Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Salah Kamu Lebih Milih Arisan

(CIO) — Hari ini, seorang teman mengunjungi warung saya. Ia banyak bercerita tentang apa yang terjadi dalam hidupnya.

Dia curhat, “Leh, akhir-akhir ini keuangan saya nggak karuan. Upah kerja seminggu, hasilnya nol. Cepat habis!”

“Kok bisa begitu?” tanya saya.

“Iya leh, entah lah upah nggak naik-naik!” jawabnya.

“Sebenarnya uang dari hasil kerja kamu itu untuk apa? Kamu kan belum nikah?” tanya saya lagi.

“Masa baru hari Senin udah habis?” Saya kejar dia dengan deretan pertanyaan.

“Ya yang paling gede sih buat arisan,” jawabnya.

“Ya ampun, kenapa buat arisan semua? Lah terus buat sehari-hari gimana? Jangan-jangan ngutang ke warung tetangga?” ucapku sembari menatapnya.

“Iya leh, saya hutang ke warung tetangga, gimana lagi uang nggak ada. Alhamdulillah warung masih ngasih hutangan,” jawabnya enteng.

Ini nggak beres.

“Aduhhh, kenapa kamu mau ikut arisan?” tanya saya.

“Ya karena nanti dapat uang. Setahun sekali!” jawabnya semringah, ingat nominalnya.

“Oh begitu.. Yakin kamu dapat segitu. Setahu saya, biasanya pemegang akan dapat 20% bahkan ada yang 30%. Artinya uang kamu nggak seperti yang kamu bayangkan itu. Jumlahnya melorot. Terkecuali kalo arisan keluarga. Kalo diluar itu jadi bisnis loh,” kata saya.

“Dan terus tidak baik juga, kamu bela-belain upah kerja buat arisan tapi buat makan malah hutang. Ini kebalik!! Kasihan tetangga kamu yang punya warung itu. Modalnya kamu sedot. Bagi saya itu kejahatan. Dan pantas kamu pontang-panting sekarang!! Dibalas tunai karena tangan kamu sendiri,” tegas saya.

Saya menyarankan dia untuk segera mengakhiri ikut arisan. “Kalo nggak mampu, nggak usah maksa. Apalagi biar dilihat umum kayak teman-teman. Itu nggak penting banget!!”

“Dari pada untuk arisan lebih baik menabung, atau sedekah. Kalo nggak bisa sedekah. Ya buat jajan atau belanja kontan –tunai– tapi diniatin berbagi ke pedagangnya. Dan nggak ngutang ya. Biasakan kalo jajan atau beli sesuatu di warung cash,” kata saya.

“Apakah kamu pernah ikutan arisan?” tanya dia.

“Pernah. Alhamdulillah sudah berhenti. Taubat! hahaha”

Saya berhenti bukan karena ada pendapat ulama atau kyai yang melarang. Tapi karena saya ngerasa nggak tertarik aja. Cenderung nggak suka.

Sejak pertama kali diajak baik itu arisan keluarga atau arisan sesama pedagang, diajak ikut arisan tetangga rumah, saya nggak begitu tertarik. Pernah nyemplung itu karena ngerasa nggak enakan aja. Biar umum. Ya dipaksa ikut!

Pas selesai arisan itu. Saya minta nggak diterusin. Keluar. Ya jadi punya pengalaman. Setidaknya ngerasain. Mau muntah.

Bagi saya walaupun uang seratus ribu yang buat patungan arisan itu. Terus terang aja berat. Mungkin efek nggak suka. Atau bisa jadi karena belum mampu hehehe..

Saya lebih senang uang itu dibelanjakan. Perputaran uang barang dan jasa kan gerak. Ekonomi jalan. Dibanding ditaruh arisan, apalagi ditaruh di musholla hahaha. Kurang suka sama yang terakhir. Soalnya mengendap lama. Dan nggak ada program.

Jadi uang infak hanya untuk dijadikan pengumuman. Sedih juga. Tapi karena pengurus di kampung saya ini kolot-kolot jadi malas ngomongnya. Sukanya numpukin.

Mau suara pengeras “toa” masjid nggak karu-karuan. Cenderung polusi suara, nggak jelas bunyinya. Juga nggak mau ganti. Sampai yang namanya tempat wudhu kotor jorok, juga nggak mau gunain dana infak. Duuhhhh.

Padahal kalo mau ya tinggal nyuruh orang bersihin rutin, terus dikasih upah dari kotak infak itu, kan beres. Uang jama’ah atau ummat jadi bermanfaat. Ngalir. Dan tentu saja dapur keluarga orang tersebut ngebul. Tapi sayang pengurus pikirnya eman terus.

Padahal orang siapa pun ya kalo eman aja yang ada dipikirannya, apalagi sampai “priatin”. Bisa dipastikan hidupnya nggak bakal maju. Otaknya kerdil. Dan tentu saja capek sendiri.

Tenang ini cuma satu sudut pandang aja. Beda juga nggak apa.

(***)

Penulis: Ahmad Sholeh, Pedagang Sembako