Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Negeri Ini Baik-baik Saja, Aku yang Sedang Tidak Baik-baik Saja

(CIO) — Ada yang bilang kesadaran selalu datang terlambat. Tapi kataku, kebodohanlah yang membuat seseorang tak kunjung menyadari kesalahannya.

Aku seorang yang gemar berdiskusi dan selalu haus mendengar pendapat orang lain tentang hal-hal yang kuanggap penting, seperti seni, budaya dan juga sesekali tema politik terutama politik lokal. Bila pada suatu kesempatan ada orang yang membuka jurus untuk memancing pertukaran pendapat, di manapun tempat aku mulai menyimak. Dan aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membicarakan apa yang kuanggap penting tersebut.

Kesenangan begitu terus berlangsung selama bertahun-tahun. Aku sering dengan sengaja memantik diskusi, seolah-olah isi kepalaku telah sesak oleh ide-ide dan meminta untuk segera dimuntahkan. Namun, akhir-akhir ini aku selalu berpikir, pentingkah hal yang kuanggap penting itu bagi kehidupanku?

Oh, sungguh naif bila kukatakan sekarang bahwa hal itu penting. Bahkan sama sekali tidak penting.

Setelah mengalami berbagai peristiwa yang memerosotkan kualitas hidupku sejak tahun 2019, aku selalu bertanya akan ke mana dan seperti apa hidup yang mesti kujalani. Hingga aku benar-benar mengalami peristiwa yang tidak hanya menyulitkan hidupku, tetapi juga berdampak pada kehidupan anak dan istriku. Kami mengalami kesulitan bahkan hanya untuk sekadar membeli beras. Ah, betapa brengseknya ternyata sikap hidupku selama ini yang terlalu pongah sehingga merasa layak memikirkan perkembangan sosial budaya, seni dan politik sementara keluargaku secara perlahan beringsut ke tepi jurang kepapaan.

Setelah mengetahui keadaan kami sekeluarga sedang tidak baik-baik saja, aku pun melakukan apa yang kubisa. Sampai aku harus rela kehilangan koleksi buku-bukuku untuk sekadar bertahan dan agar anak dan istriku tidak tidur dalam keadaan lapar.

Pada titik inilah aku sampai pada kesadaran bahwa selama ini aku tidak sedang berdiri di atas kaki takdir yang telah ditetapkan untukku. Aku berdiri pada pijakan angan yang ingin aku capai yang sesunggguhnya hanya akan membuatku capek sendiri. Aku telah melawan kehendak yang secara alami telah ditanamkan oleh Sang Maha ke dalam diriku.

Di hampir subuh sebelum aku menuliskan catatan ini, sebuah kalimat tiba-tiba datang menabrak kesadaranku yang tengah duduk kesakitan menahan sakit pinggang bila berbaring. “Negeri ini baik-baik saja. Lihatlah pemerintahannya berjalan dengan tenang. Para elit kekuasaan telah bekerja sesuai dengan kehendak dan kesepakatan yang saling menguntungkan. Begitu juga dengan kehidupan sosial, seni dan budaya, banyak orang yang asik-asik saja menerima dan bahkan menikmati fenomena kiwari dalam balutan kepalsuan. Hanya kau yang sedang tidak baik-baik saja,” katanya.

Ya, negeri ini sedang baik-baik saja. Terutama negeri tempat aku lahir dan besar dan sekarang membesarkan anakku. Tak ada masalah yang perlu dipikirkan secara mendalam dan mendesak untuk diselesaikan. Pemerintahan berjalan sesuai mufakat, mufakat antar mereka-mereka. Hanya aku yang sedang tidak baik-baik saja.

Bukan kesadaranku yang datang terlambat, tapi kebodohanlah yang telah menuntun jalanku selama ini. Berbagai konsep dan gagasan, bahkan karya yang selama ini telah kusumbangkan kepada segelintir orang ternyata tidak berguna, jangankan bagi mereka, untuk kehidupanku saja tak ada artinya. Tapi, entah.

(***)

Penulis: Benni “Iben” Nuriska

Pemerhati Sastra, Seni, Budaya dan Politik.