Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Melankolisnya “Jidhat” Penyair Salon

(CIO) — Banyak sekali puisi/sajak/essai yang tercipta berbicara soal cinta dan patah hati. Selebihnya saya menganggap sebagai hasil penuangan kegelisahan dan keresahan hati. Tentu dalam menghargai prosesnya, saya tidak sedang berada pada posisi mempermasalahkan itu. Apalagi jika dikaitkan dengan konsep cipta, rasa dan karsa yang merdeka.

Kemerdekaan lahir tidak atas dasar perlakuan yang semena-mena. Tetapi jika kurang dalam memaknainya, maka kemerdekaan hanya sebagai euforia sesaat yang termanifestasikan dalam bentuk angan-angan. Sebagaimana masyarakat kecil, petani, wiraswasta, entrepreneur, politikus bahkan seniman menyerukan kemerdekaan itu masih sebatas bentuk dukungan, atau sekedar ikut-ikutan dan masih mengalami kegelisahan dalam konteks mengisinya.

Permasalahannya kemudian, adalah terdapat pandangan orang awam — kebanyakan — yang mengasumsikan bahwa menilai karya sastra seseorang itu bermula dari tulisan-tulisan yang berbunga-bunga, bahkan sibuk memperlihatkan gaya bahasa yang puitis. Penuangannya dibuat-buat indah, sehingga muncul kecenderungan bahwa menulis karya sastra harus diindah-indahkan tutur dan gaya bahasanya. Tidak salah memang, jika tetapi inti dan pesan tersampaikan berupa perasaan, elegi, juga romantika yang menggelora.

Pada tahapan ini ada beberapa kegelisahan terhadap karya sastra dimana orientasi maknanya mulai dituntut untuk menyuarakan ketidakadilan di masyarakat, sebagai wujud empati kepada lapisan kehidupan yang selalu dalam posisi terpijak. Apresiasi terhadap tulisan-tulisan yang berbau kemanusiaan, keadilan, perjuangan, dan ketuhanan serta kritik-kritik sosial, mulai meredup dan cenderung terabaikan dengan menonjolkan tulisan-tulisan cinta, galau dan patah hati.

Kondisi seperti ini dari waktu ke waktu bisa berdampak terhadap generasi-generasi penerus. Memang masih banyak sastrawan atau penyair senior yang masih terus mengibarkan panji-panji kebenaran dengan menyanyikan ayat-ayat keadilan dan menyuarakan ketidak-seimbangan hidup. Akan tetapi, bila sampai pada masanya nanti, mereka akan tersimpuh dengan kubur dan kemudian menjadikan kewajiban kita untuk meneruskan dalil-dalil mereka.

Tanpa mengabaikan penulis-penulis senior lainnya, WS Rendra bagi saya adalah cerminan Penyair atau Penulis yang memiliki kemampuan dan konsistensi untuk menyentuh dan memperkaya makna perlawanan terhadap nilai ketidakadilan dimasyarakat. Pemilihan maknanya menggambarkan kemampuan untuk mencubit penulis atau penyair yang masih sibuk dengan urusan hati dalam tulisannya sendiri.

“Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan” (WS. Rendra).

Bisa jadi, kita termasuk dalam golongan atau kaum yang ikut memudarkan warna-warna si-“Burung Merak” W.S Rendra yang menghiasi setiap puisi-puisinya dengan nilai budaya, kemanusiaan dan ketidak-adilan.

Beragam contoh karya sastra bagi pemula, khususnya puisi, cenderung menghasilkan penyair salon yang menuturkan konsep puisi “berbunga” semerbak, terlihat puitis dengan bedak romansa, bahkan terkesan molek dan harum. Tetapi kalau salah dalam penempatannya akan menjadikan maknanya identik dengan sosok badut yang lucu dan mewajibkan kita untuk tertawa.

Memang, persoalan karya sastra adalah persoalan bahasa, keindahan dalam berkata-kata. Apalagi puisi, ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta unsur penyusunan larik dan bait. Bahkan dalam penulisan puisi terdapat gubahan bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khususnya.

Karya sastra seorang penulis, semestinya memperlihatkan kesanggupan melepaskan diri dari semua temali pengertian yang tidak berakar dari dalam batin itu sendiri. Memahami karya sastra, terlebih puisi memang tidak mudah. Bahasa puisi berbeda dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Penyair cenderung dengan kesengajaannya memilih kata-kata yang indah, menambahkan kata-kata dan tanda baca serta mengartikan sejumlah kata yang dapat menimbulkan kemerduan bunyi dan sekaligus dapat menggambarkan ide yang ingin disampaikan dengan tepat. Cara menyampaikannya pun tidak secara langsung, melainkan melalui simbol-simbol, perbandingan-perbandingan dan kiasan-kiasan. Bahkan terkadang dituntut kemampuannya untuk “membuang” kata-kata yang tidak terlalu penting.

Akhirnya perlu untuk kita singgung mengenai nilai batin dalam menulis. Perlu kesadaran menguatkan batin penyair agar peka terhadap nilai kehidupan yang luas dan agung. Mengisi batiniahnya dengan benih dari rupa-rupa jenis pengalaman hidup di sekitarnya. Menancapkan akar-akar kontemplasinya agar menjelajah jauh ke dalam tanah. Sehingga karya-karya yang tumbuh dan turut hidup di batinnya adalah semua hal yang alami.

Kedalaman unsur “Cipta” mengisyaratkan keinginan penulis untuk terus berkarya. Unsur “Rasa” terwakili suasana batin yang alamiah. Dengan unsur “Karsa” penulis berkehendak sampai sang waktu menjemput nanti. Dengan karya sastra kita semestinya bercinta, mencintai sesama tanpa batas. Memanusiakan manusia. Dengan karya sastra ini kita mengenang kehidupan di masa datang. Lewat karya sastra ini semestinya kita bisa memanfaatkan kesempatan hidup yang diberikan Tuhan. Melalui karya sastra kita memiliki kekuatan batin untuk menyuarakan kondisi masyarakat yang penuh dengan kejahatan, kesesatan, kebobrokan, dan kemunafikan. Bahkan dengan karya sastra ini pula kita bisa berdo’a, dan berharap Tuhan berkenan mengabulkannya.

Akhirnya … siapapun yang mengaku sebagai bagian dalam dunia karya sastra semestinya selalu berpihak kepada kehidupan masyarakat yang demikian kompleksitas. Kalau tidak seperti itu, lantas untuk apa?

(***)

Penulis: Jaka Tingkir

Pemerhati Sastra dan Teater
Tinggal di Durian Sebatang.