, dia sibuk dengan bayang-bayang keluarganya yang seperti kehilangan arah. Seolah seperti runtuhan kaca yang retak ditambah hembusan angin tornado dengan debu-debu tajam, buntu dan tak ada jalan kembali serta perbaikan, kecuali perginya salah seorang ke alam baka.

Dalam renungan panjang yang dibalut perih di sekujur dada, badan terasa lemas, pandangan tak lagi setajam dan setangkas dahulu ketika Pecijo jauh-jauh hari sebelum menikah dengan istrinya yang super duper bebal, keras kepala, jelek, banyak gaya, dan tentu sangat sangat sangat sampai matahari terpecah jadi 999 bagian pun akan tetap seperti itu selamanya.

Gasubu mengira Pecijo ikut larut mendengarkan penjelasan Pak Rakepa tentang temannya yang bernama Dibibat dari Palsyiar. Rupanya Pak Rakepa sedikit menjelaskan bahwa keadaan di Palsyiar mungkin bisa lebih terjal dari Tunusa, karena di sana ada bibit-bibit ‘palu arit’ dan ‘s.y.i’ yang tumbuh cukup subur memenuhi sendi-sendi pulau kadal liar tersebut.

Bulu kuduk Gasubu tentu jadi menegang tak tentu arah, ingin rasanya cepat kembali ke Palbat, markas para pilar, yang mana di sana mereka benar-benar sangat diperhitungkan oleh orang banyak, sedang di luar Palbat, mereka tak kurang tak lebih hanya seperti orang biasa saja. “Biasa aja.” Salah satu kata yang sering diucapkan oleh istrinya Pecijo, kata-kata perendahan dan keangkuhan yang tiada ujungnya kecuali timbunan tanah kuburan.

Pak Rakepa sesekali senyum-senyum getir, dia ada rasa iba pada Gasubu dan Pecijo, karena Pak Rakepa tahu konsekuensi dari menyuarakan kebenaran adalah ‘kematian!’ tak ada lain, kecuali pengejaran yang tak akan pernah selesai sampai tertangkap, bukan hanya tim khusus semata yang ditugaskan dalan menumpas para penyuara ‘kebenaran’ di mana pun, siapa pun, kapan pun, berapa pun mereka, tapi terdapat juga orang-orang tak pernah diprediksikan sama sekali yang mereka tenyata adalah para utusan pecinta ‘kejahatan’ dan ‘kesalahan’ yang ditugaskan untuk menumpas para ‘penyuara kebenaran’ dengan cara apa pun, bengis, lebih bengis dari hewan terbuas, bahkan lebih kejam dari iblis!

Tak terasa percakapan Gasubu dan Pak Rakepa sudah mencapai di penghujungnya, mereka sudah saling diam. Barulah Pecijo tersadarkan. “Ah ternyata mereka telah selesai dari obrolannya. Saatnya melanjutkan perjalanan.” Batin Pecijo sambil menoleh ke arah Gasubu.

“Gas, ayo berangkat!” Panggil Pecijo dengan aura semangat yang nampak sekali sangat dipaksakan. Gasubu mengangguk, kemudian melihat ke arah Pak Rakepa, “Pak sudah banyak waktu Bapak dan keluarga yang terenggut dengan kehadiran kita, kita akan melanjutkan perjalanan, sebelum dan sesudahnya, Bapak dan Ibu juga Beuma makasih banyak atas segala kasih sayang dan perhatiannya pada tamu yang gak jelas, dan tiba-tiba datang ke sini.” Pak Pecijo ingin tertawa mendengarnya, istrinya sedang mengajak main cucunya di luar rumah yang berada di samping pintu tengahnya.

“Sebentar ya, saya bilang sama Neneknya ‘Beuma dulu’ mereka sepertinya sedang bermain di taman samping rumah.” Kata Pak Pecijo, kemudian dia segera melenggang ke arah di mana istri dan cucunya berada. “Bu Adik-adik itu mau pamitan.” Dengan raut wajah sedih yang hanya diperlihatkan ke istrinya, tidak terhadap Gasubu dan Pecijo, karena Pak Rakepa gak mau menjadi setan (maksudnya gak mau bikin Gasubu dan Pecijo sedih dan putus asa).

“Wah Pak, tapi kan mereka belum makan pagi, baru ubi-ubi-an doang,” baru Pak Rakepa ingat. “Wah iya Bu, kita tadi keasikan ngobrol.” Kemudian istri Pak Rakepa langsung menuju ke ruang tamu, “Dik-adik mau pamit? Belum pada sarapan, sarapan dulu ya?” Tawarnya.

“Sudah Bu, ini juga udah kenyang, ubi-ubi-an-nya, ditambah jahe lagi, lengkap deh Bu.” Sahut Gasubu. Pecijo nampak sudah siap untuk keluar, dia sepertinya merasa tak enak hati jika berlama-lama di rumah Pak Rakepa, juga ‘Beuma’ yang mengingatkan akan putranya yang tak diurus oleh istrinya, terpaksa dititipkan oleh kedua orang tuanya, senyumannya di depan ‘Beuma’ hanya penutup lukanya yang kadang sembuh kadang juga kambuh.

Pak Rakepa yang kini berdiri bertiga, Beuma dalam gendongan istrinya. Menatap kedua pecinta dan penyuara kebenaran itu dengan tatapan yang seolah mengatakan, “Jalan ‘kebenaran’ memang seperti ini, bahkan bisa lebih dahsyat lagi.”

“Kita pamit ya Pak, Bu, terimakasih banyak sajian sempurnanya.” Gasubu yang dari tadi sibuk jadi penutup pertemuan mereka yang cukup singkat.
___
Pamulang, Jum’at 18 Februari 2022
halub© 22:17