Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Sajak Sabda Alam: Pedang Tetap Menebas Kita Bertakbir

SABDA ALAM

Oleh: UQ Tuah Mawlana Rumi.

(CIO) — Misteri Alam kembali berulang dalam lingkaran abadi yang terselubung tanya, kenapa.

Temaramnya surya, mendesak malam. Esok pagi, sang fajar pasti datang.

Burung-burung berkicau dalam riang. Bunga pun terhampar dalam semerbak wanginya dan tak bertanya.

Embun pagi yang entah mengapa, selalu membundar dan kemudian runtuh dalam beratnya sendiri, seolah takdir bagi pelengkap drama kehidupan itu.

Ironisnya, makhluk tercerdas yang mengaku sebagai satu-satunya pemilik hak waris semesta Sang Khalik itu justru tak memiliki kecerdasan sederhana membaca nikmat ini.

Mereka sibuk dengan murka dan lalu tertawa dalam angkara.

Mereka bangga dengan yudha bersimbah darah sesama.

Nestapa meraja, duka menggelora dan buana pun larut dalam duka.

Di sana, bukan drama sedih tentang tetes air mata dan duka kita ingin bercerita. Arogansi manusia yang bangga dengan kecerdasannya, namun tak sadar sedang mempermalukan diri sendiri.

Agama kita maknai sebagai perjanjian bermaterai dalam bentuk kitab. Kita akui itu sebagai perintahNya. Kita berjalan dengan pongah karena “rasa” sepihak sebagai utusanNya.

Ketika nurani kita tak bergeming atas rintihan sesama yang terdengar parau meminta ampun dan pedang tetap menebas kita bertakbir “Tuhan Maha Besar”.

Ketika mata tak berkedip atas darah mengalir dan telinga tak lagi mampu mendengar rintih kesakitan mereka yang kita anggap musuh, kaum yang tak sepaham dengan kita dan sekali lagi kita berteriak “Tuhan Maha Besar” dan tak ada tanya dalam hati, benarkah itu?

Entahlah…..

Binatang pun tak seperti itu.

Pahala dan janji surga. Hanya itu yang kita cari. Hanya itu hasrat kita ingin.

Di sana, di antara celah desakan nafsu tak berbatas itu, kita tersesat. Kita hilang dalam diri kita sendiri.

Lantas, tak lama sejak itu hadir, kita pun dibuat sibuk menolak setiap gagasan dan bukti atas pencapaian olah pikir umat manusia.

Bukankah misteri alam akan temaramnya surya sebagai tanda penutup hari dan segarnya embun saat pagi merekah.

Yang dimulai dari sapaan hangat sang surya, akan terus berulang dalam lingkaran abadi yang terselubung tanya tak terjawab adalah makna bahwa Tuhan hadir dan namun kita sibuk mencari?

Berterimakasih atas hari baru dengan terbitnya matahari yang masih selalu dari sebelah timur, bersama kicau burung, semerbak wangi bunga dan tetes embun pagi, dan sejuknya malam, ucapan “selamat pagi, siang dan malam, teman”, adalah cara sederhana mensyukuri nikmatNya.

(***)

Salam takzim buat sahabat-sahabat ku:
Vito Aldriadi Monaz
Indra Noval
David Ocu
Doni Nuriska Putra
Iib Nursaleh

Penulis: UQ Tuah Mawlana RumiEditor: M Syari Faidar