Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Murid adalah Mutiara Inspirasi

Oleh: Al Firdaus, Tenaga Pendidik

CIO — Ternyata mengajar itu bukanlah hal yang mudah. Ada banyak kecerdasan yang harus dipakai dalam mengajar. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa kecerdasan itu ada 7 yang dikemukakan oleh Steven Covey. Yang meliputi; verbal, visual, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan satu lagi musik serta kecerdasan analitik.

Pengkajian tentang kecerdasan tersebut terus berkembang. Maka tak jarang pula ditemukan kecerdasan spesifik seperti emosi. Dalam bukunya Darwis Hude seorang Prof. Psikologi Wakil Rektor PTIQ di Jakarta. Pengkajian emosi tersebut mengacu pada ayat-ayat di dalam Al-Qur’an, yang intinya bahwa rasa cinta, benci, sedih, amarah, ada di dalam Al-Qur’an. Dan semua harus disikapi dengan proporsional.

Oleh sebab itu Nabi Muhammad SAW menganjurkan umat Islam untuk berdo’a pagi dan sore dengan berlindung dari rasa sedih, mental miskin, dan kufur. Bahkan Daniel Goleman menyebut bahwa kecerdasan emosi dapat menentukan kesuksesan seseorang.

Kecerdasan yang penulis sebutkan di atas tadi, menuntut seorang pengajar harus memiliki kecerdasan emosi (EQ). Kecerdasan emosi membentuk seorang guru menjadi jiwa pengajar yang tangguh. Jiwa mengajar inilah yang membuat seorang guru tanpa lelah memotivasi, mengajari, mendidik bahkan pada tahap membenahi perilaku siswa.

Hal ini sebenarnya sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bagaimana gigihnya beliau berdakwah di mana dan kapan pun. Sampai mentranformasi ilmunya hingga jauh ke pelosok dan daerah terpencil. Bahkan beliau sempat dicaki-maki dan dilempari. Tapi hal tersebut tak beliau hiraukan. Ia hanya sempat mengadukan kepada Allah sang pemilik hati manusia. Apa yang terjadi pada diri dan tugasnya.

Harusnya spirit itu harus dimiliki ketika menghadapi murid-murid yang populer dan terkesan sulit diatur bahkan cenderung hiperaktif. Kita tidak bisa menyamakan antara menghadapi murid yang bersikap baik dengan yang tidak. Di sinilah peran kecerdasan interpersonal –sebuah kecerdasan yang berhubungan dengan orang lain. Biasanya ada pendekatan-pendekatan individu yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya yang cenderung aktif di kelas.

Maka sebagai pengajar kita harus menimbulkan pertanyaan. Ada apa dengan anak tersebut? Mungkin ada banyak faktor yang membuat mereka berbeda dari anak biasanya. Bisa jadi di rumah kurang perhatian, terlalu dekat dengan gawai atau smartphone, orang tua yang otoriter atau bahkan cenderung tidak peduli pada anak. Akhirnya anak berperilaku seenaknya tanpa memperdulikan norma dan etika terhadap orang lain, sehingga membuat hubungan sosialnya menjadi terganggu.

Maka pendekatan individu dengan mengajak mereka bercerita sebelum pelajaran dimulai, menyentuh kepala mereka dengan kasih sayang seperti yang diajarkan Nabi SAW dan mendo’akan mereka dengan disertai senyuman yang tulus.

Jika mereka sudah mulai menceritakan banyak hal. Contoh yang sangat sepele seperti; cerita tentang anak kucing, mimpi dan lain-lain. Tentu saja cerita dari mereka harus disimak dengan baik. Mereka sangat paham dan peka terhadap orang dewasa yang pura-pura baik terhadap mereka.

Saat itulah anda sebagai pengajar sedang mengendalikan sikap anak-anak. Dan biasanya mereka mulai bersikap baik pada gurunya. Hal ini sering penulis lakukan. Jangan ragu pula untuk mengajak mereka berhumor yang patut. Setelah itu, baru kita beri pengertian kepada mereka bahwa sekolah itu memiliki tujuan yang baik. Contoh: “Kak, di sini sekolah dibayar mahal. Kalau tidak rajin belajar rugi loh, kak.”

Pada tingkat ini kita mengajak anak bicara dari hati. “Allah sudah menempatkan Kakak di sekolah ini. Tempatnya bagus, gurunya bagus, teman-temannya baik-baik. Mungkin jika sekolah di tempat lain sulit mendapatkan hal seperti di sini. Dan satu lagi, kita bisa merasakan nilai-nilai ke-Islaman yang diterapkan dalam sekolah.”

Hal tersebut dilakukan dalam rangka membangun motivasi dan ketertarikan murid terhadap guru. Maka pengenalan terhadap individu anak menjadi penting. Dan untuk mengenal mereka harus ada interaksi positif yang membuat murid merasa nyaman. Jika guru sudah melakukan itu, maka pengajaran Insya Allah akan berjalan dengan menyenangkan. Keadaan seperti inilah yang dapat menjadikan murid inspirasi bagi gurunya.

Dan yang membuat guru bahagia adalah ketika seorang anak didik mampu menerapkan apa yang telah ajarkan. Walaupun sebenarnya untuk mengukur sebuah hasil dalam belajar memerlukan waktu yang lama. Bukan cuma setahun dua tahun bahkan mungkin lebih dari itu.

Santri di pesantren pun akan terlihat keilmuannya setelah ia lulus dari pesantren. Mutiara di dasar laut yang berkilau dengan harga sangat mahal, dicetak dengan tempaan dan hempasan karang yang keras.

Begitulah cara Allah menunjukkan sebuah berkah dari ilmu. Dan mengajarkan ilmu kepada murid sebuah amal jariyah yang kebaikannya tak terukur. Maka tak heran bahwa murid menjadi tameng bagi gurunya di akherat kelak.

Tetap do’akan murid kita walaupun ia sudah menuntut ilmu di tempat lain. Karena jika murid menjadi mutiara maka sang guru akan terkena kilauan sinar tersebut.

***

Penulis berprofesi sebagai Guru SD Tahfiz Jabal Rahmah dan SD Islam Cikal Cendekia di Tangerang.