(CIO) – Sebuah bus jurusan Bukittinggi-Solo, ber AC dan dilengkapi toilet. Lazimnya bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) lainnya. Lima belas menit yang lalu baru saja menaikkan salah satu penumpang. Seorang pemuda di simpang Piladang sebelum kota Payakumbuh.
Bus yang tadi berkecepatan tinggi, kini mulai berjalan agak pelan di bawah langit kota yang mulai gelap ketika memasuki pusat kota Payakumbuh. Gelap karena beberapa saat lagi mau azan maghrib, dan juga gelap karena mendung awan hitam yang sesekali diselingi gemuruh di atas sana. Senja yang mendung ingin menjumpai gelapnya malam. Namun tak semendung dan segemuruh hati Zakaria. Suasana hatinya tak menentu sejak keputusan pak Umar orangtua Nur Huda si kembang desa dua minggu yang lalu.
Bertubi-tubi. Seminggu setelah itu hatinya kian hancur karena musibah yang melanda sang ayah. Dua kejadian yang tidak sedikitpun diinginkan oleh Zakaria, mungkin juga oleh Nur Huda. Itu lah sebabnya Zakaria saat ini berada di dalam bus ANS ini menuju Jogja.
“Yang sabar ya Zakaria!”
“Tidak satupun yang bisa melawan kehendak Allah, setiap kejadian pasti sudah diaturnya dengan baik dan rapi”.
“Setiap kejadian oleh kuasa-Nya itu menyimpan begitu banyak hikmah dan pelajaran”.
“Saya sudah kirimkan uang untuk tiket bus dan uang makan di jalan ke rekening Upik kakak mu”.
“Kamu berangkat saja ke Jogja dengan bus ANS jurusan Bukit Tinggi-Solo”.
Begitu lah pinta pak Jomi, seorang pengusaha rumah makan yang juga saudara — adek bungsu — ayah Zakaria tiga hari yang lalu melalui handphonenya kepada Zakaria.
Bandung, 22 September 2002
Ketika di Jakarta dulu, Nur Huda tidak begitu suka makan martabak, semenjak bekerja di Bandung lah dia mulai sering makan martabak dan menyukainya, akan tetapi dia biasanya makan martabak yang dijual di gerobak-gerobak pada trotoar pinggiran jalan saja. Dia penasaran, kata temannya ada martabak enak di Jalan Pajajaran, tempatnya bagus. Ternyata rekomendasi teman kantornya itu lah yang membuat sore ini Nur Huda berada di toko martabak yang sudah mulai cukup terkenal di kota Bandung itu.
Dulunya martabak ini juga dijual hanya dengan gerobak, namun ketekunan pemilik dalam menangani bisnisnya, yang tahu betul dalam memahami selera konsumen dan memahami tentang pentingnya pelayanan dan variasi citra rasa dalam bisnis kuliner, akhirnya martabak ini disukai banyak pelanggan. Sehingga untuk memudahkan dalam pengenalan produk dan tempat. Sekarang, oleh pemiliknya, martabak ini di jual pada sebuah ruko di depan salah satu pusat perbelanjaan di kota kembang itu. Seperti toko kue, namun toko ini hanya menjual martabak aneka rasa, memiliki puluhan pelayan atau karyawan, manajemennya sangat profesional. Sang pemilik memang sangat memperhatikan tentang pelayanan. Konsumennya kian banyak. Apalagi sore hari, membludak. Bayangkan jika antrian atau suasana menunggu konsumen tidak terkelola dengan baik, terutama dalam mengisi waktu tunggu pelanggan menjelang pesanan datang. Pasti konsumen bosan dan tidak merasa nyaman, apalagi saat ini pesaing sudah mulai bejibun, jadi citra rasa dan pelayanan harus dipertahankan dan ditingkatkan. Begitu yang selalu ditanamkan pemilik usaha martabak itu kepada karyawannya setiap kali kesempatan memberikan arahan.
Nur Huda memilih tempat di pinggir jendela. Ruko yang posisinya paling pojok di perempatan jalan itu telah didesain menggunakan kaca untuk semua sisi dinding bagian luarnya, di bagian depan, pada samping kiri kanan pintu utama, kaca full. Begitu juga dengan sisi dinding kanan yang tidak ada lagi deretan ruko di sebelahnya. Karena setelah area parkir beberapa meter, langsung berbatasan dengan Jalan Cihampelas. Usaha martabak itu sendiri terletak di Jalan Pajajaran, jadi lokasinya memang strategis, di tengah kota, persis di perempatan Jalan Pajajaran dan Jalan Cihampelas – Jalan Cicendo. Bentuk ruko pun dapat didesain se-ekslusif mungkin. Posisi ruko yang paling pojok ini juga menjadi pertimbangan pemilik, jadi viewnya dapat dimaksimalkan.
Sore itu, seperti biasanya, menjelang maghrib, tepatnya pukul setengah enam sore, toko martabak tersebut tutup sementara. Nanti akan dibuka lagi pada pukul tujuh malam. Sang pemilik selalu mereview pelayanan hari itu yang selalu dipantaunya dari ruangan yang tembus pandang ke bagian pelayanan dan ruang duduk konsumen, sementara karyawan dan konsumen jika memandang keruangan si pemilik hanya seperti cermin. Dari ruangan itulah sang pemilik memperhatikan kinerja karyawannya dan perilaku konsumen.
Fadil, kepala pelayanan bergegas ke ruang pemilik setelah mendapat telpon dari meja kasir.
“Fadil!, maneh dimintakeun bapak ka ruangana sekedap,” ujar Lina, sambil kembali melanjutkan penghitungan uang untuk clossing tahap pertama. Karena, nanti malam biasanya Lina akan berganti shift dengan Yola.
“Minta waktunya sebentar ya dil”. Sang pemilik membuka perbincangan singkat sore itu.
Fadil agak heran. Padahal tidak pun diminta, Fadil pasti juga akan melapor, untuk evaluasi pelayanan dan jumlah konsumen baru secara harian.
“Ah bapak, kan ini memang waktu laporan saya”. Mereka pun tertawa.
“Berapa jumlah pelanggan baru hari ini Dil, maksudnya shift siang saja?”.
“Delapan pak!”.
“Dua lelaki, satu perempuan, satu pria sudah menikah (PSM), satu wanita sudah menikah (WSM), dua pria lajang (PLJ) dan satu wanita belum pernah menikah (WABERKAH) ”.
Format laporan konsumen baru (perdana) pada toko martabak itu, memang sengaja dibuat lelaki dan perempuan untuk anak-anak dan remaja. Wanita dan Pria untuk orang dewasa, berikut dengan singkatan-singkatannya. Karena pemilik toko martabak masih lajang, jadi sang pelapor sering bercanda dengan mengulang jumlah konsumen WABERKAH. Sang pemilik memang akrab dan suka bergurau dengan semua karyawannya dengan tetap menjunjung tinggi etika kerja dan profesionalisme.
“Wanita yang menikah yang satu keluarga tadi ya?”.
“Iya pak, istri bapak yang bawa anak-anaknya tadi, yang katanya dapat informasi martabak kita ini dari karyawannya”. Jawab Fadil.
“WABERKAH cuma satu, yang tadi duduk dipojok itu ya?”.
“Iya pak”.
“Tadi ia sempat heran waktu ditanya sudah menikah atau belum pak. Dan baru mau menjawab setelah saya menerangkan bahwa ini adalah standar kami dalam mendata konsumen baru untuk pengembangan pelayanan dan citra rasa”. Begitu Fadil menjelaskan setelah menjawab pertanyaan si pemilik.
“Kita siapkan acara Launching Produk rasa baru pada lusa ya dil, kamu siapkan segala sesuatunya, ini acaranya spesial, nanti kasih tahu saya kapan kalian rapat panitia kecil untuk peluncuran produk tersebut, biar nanti saya jelaskan detil acaranya”.
“Siap pak..!!”.
Fadil keluar ruangan dengan sedikit bingung. Tentang seperti apa detil acara yang akan dijelaskan si pemilik. Rasa penasarannya menyelimuti pikirannya ketika mengisi kegiatan rehat mandi serta sholat sore itu, untuk selanjutnya bersiap untuk operasional shift kedua, yaitu malam pukul 19.00 – 22.00 WIB.
Keesokannya Fadil langsung mengadakan rapat panitia setelah tutup operasional. Rapat berlangsung santai dan penuh dengan tawa antara pemilik martabak dengan beberapa karyawannya yang terlibat panitia. Semua detil telah dijelaskan dan dibahas. Rapat yang digelar setelah pukul sepuluh malam telah berjalan hampir satu setengah jam dan mau selesai. Fadil sudah tidak penasaran lagi. Ia beberapa kali mengumbar senyum kepada pemilik, baik pada waktu rapat berlangsung maupun hingga mengantarkan pemilik masuk mobil pribadinya untuk pulang seusai rapat.
“Besok pagi kamu sosialisasikan lagi keseluruh karyawan tentang acara peluncuran produk ini ya dil, semoga sukses”. Pinta pemilik sambil menghidupkan mesin mobilnya.
“Iya pak, sama-sama pak, semoga bapak juga semakin sukses”. Jawab Fadil. Lalu keduanya kembali tertawa.
“Oh ya, jangan lupa kamu cari data pribadi pelanggan WABERKAH hari kemaren itu, malam ini juga ya dil!”.
“Yang tadi juga kembali makan martabak kita kan pak?” Fadil memastikan.
“Iya, yang tadi juga dibahas di rapat!. Kamu macam ndak pernah dikasih tahu aja” Jawab pemilik kepada kepala pelayanannya sambil tersenyum, karena merasa selalu didesak Fadil agar pemilik tersebut menyebut nama perempuan yang dimaksud. Padahal Fadil tahu siapa yang dimaksud pemilik martabak itu.
Mobil Suzuki Grand New Vitara warna hitam tersebut meninggalkan Jalan Pajajaran menuju rumah pemilik. Ia menyetir mobilnya sendiri. Hari semakin larut, jalanan di kota Bandung sudah mulai sepi. Sang pemilik seperti mau minta doa dari seseorang. Ia mengeluarkan handphonenya. Lalu menelpon dan menyampaikan rencana acaranya esok, dan sedikit beberapa rencana pengembangan usahanya. Kalau diamati dari pembicaraannya, sepertinya mereka begitu akrab dan memiliki hubungan seperti anak dan bapak. Dari dalam mobil beberapa kali sang pemuda pemilik martabak di Jalan Pajajaran itu menyampaikan ucapan terimakasihnya kepada orang yang diteleponnya itu. Kepada seseorang yang seolah-olah sudah lama mendidiknya dalam dunia bisnis.
Hari ini untuk ketiga kalinya Nur Huda mengunjungi Toko martabak itu. Dua hari yang lalu karena penasaran atas rekomendasi teman satu bagian di kantornya. Hari kemaren, memang karena Nur Huda tiba-tiba lapar habis menggelar rapat di Amaris Hotel Cihampelas Bandung. Nah, sekarang ia kesini karena sangat kesal terhadap sikap sang calon kekasih, yang hingga tadi siang belum mengucapkan selamat ulang tahun ke-33 kepadanya, padahal hari sudah mau sore, pagi ditunggu, tidak ada, berkali-kali ia melihat sms masuk hingga siang, tidak satupun ada dari teman dekatnya itu. Sebenarnya Nur Huda sudah mulai nyaman dengan Tony, karena orangnya tekun, sholatnya rajin, tidak merokok. Hati Nur Huda sudah mulai terbuka untuk seorang lelaki sejak belasan tahun yang lalu. Meski sekalipun Nur Huda belum pernah berpacaran secara resmi dengan lelaki manapun, karena Nur Huda sibuk mengejar karir dan menyerahkan sepenuhnya jodoh kepada Tuhan, sejak peristiwa yang memalukan dirinya dan keluarga waktu itu.
Nur Huda begitu dekat dengan Tony sejak setahun terakhir ini. Dulu, di Jakarta, Ia pernah sudah mencoba membuka hatinya kepada sang Bos tempat ia bekerja yang sebetulnya telah memenuhi kriteria sebagai pendamping hidup menurut Nur Huda, namun sang Bos ternyata adalah seorang pecandu narkoba. Dan akhirnya ditangkap polisi ketika sedang pesta narkoba di ruangan kantor dengan beberapa teman perempuannya. Padahal laporan sekretaris pagi itu. Si Bos ada rapat penting dengan beberapa mitra kerja dan sehingga tidak bisa diganggu.
Itu juga yang membuat Nur Huda akhirnya resign, dan memilih bekerja di Bandung, padahal karirnya sudah mulai menanjak. Malu karena perusahaannya itu masuk koran terus selama berminggu-minggu akibat kasus yang melanda sang Bos. Mungkin karena kesal juga, orang yang mulai dikaguminya ternyata pecandu narkoba.
Kisah di Jakarta mungkin bisa dimaklumi oleh Nur Huda. Ia tidak bisa melampiaskan kemarahannya, karena ia juga belum memiliki hubungan apa-apa dengan si Bos waktu itu. Orangnya cuek, meski sangat mengagumi kinerja Nur Huda dan kepribadiannya, Sang Bos juga tidak tahu tentang pandangan dan perasaan Nur Huda kepadanya.
Wajar saja sore ini, seorang perempuan yang begitu mengharapkan perhatian dari seorang kerabat dekat, yang rasa-rasanya, hanya menunggu saatnya saja untuk menjadi sepasang kekasih, atau langsung meningkatkan status dari berteman dekat dan menjadi sepasang suami-istri jika memang cocok. Bisa-bisanya lupa hari ulang tahun dirinya, perempuan mana yang tidak kesal dan marah. Seperti biasa, perempuan jika kesal, kadang pelampiasannya makan. Makan apa saja, di samping menu utama makan hati.
Sambil menunggu pesanan datang, Nur Huda teringat Zakaria. Lelaki temannya sewaktu remaja dulu, satu sekolah, sama-sama mengaji di Batu Sangkar, kampung mereka. Dan pernah sama-sama berjanji, ingin melanjutkan kuliah bareng di kota pelajar Yogyakarta, namun rencana dua remaja itu tidak berjalan sesuai dengan rencana dan keinginan mereka, akibat orang tua Nur Huda mau menjodohkan anak gadis satu-satunya itu dengan lelaki yang ternyata sudah beristri. Ketahuannya ketika menjelang proses akad nikah pada tahun 1987 silam. Ketika itu Zakaria sudah berangkat ke Jogja. Bukan untuk kuliah, namun untuk membantu pak Jomi mengelola usaha rumah makannya. Pedih dan pilunya hati Nur Huda waktu itu tidak sepilu yang dirasakan Zakaria. Pertama karena Nur Huda akan dijodohkan, kedua, harapannya untuk kuliah ke Jogja pun sirna karena sang ayah tiba-tiba bangkrut karena tertipu rekan bisnisnya di bidang property. Setahun setelah bekerja dengan pak Jomi, Zakaria kuliah di UGM jurusan Manajemen dengan sharing budget antara honor Zakaria mengelola salah satu cabang rumah makan pak Jomi, dengan uang pribadi pak Jomi, meski tanggungan pak Jomi juga banyak, namun Zakaria juga anak dari abang kandungnya, sekalian untuk membalas jasa Ayah Zakaria yang dulu menyekolahkannya hingga tamat Pesantren di Padang Panjang.
Martabaknya sudah datang. Masih panas, Nur Huda masih melamun. Teringat surat yang di tulis Zakaria dan belum sempat ia balas.
“Nur Huda, teman baikku,
Aku harus berangkat ke Jogja, bukan untuk kuliah, tapi untuk membantu Pak Jomi di rumah makannya. Ayah pun tidak jadi dapat membiayai kuliah ku, karena semua ruko milik ayah di pasar Sungai Tarab di sita bank, karena kredit macet, yang uangnya untuk bisnis property yang bekerjasama dengan temannya sejak beberapa bulan lalu, mungkin semua asset yang dimiliki juga akan dijual, jika tidak, ayah akan masuk penjara karena DP yang sudah diterima ayah dan temannya dituntut para pemesan. Perumnas itu tidak jadi dibangun, uang pinjaman atas nama ayah dan semua DP telah dibawa kabur oleh temannya itu. Aku tidak dapat menambah beban ayah, mumpung telah tamat SMA, aku akan merantau ke Jogja untuk belajar hidup mandiri.
Nur Huda, ketika surat ini selesai kamu baca, kamu boleh melupakan tentang diriku, tentang harapan yang pernah kita rencanakan, kuliah bersama di Jogja. Termasuk rencana tentang setelah tamat, hidup bersama dengan restu agama dan kedua orang tua, agar kamu tidak bimbang lagi dalam memutuskan serta melabuhkan hatimu untuk menikah dengan pilihan ayahmu.
Selamat berbahagia dan membina rumah tangga.
Zakaria”
Beberapa bulan setelah peristiwa gagal menikahnya Nur Huda dengan orang pilihan orang tuanya itu, sempat terpikir oleh Nur Huda untuk membalas surat Zakaria. Namun hal itu urung dilakukannya. Disamping ia tidak mau mengganggu ketenangan Zakaria, Ia juga sedang fokus mengurus lamaran pekerjaannya ke salah satu perusahaan di Jakarta yang sedang ada lowongan bagi Tamatan SMA untuk tenaga asisten administrasi. Nur Huda juga tidak betah lagi tinggal di kampung, malu karena calon suami ternyata sudah pernah menikah. Satu-satunya yang ada dalam pikiran Nur Huda waktu itu adalah segera meninggalkan Batu Sangkar dan mencoba hidup mandiri di ibu kota atau kota mana saja yang bisa membuat hatinya tenang.
Suhu martabak yang dipesan sudah mulai turun, namun masih hangat, pas sesuai bahasa iklannya. “Puncak kelezatan martabak ini adalah tiga menit setelah terhidang di meja”. Kalau yang sudah terbiasa makan panas-panas, pas terhidangpun juga sudah bisa dimakan, namun tiga menit yang disarankan iklannyanya adalah hasil riset pemilik tentang kenyamanan lidah dan mulut terhadap martabak panas yang baru dimasak.
Baru saja mau mulai memakan martabak tersebut, tiba-tiba Nur Huda terhenti. Padahal tadinya sudah mulai memotong-motong martabak dalam irisan kecil yang pas untuk di sendokkan ke mulut. Seorang lelaki mendekati meja nomor sepuluh, Nur Huda agak kaget, pikirannya tak menentu, sikapnya juga mulai canggung, ada rona bahagia di wajahnya. Kekesalannya hari ini mungkin akan sirna dengan kedatangan lelaki itu ke mejanya. Semakin dekat, Nur Huda terus memandanginya, pisau dan garpu masih di tangannya. Menyisakan beberapa langkah lagi. Pria berusia tiga puluh tiga tahun itu mulai mengulurkan tangannya. Dan berhenti persis di hadapan Nur Huda. Pisau dan garpu mulai dilepaskan hampir bersamaan. Lalu Nur Huda mulai berdiri dengan pelan.
“Selamat Ulang Tahun Nur Huda, perkenalkan saya pemilik usaha martabak ini. Zakaria”. Ucap lelaki itu.
Kedua tangan halus Nur Huda menutupi separoh wajah cantiknya, seperti orang yang masih tidak percaya yang bercampur perasaan malu dan haru. Yang jelas Nur Huda tidak bisa menyimpan rasa bahagianya. Nur Huda mulai menurunkan tangan kanannya untuk membalas salaman dari Zakaria. Tangan kirinya tetap di pipi sebelah kirinya menahan air mata yang mulai menetes.
“Masih ingat?. Pas waktu ulang tahunmu yang ke tujuh belas, kita makan martabak di Bukittinggi dekat Jam Gadang, aku pernah salah kasih gula martabak yang aku buatkan sendiri. Aku kira itu gula, ternyata garam halus. Penjual martabak menertawai kita, yang sebelumnya aku minta ia duduk saja, dan memohon aku yang membuatkan martabak spesial untukmu, sebagai kado ulang tahunmu waktu itu, akhirnya martabak itu tidak termakan sama sekali karena asin. Nah, sekarang, bertepatan dengan hari ulang tahunmu yang ke tiga puluh tiga ini, kami meluncurkan rasa baru “Martabak Asin”, tentu tidak se asin enam belas tahun yang lalu”.
Mata Nur Huda semakin berkaca setelah mendengar apa yang dikatakan Zakaria kepadanya. Sementara Zakaria tetap mengembangkan senyum dan masih menyalami tangan Nur Huda.
Akhirnya tangisan Nur Huda pecah juga, tangisan yang begitu lepas, seperti menyimpan perasaan begitu mendalam selama ini, Nur Huda begitu mencintai Zakaria, begitu juga sebaliknya, dan kesabarannya telah mempertemukannya kembali dalam momen yang sangat spesial.
Hampir semua pengunjung yang ada di dalam toko martabak milik Zakaria itu terheran-heran sambil terus makan martabaknya, melihat kejadian yang mereka saksikan sore itu.
Ada beberapa yang kembali melihat catatan kecil yang mulai tadi siang memang telah dibagikan kepada setiap pengunjung, kecuali kepada Nur Huda, sesuai intruksi pemilik dari beberapa detil acara yang disampaikannya pada rapat panitia malam kemaren. Mereka memastikan lagi bacaan tulisan pada catatan kecil tersebut.
“Pelanggan kami yang terhormat, hari ini tanggal 24-09-2013, kami akan meluncurkan citra rasa baru, dan nanti akan ada kejutan dari pemilik, dan mungkin sedikit membuat tidak nyaman, sebelumnya kami mohon maaf, jika kejutan itu terjadi ketika anda sedang berada di sini. Dan kejutan tersebut belum bisa kami pastikan waktunya pada jam berapa. Yang pasti pada hari ini.
Ttd, Manajemen”
Nur Huda dan Zakaria yang tadi sama-sama berdiri mulai duduk di meja nomor sepuluh, sambil menikmati Martabak Asin, dengan komposisi coklat dan dicampur keju yang cukup banyak. Pas untuk rasa asin yang diciptakan untuk produk baru tersebut.
“Selamat sore kepada pengunjung kami yang terhormat, sebelumnya, mohon maaf jika ini membuat tidak nyaman bapak atau ibu. Hari ini adalah peluncuran citra rasa baru Martabak Asin kami, sekaligus dalam rangka memperingati hari ulang tahun ibu Nur Huda yang duduk di meja nomor sepuluh, dan kami berharap kita semua yang ada disini mengiringi lagu yang sebentar lagi akan kami putar. Dan pada sore ini, semua pelanggan kami yang mengumpulkan catatan kecil yang diberikan pada waktu pemesanan tadi, akan diberikan discount 100%”. Yola, menyampaikan dari meja kasir, yang memang dilengkapi pengeras suara untuk kepentingan layanan, yang akhirnya, membuat semua pengunjung bertepuk tangan dan langsung menyanyikan lagu selamat ulang tahun secara serentak untuk Nur Huda.
Pengunjung lain bernyanyi dengan semangat. Sementara ada beberapa pemuda di meja tujuh belas malah menuju tong sampah yang terletak di sudut ruangan seperti mencari sesuatu. Sebuah catatan yang telah dibuangnya setelah sempat dibaca sesaat waktu pertama diberikan pelayan waktu pelanggan itu melakukan pemesanan.
Pukul lima sore, menjelang istirahat maghrib, setelah semua pengunjung dan karyawan bernyanyi dengan penuh keceriaan. Maklum, dapat martabak gratis pada sore itu, dan nanti setiap pengunjung yang hadir pada waktu itu juga akan diberikan bingkisan martabak aneka rasa lainnya. Tangisan haru Nur Huda pun sudah mulai reda. Zakaria mengajak Nur Huda ke mimbar yang juga telah disiapkan panitia untuk memberikan sambutan sekaligus memberitahukan pertunangannya waktu itu juga dihadapan pelanggan, termasuk wartawan yang sudah diminta untuk meliput acara launching produk rasa baru tersebut. Sang Wartawanpun juga gembira, dapat bonus berita. Disamping peluncuran produk untuk rubrik kuliner, juga dapat berita bisnis, ternyata pengusaha martabak di Jalan Pajajaran yang cukup terkenal itu masih bujangan, dan membuat sebuah kejutan pada sore itu dengan mengumumkan pertunangannya bersama seorang pelanggan bernama Nur Huda.
Zakaria mengundang semua pelanggannya untuk menghadiri pesta pernikahannya dan meminta mohon doa restu kepada semua pihak. Ia menjelaskan bahwa akad nikah akan dilangsungkan di Batu Sangkar pada bulan Oktober dan pesta kedua pernikahannya pada bulan November di Kota Bandung di kediaman Zakaria.
Lubuk Bendahara – Rokan Hulu, September 2013
Cerpen ini ditulis spesial untuk semua yang memperingati momen-momen penting pada bulan September. Sekaligus peringatan momen Spesial bagi penulis pada delapan belas tahun silam.
Cerpen yang berjudul “Martabak Asin di Bulan September” di tulis oleh Mastiardi yang dilahirkan di Lubuk Bendahara, 27 Juni 1983. Pernah menempuh pendidikan S1 Arsitektur UII Yogyakarta (Tamat 2006)
Ada beberapa karya-karyanya yang belum pernah dipublikasi, diantaranya:
Cerpen
- Selamatan Salamek
- Penyakit Lamin
- Hari Eksekusi
- Pendaratan di Paris
- Barudin Hito
Puisi
- Robohnya Tebing Sungai Kami
- Kursi Langit
- Mendayung Masa
Saat ini Mastiardi yang mantan Bankir ini berprofesi sebagai penjual pulsa, yang bergerak juga di UMKM dengan bendera bisnis Sakti Network (SN) yang juga tercatat sebagai anggota Pegiat Literasi Rokan Hulu (PLR) dan Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kabupaten Rokan Hulu