Kebudayaan Panglima Peradaban Masa Depan Harris Effendi Thahar
Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Hadirin yang saya muliakan.
Sekarang, kita sedang berada di dua situasi besar yang sangat memengaruhi hidup kita sebagai manusia di muka bumi ini. Pertama, baru saja di awal dekade ini kita memasuki era revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi besar-besaran yang serba digital. Ciri-cirinya adalah kesalingterhubungan dengan sistem cerdas dan otomasi. Kejut budayanya masih terasa bagi kaum imigran digital (orang seperti saya). Sementara kaum muda yang disebut generasi Z merupakan “penduduk asli” atau native digital menjadikan internet sebagai keharusan hidup sehari-hari.
Kedua, nyaris telah setahun kita dikepung pandemi Covid-19 yang hingga kini belum ada tanda-tanda menurun ancaman serangannya. Mungkin tidak lama lagi, ketika vaksin sudah tersedia dan vaksinasi dilakukan kepada seluruh penduduk, serangan pandemi ini akan menghilang. Pada satu sisi, kedatangan pandemi justru menambah kuatnya peran digitalisasi di semua sektor kehidupan, termasuk di sektor seni-budaya. Karena, protokol kesehatan mengharuskan kita tidak berkerumun dan menjaga jarak antar sesama. Maka, pilihan jatuh pada kegiatan secara daring.
Kegiatan baca puisi, pertunjukan teater, pementasan tari, musik, masih tetap terlaksana secara virtual, atau secara daring. Jika pun ada penonton tatap muka, cuma sedikit, selebihnya penonton melalui jaringan internet. Demikian juga soal publikasi karya sastra, selain dalam bentuk tercetak, juga dalam bentuk digital. Melalui aplikasi e-book misalnya, kita dapat membaca novel, kumpulan cerpen, puisi, maupun esai sastra. Atau menonton pertunjukan teater dan tari melalui YouTube.
Di sisi lain, kehadiran jagat digital, justru menghadirkan pandemi lain seperti semakin banyak korban Undang-Undang ITE terhadap pengguna media sosial yang ceroboh dalam mengekspresikan dirinya. Dalam hal ini, menjadikan mulutnya harimaunya yang akhirnya menerkam diri sendiri.
Di sisi sosial, keguyuban hidup bermasyarakat menjadi semu, lebih sering bertemu secara virtual dari pada pertemuan fisik yang hangat. Pencitraan diri yang berlebihan melalui medsos yang penuh dengan kepalsuan. Hal ini sudah lama diramalkan Yasraf Amir Piliang dalam pengantar buku Ruang yang Hilang, Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace karya Mark Slouka (1999).
Hadirin yang mulia. Mari sejenak kita buka sejarah sebelum berdirinya NKRI di masa lalu. Beberapa orang pemuda sekolahan dari Sumatera di pulau Jawa, 1917 membentuk persatuan yang dinamakan Jong Sumateranen Bond, atau sering disingkat Jong Sumatera. Organisasi ini didirikan tidak lain bertujuan untuk mempersiapkan Indonesia merdeka. Pergerakan politik para pemuda Sumatera yang didominasi oleh putra-putra Minangkabau seperti Muhammad Yamin, Muhammad Hatta, Abdul Muis, Nazir Sutan Pamuncak, H. Agus Salim, Adam Malik, sebagian besar menjadi tokoh-tokoh pendiri republik ini, bahkan ada yang menjadi Wakil Presiden. Selain itu, sebagain dari mereka adalah sastrawan seperti Muhammad Yamin, Abdul Muis, Tulis Sutan Sati. Bahkan Muhammad Hatta juga menulis puisi.
Selanjutnya, para sastrawan terkemuka pada awal sejarah sastra modern Indonesia adalah putra-putra Minangkabau. Sebutlah Marah Rusli, penulis novel Siti Nurbaya, Abdul Muis, penulis novel Salah Asuhan, Penyair Chairil Anwar, tokoh puisi Indonesia modern dan banyak lagi. Sastrawan Minangkabau adalah pembuka jalan dan pemuka sastra modern Indonesia.
Salah satu konsep budaya demokrasi yang tertuang dalam konstitusi kita yang disumbangkan oleh tokoh-tokoh pergerakan pemuda Sumatera yang notabene putra Minangkabau itu adalah “musyawarah dan mufakat”. Tidak dapat dimungkiri bahwa kaum terdidik dari Sumatera Barat adalah para pejuang pergerakan kemerdekaan, sekaligus budayawan, pemikir dan konseptor yang menjadikan kebudaya sebagai panglima. Hal itu disebut-sebut oleh Jusuf Kalla, sewaktu berpidato pada penganugerahan Doktor Honoris Causa oleh UNP kepadanya, 5 Desember 2019 lalu.
Hadirin yang saya muliakan. Sehubungan dengan judul orasi ini, sekali lagi saya mengajak kita semua melihat kemajuan peradaban bangsa-bangsa di sekeliling negara kita. Sebutlah kata “ikebana”, kita akan tersentak bahwa seni merangkai bunga yang berasal dari budaya Jepang telah memengaruhi dunia. Sastra sebagai hasil kebudayaan Britania Raya telah “memaksa” penduduk dunia membaca atau menonton Harry Porter, atau hafal cerita drama “Romeo and Juliet”. Dengan kekuatan budaya popnya, Korea berhasil menjual miliaran unit ponsel pintar merek Samsung. Sementara, sebagian generasi muda Indonesia tergila-gila pada apa yang disebut K-pop.
Saya sekedar menyebut beberapa contoh, bagaimana suatu bangsa yang memiliki kekuatan budayanya memajukan peradaban bangsanya. Bagaimana dengan kita di Ranah Minang yang permai ini? Kita punya filosofi “Alam Takambang Jadi Guru” yang arti luasnya untuk masa sekarang adalah kecerdasan dan kearifan yang didapatkan dari kemampuan literasi.
Literasi menurut Kemendikbud ialah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas seperti membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Sementara, umat Islam pertama kali disuruh Tuhan untuk membaca dan pengertian membaca dengan M besar, melalui wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW.
Namun begitu, kesinambungan dominasi orang Minang sebagai seniman dan budayawan setelah kemerdekaan tidaklah berkurang, meskipun kemudian tokoh-tokoh budaya juga lahir di tanah Jawa. Sebutlah tokoh tari Huriyah Adam, yang namanya diabadikan sebagai nama studio tari IKJ. Sebutlah sastrawan dan budayawan AA Navis, dramawan dan novelis Wisran Hadi, penyair Leon Agusta, novelis dan budayawan Chairul Harun, penyair dan novelis Abrar Yusra, penyair Hamid Jabbar, sejarawan dan pemikir kebudayaan Mestika Zet, dan sejumlah nama seniman dan budayawan lain yang sudah pergi meninggalkan kita.
Meski mereka hidup di zaman sebelum dunia virtual atau yang disebut Slouka budaya cyberspace menjadi dominan, mereka toh memiliki nama yang diakui, disegani, dan dihormati oleh kalangan budayawan tanah air. Artinya, sastrawan dan budayawan dari Ranah Minang masih merupakan aset kebanggaan bangsa yang tampil di forum-forum nasional maupun internasional sebagai pemikir-pemikir budaya.
Kita baru saja selesai melaksanakan pemilihan kepala daerah secara serentak di wilayah NKRI, termasuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat. Masih terngiang hiruk pikuk kampanye masing-masing calon kepala daerah Bupati, Walikota, dan Gubernur di daerah Sumatera Barat. Para calon saling menonjolkan visi misi dan program unggulan yang akan dilaksanakan jika terpilih menjadi kepala daerah. Baik disampaikan melalui media cetak, maupun secara virtual dan acara debat daring, ternyata tidak seorang calon pun yang menyinggung-nyinggung budaya. Semua visi terkesan sangat teknis dan normatif. Meskipun tidak disampaikan kepada publik, toh telah merupakan tugas harian sang kepala daerah. Tidak ada visi yang cerdas, yang menjadikan budaya sebagai acuan untuk membangun peradaban yang lebih unggul. Karena, seorang pemimpin bukanlah disiapkan sebagai sekadar seorang pekerja, melainkan seorang konseptor, karena dia juga seorang pemikir.
Jangan berharap akan lahir konsep-konsep hasil pemikiran berbasis budaya yang bernas dan berdaya jangkau jauh ke depan dari para eksekutif dan kaum legislatif kita, karena seperti yang saya katakan tadi, itulah tugas para budayawan. Saya ingat Subagio Sastrowardoyo, pemikir budaya yang mengatakan bahwa seniman dan budayawan adalah manusia perbatasan.
Artinya, seniman dan budayawan dalam proses kreatifnya berada di puncak yang melihat sekaligus dunia nyata di satu sisi, dan dunia ideal di sisi yang lain. Dari ketimpangan-ketimpangan antara kenyataan dan dunia ideal yang dilihatnya itulah lahir ide-ide baru yang berorientasi ke masa depan. Kata orang berilmu, masalah akan terlihat dari perbandingan das sein dan das sollen.
Belajar pada pengalaman masa lalu, kegiatan seni budaya tidak mungkin mengandalkan uluran tangan pemerintah karena pemerintah bekerja sejauh program dan mata anggaran. Apalagi mengemis-ngemis minta dana untuk suatu kegiatan yang dianggap ideal dan konstruktif. Bukan berarti kegiatan kesenian tidak butuh biaya, jika pemerintah memang ada anggarannya tidak perlu menolaknya. Tiba masanya, zaman sekarang adalah zaman jaringan. Siapa yang memiliki jaringan luas, akan memudahkan langkahnya.
Hadirin yang saya muliakan. Hari ini, di penghujung tahun penuh virus korona, kita merasa perlu menanyai diri kita selaku seniman dan budayawan penerus generasi sebelumnya. Sudahkan kita berbuat dan berkreasi untuk negeri ini? Saya akan menjawabnya sendiri seperti ini. Bahwa selama ini kegiatan seni sebagai ekspresi budaya kita di Sumatera Barat berjalan sebagaimana mestinya.Salah satu contoh, kisah perjalanan karya tari “Rantau Berbisik” dari kreografer kebanggaan kita Eri Mefry, mendapat sambutan di dalam dan luar negeri. Tentu saja karya ini membawa ruh budaya Minangkabau. Akan tetapi, siapakah yang telah membicarakan dan mengeritik secara akademis maupun secara populer, baik melalui media cetak maupun virtual di Sumatera Barat ini? Kita perlu kritikus-kritikus seni seperti di zaman Mursal Esten.
Saya ingat Aburizal Bakri, politikus Golkar yang pernah menjadi calon presiden berkata: ada orang ada masanya, ada masa ada orangnya. Pada masa Chairil Anwar ada HB Yasin yang membesarkannya. Pada masa Darman Moenir, Hamid Jabbar, Asnelly Luthan, Harris Effendi Thahar, Syafrial Arifin, Syarifuddin Arifin, Yusrizal KW, Yeyen Kiram, Esha Tegar Putra dan lainnya diasuh dan dibesarkan oleh penyair Rusli Marzuki Saria yang sekarang Alhamdulillah menjadi satu-satunya sastrawan sepuh di kalangan kita.
Penggarapan teater di Padang dan di Padangpanjang dengan tokoh-tokoh generasi muda setelah angkatan Bram Ilyas dan Yusril Katil masih terdengar derunya, meskipun lewat virtual. Buku-buku puisi yang baru terbit, baik dalam bentuk cetak maupun e-book beredar di kalangan para penyair. Lomba baca puisi dan lomba menulis puisi tetap berjalan sebagaimana mestinya. Penulis-penulis cerpen generasi baru, terutama melalui media digital, tetap tumbuh di Sumatera Barat. Buku kumpulan cerpen terbaru tahun ini ada beberapa yang terbit dari penulis-penulis Sumatera Barat. Tetapi, belum saya dengar ada pembicaraan serius berupa kritik dan timbangan buku. Padahal, karya seni memerlukan kritik seni agar dia hidup dan berkembang.
Saya tidak sempat mencatat kegiatan kesenian di Sumatera Barat setahun ini dan tahun-tahun sebelumnya secara akurat. Mungkin, entah karena “kekacauan” suasana antara daring dan luring, yang memang memerlukan waktu untuk menerima kebiasaan baru ini. Gebrakan kreativitas kesenian dalam rangka ekspresi budaya di Sumatera Barat tahun ini tidaklah berkurang. Meskipun begitu, dengan hati-hati dapat saya katakan, ada suasana berkesenian secara alami (nature) tumbuh seperti kantong-kantong baru yang tidak lagi menyusu kepada penguasa yang punya dana. Sumatera Barat, dalam hal ini kota Padang adalah salah satu pusat kekuatan seni budaya tanah air yang terus menggeliat.
Sebutlah Ladang Tari Nan Jombang, asuhan kreografer Eri Mefry yang telah menjadi pusat perkembangan baru kesenian yang berbasis budaya Minangkabau sejak 2006 hingga sekarang. Selain memiliki jaringan luas dalam dan luar negeri, secara rutin Ladang Nan Jombang mengadakan KABA Festival tahunan, “wirid” bulanan setiap tanggal 3 berupa pertunjukan seni tradisi yang dipandu oleh Mak Katik Darizal. Selain itu, sebutlah Sanggar “Kandang Padati” asuhan penyair Esha Tegar Putra dkk, yang pernah mengadakan Padang Literary Festival; RK Publishing; Komunitas Seni “Nan Tumpah” asuhan Mahatma Muhammad, Sanggar Literasi “Tanah Ombak” asuhan Syuhendri, Komunitas Intro di Payakumbuh, asuhan Iyut Fitra yang tahun ini mendapat penghargaan untuk buku puisinya oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, sekedar menyebut kelahiran beberapa kantong seni budaya yang tumbuh dari bawah (bottom up) di daerah ini. Tak satu pun komunitas tersebut merupakan sesuatu yang disemai dari atas (top down).
Seperti halnya kegiatan kita saat ini, di sini, diangkat dan dilaksanakan oleh komunitas kecil yang terdiri dari pekerja-pekerja seni tanpa stempel organisasi. Mereka adalah Hermawan, Fauzul El Nurca, Eri Mefry, Syarifuddin Arifin, Muhammad Ibrahim Ilyas, Zamzami Ismail, dan Yeyen Kiram. Karena yang mengundang saya adalah seniman, maka saya merasa bangga karena saya merasa bagian dari mereka. Kami adalah seniman.
Sehubungan dengan kegiatan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) III yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud awal November lalu tersirat suasana ini. Oleh sebab itu, ada kata-kata dalam rangka “memajankan” sastra Indonesia dalam tema musyawarah itu.
Perlukah sastra Indonesia dipajankan? Didedahkan lebih luas, diperkenalkan kepada dunia? Tampaknya perlu karena memang sastra Indonesia tidak dikenal di luar. Jangankan sastra, Indonesia sendiri tidak begitu dikenal oleh sebagian masyarakat dunia. Mungkin Bali lebih dikenal daripada Indonesia. Hal itu diungkapkan Leila S. Chudori dalam paparan makalahnya yang berjudul, “Sastra, Sastrawan, dan Karyanya”.
Di kalangan pecinta sastra di Eropa, pernah populer novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer karena sempat menjadi nominasi pemenang Nobel. Selebihnya, ketika pameran buku di Frankfurt 2014 di mana Indonesia ikut, belumlah berhasil membuka mata Eropa terhadap karya sastra Indonesia. Oleh sebab itu, proyek penerjemahan sastra Indonesia yang sudah dilakukan beberapa oleh Yayasan Lontar, cukup memberi arti. Misalnya, memajang karya-karya sastra Indonesia terjemahan di toko-toko buku bandara, karena banyak wisatawan ingin membaca Indonesia melalui sastra.
Bagi kita seniman di Sumatera Barat, agaknya tidak terlalu berlebihan jika saya katakan bahwa memanfaatkan situasi jagat virtual yang semakin marak hari ini, dapat memajankan karya-karya seninya. Jika itu karya sastra berbentuk buku terbit cetakan, dapat dipajang dalam bentuk e-book secara virtual di blog pribadi penulisnya dengan melengkapi sinopsis atau introduksi dalam bahasa Inggris. Karena karya ini menyebar ke seluruh dunia, pembaca di luar Indonesia pun dapat membacanya. Mungkin saja ada yang ingin sekali membacanya, namun karena berbahasa Indonesia, peminat asing dapat menghubungi penulis melalui surel, minta izin menerjemahkan ke bahasa peminat. Kalau mungkin sampai pada tawaran untuk menerbitkannya.
Begitu juga halnya dengan karya-karya seni kreatif lainnya, seperti karya tari, teater, rupa, dan musik tentu juga dapat dipublikasikan dengan ringkasan atau introduksi yang menarik dalam bahasa Inggris, berikut dengan alamat surel yang dapat dihubungi dengan sangat segera. Beberapa kali pameran Seni Rupa diselenggarakan Bsung Tojes yang kemudian dipublikasikan di YouTube. Demikian juga musik-musik tradisi ciptaan Sexri Budiman, karena kesulitan merekam di studio, cukup dinikmati oleh pencintanya melalui YouTube.
Selanjutnya, janganlah berkecil hati jika tidak ada yang menggubris karya kita dari luar Indonesia. Kita harus kembalikan pada diri kita sendiri apakah karya-karya kita betul-betul kreatif? Adakah sesuatu yang baru dari hasil kerja kreatif yang memang unik, tiada duanya, bukan duplikat? Sedalam apa muatan dan keunikan budayanya? Jika memang belum sampai pada batas uji, semisal memenangkan suatu lomba dalam negeri; seperti naskah drama Cabik karya Bram Ilyas misalnya, marilah belajar pada para pendahulu.
Karya seni sebagai karya kreatif seyogyanya perlu apresiasi dan seterusnya kritik, atau yang disebut dengan dialektika. Sayang sekali, ruang budaya Padang Ekspres dan ruang budaya Singgalang sudah tutup. Semestinya, setiap iven seni perlu ulasan di media massa, terutama Surat Kabar.
Baiklah, sekarang bisa melalui media daring, tapi rasanya belum lengkap. Saya masih ingat, setelah pementasan Kereta Kencana yang dilakoni oleh Bram Ilyas dan Noni Sukmawati di Taman Budaya Padang beberapa tahun silam, saya bergegas menulis ulasan yang dimuat Haluan. Waktu itu saya menekankan bagaimana memelihara pertujukan teater yang semakin langka di kota ini menjadi pilihan baru bagi penonton. Saya tekanan, teater bukan film, tapi bagaimana membuat orang merasa ‘wajib’ menonton. Suatu tantangan bagi pekerja teater.
Para seniman dan budayawan pendahulu kita, yang saya tahu, memang bertungkus lumus dengan bacaan, tidak lain dari kembali ke dunia literasi.
Inilah satu-satunya jalan untuk menjadikan diri sebagai manusia perbatasan seperti yang dikatakan Subagio Sastrowardoyo. Demikianlah sastrawan Pramudya Ananta Toer melakukan riset sebelum menuangkannya menjadi novel-novel besar. Demikian juga sastrawan kebanggaan kita AA Navis, melakukan studi mendalam tentang budaya Minangkabau untuk cerpen-cerpennya yang akhirnya juga menulis buku Alam Terkembang Jadi Guru (Grafiti Press, 1984).
Seni yang mengakar, adalah representasi budaya itu sendiri. Jadikan kekayaan budaya kita sebagai modal proses penciptaan untuk menyongsong dan membangun peradaban masa depan.
Padang, 10 Desember 2020
(***)
Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd.
(Pembaca/penulis orasi Budaya) .