Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Mawar Putih di Mulut Gang

Mawar Putih di Mulut Gang
Mawar Putih di Mulut Gang

Ku petik dirimu.

Ku timang digenggaman.

Ku bawa melintas malam.
Malam purnama dipeluk keindahan.

Ini bukan cerita anggur atau rembulan.
Ini hikayat merajut serpihan berserakan di Lowanu Sorosutan.
Yang terkubur di ceruk selaksa kenangan.

Hari itu dua puluh tahun lalu dia meminta sekuntum edelweiss.
Bunga keabadian yang menari dibelai angin Puncak Sindoro.
Aku sanggupi.
Meskipun sekedar janji.

Di mulut gang dekat tikungan kulihat dirimu.
Putih bercahaya bersih.
Ku petik dirimu.
Ku timang digenggaman.
Ku bawa melintas malam.
Membawa bukti tunaikan janji untuk ditepati.

Aku serahkan dirimu kepadanya sambil berkata, “Mawar putih ini ku petik di gunung Sindoro.”

“Di musim purnama edelweiss tak lagi berbunga,” tegasku dalam dusta.

Dia tersenyum bahagia, aku jumawah.
Engkau diletakkan dalam gelas kaca.
Di iringi lantunan tembang syahdu Katon Bagaskara dari kotak musik dekat jendela.

Dalam diam hatiku bergumam, “maaf aku telah membohonginya.”

Kode Etik petualang itu tak mungkin aku kangkangi.

“Jangan mengambil apapun kecuali gambar.”

“Jangan meninggalkan apapun kecuali tapak kaki.”

“Jangan membunuh apapun kecuali waktu.”

***

Riau, 17 Oktober 2020