Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Secangkir Kopi Sebelum Akad

Secangkir Kopi sebelum Akad
Dikarang bebas Nirma Herlina Ghanie.

Di saat kegabutan sebuah sore Ahad yang mendung.

“Pak. Aku onak nikah dengan April” sekuat hati Wahyu menyampaikan keinginan yang sudah berbulan-bulan ditahannya.

Alis mata Bapak terangkat sebentar. Bibirnya berkerut. Menatap Wahyu dengan mata bertanya, kamu serius?

Wahyu mengigit bibir. Menikah muda, dengan kondisi masih kuliah semester enam. Bukan hal yang biasa di Rokan Hulu bahkan di Riau. Pakemnya adalah kuliah, kerja, menikah. Maka Wahyu sudah siap jika Bapak menolak keinginannya. Tapi apa salahnya dicoba. Siapa yang ingin mutiara, harus berani terjun ke dalam lautan.

“April dan aku tetap akan melanjutkan kuliah. Kalau Apak berkenan membiayaiku sampai selesai, alhamdulillah. Jika tidak, aku bisa berusaha sendiri. Beasiswa kami, masih jalan. Usaha Ayam bakarku sekarang sudah buka gerobak ketiga. Omsetnya minimal 3 juta seminggu, bersih. Lebih dari cukup untuk kehidupan kami nanti. Untuk menikah, aku sudah punya tabungan 26 juta. Rencananya nanti, akad dan walimah satu hari saja. Cukup mengundang keluarga dan tetangga dekat. Tentu saja tetap akan ada Tepung tawar.”

Kalimat-kalimat yang sudah dipersiapkan dan disusun sedemikian rupa, tiba-tiba berlompatan tidak mengikuti aturan. Efek grogi. Telinganya sendiri geli mendengar suara yang keluar dari mulutnya. Tidak koheren, apalagi kohesive. Kalau saja ini skripsi, sudah jelas bakal dicoret Bu Emi, pembimbing satu Wahyu.

“Buekkan Apak, kopi. Buekkan juo untukmu. Pake gulo do”
Kening Wahyu berkerut. Kelopak matanya melebar dengan alis naik. Menggaruk kepala yang memang gatal. Ia beranjak menuju dapur. Menjerang air. Dua sendok kopi Kapal Api dimasukkan ke dalam cangkir. Itu takaran kopi Apak. Sering melihat emak membuatnya. Tapi membuatkannya, baru kali ini.

Dua cangkir kopi, dibawa ke teras depan. Apak menoleh sebentar ketika Wahyu meletakkan di atas meja. Diangkatnya cangkir kopi yang masih hangat dan menghirup aromanya dalam-dalam. Diletakkan lagi di meja tanpa meminumnya. Lalu kembali, asik dengan gawai. Membaca koran dalam bentuk Pdf yang dikirim Wahyu pagi tadi. Kadang Wahyu malu, dia yang tergabung dalam sebuah grup literasi berkoar-koar mengajak orang membaca. Dia sendiri jarang baca. Lebih sering Apak kayaknya. Menyuruh memang lebih mudah daripada melakukan.

“Cuihhh. Paiit!” Wahyu meludahkan kopi yang baru diseruputnya. Berlari ke samping rumah, “Hoeeeekkkkkkk” meludah berkali-kali membuang sisa kopi di mulutnya. Seolah kopi itu beracun. Bapak menoleh dan tergelak.

“Koq Apak bisa minum kopi sepahit ini? Ampuuun lah.”
Wahyu menangkap senyum yang tak biasa di bibir lelaki berahang keras itu. Kilatan matanya mengisyaratkan kemenangan yang tak bisa dibantah. Entah mengapa kali ini Apak begitu pelit mengeluarkan kata-kata. Sepertinya sengaja.

Bunyi jarum jam nyaring terdengar. Berteman dengan bunyi detak jantungnya yang lebih cepat dari biasa. Yakin bukan karena efek kopi hitam tanpa gula, sebab tak sanggup ia meminumnya. Baru saja Wahyu hendak berucap menanyakan jawaban Apak, lelaki itu meletakkan gawai dan mengangkat cangkir kopinya.

“Abang, buliah nikah kalau sudah bisa menikmati kopi hitam tanpa gula. Ssrrrluuuup…” bibir Apak naik melengkung membentuk bulan sabit.

_Ah hanya itu? Aku bisa berpura-pura menikmatinya. Berpura-pura tak merasakan pahitnya_. Wajah Wahyu serupa purnama.

(bersambung)

Kesamaan nama memang disengaja. Bagi yang merasa anggap saja do’a. Ups.

Penulis: Nirma Herlina GhanieEditor: M Syari Faidar