Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Kuli Penunggu Sinyal

Oleh: Al Firdaus, Tenaga Pendidik.

CIO — Batam 2007. Tanjung Piayu menjadi sejuk seketika setelah semalam diguyur hujan deras. Wilayah yang sedang berkembang, walaupun baru tingkat kecamatan. Tapi daerah ini sangat menjanjikan karena ia berdekatan dengan kawasan pabrik-pabrik besar dari seluruh negara dunia, daerah tersebut bernama Muka Kuning.

Ada banyak pabrik di sana seperti Simano, Panasonic, Sansyu, Sumitomo, Takamori. Semua bergerak di spesialis masing-masing. Ada yang khusus membuat baut motor, pintu mobil, kabel, dan perangkat lainnya.

Daerah ini mulai dipadati dengan gedung ruko serta bangunan tempat makanan. Perumahan-perumahan pun mulai banyak dibangun di sana. Maka tidak heran usaha kecil dan menengah mulai naik lagi. Seperti ada harapan baru bagi pribumi kecil di sana untuk menyambung hidup di tengah hiruk pikuk pabrik-pabrik besar dunia. Termasuk Harto seorang pemborong cat.

Masih ada sisa-sisa embun pagi yang berwarna putih seperti es memeluk helai daun rerumputan di depan kost yang dicat berwarna hijau muda. Walaupun terlihat benar cuaca seperti tak ingin ditebak apa yang ia inginkan. Terlihat cuaca masih menyisakan sedkit gelap di atas langit.

Terlihat dari dalam kost, sesekali anak muda perantau memicingkan matanya untuk memastikan bahwa hujan telah reda dengan tidak meninggalkan bekas becek di tanah Tanjung Piayu.

Pemuda itu menatap pepohonan jambu air yang besar tepat berada di sebelah pintu gerbang masuk kost. Ia coba menyadarkan dirinya dengan duduk mengenakan kaos dan celana pendek di bawah lutut. Matanya menatap ke lantai. Ia tidak mendapati apa-apa kecuali dedaunan berwarna kuning yang berjatuhan semalam ditampar oleh angin hujan.

Tepat di sebelah kost bertingkat itu, ada gereja besar yang hampir mirip dengan apartemen di kota Jakarta berwarna coklat. Cuma sayang gereja di pagi ini juga sepi. Terlihat tak bernyawa.

“Ayo bangun Kap. Kita sudah ditunggu Pak Harto di depan,” ucap temannya bernama Mincil.

Berkap seakan tak perduli. ”Aku masih ngantuk,” jawabnya dengan rasa malas yang berat sambil memasang selimut untuk menutupi seluruh badannya.

Mincil sedikit kecewa. Dengan segera ia mandi dan bersiap seadanya dengan membawa makanan untuk sarapan di tempat kerja nantinya. Ia berlalu dan berangkat dari kamar kost. Ia juga membawa tas dan sepatu keluar dari kost.

Sebelum keluar ia berkata kepada Berkap, ”Jangan salahkan aku jika gajimu nanti dipotong oleh Pak Harto.” ujarnya berlalu pergi.

Ia berjalan dengan hati-hati melewati tanah merah yang licin dan berair karena terkena hujan semalaman. Beberapa kali ia melompat kecil guna menghindari tanah lumpur agar tidak mengenai sepatunya. Kemudian sampailah ia di depan jalan beraspal. Ia menyeberang pelan. Mobil-mobil sedan berplat hitam sudah berlalu lalang sejak pagi.

Sebuah mobil hampir menyerempet Mincil. Dengan cepat ia menghindar. ”Oui, Bang hati-hatilah sikit bawa oto tuh!” seru Mincil dengan logat melayu Batam sambil menampakkan wajah kesal.

Supir taxi tidak menghiraukan kicauan pemuda rantau seperti Mincil. Bagi supir itu setoran adalah yang utama.

Seorang teman yang berada di ujung jalan berteriak. ”Hati-hati Kawan. Supir Batak tuh,” ujarnya memberi peringatan.

Mincil mengiyakan dari kejauhan.

***

Sejak beberapa bulan yang lalu. Mincil sangat ingin berlabuh di pulau Batam. Ia resah bukan main. Karena setelah ia lulus dari sekolah setingkat SMA di kampungnya, ia nihil pekerjaan. Bahkan boleh dibilang tak ada satu pun orang yang menawarinya pekerjaan. Sudah berlembar-lembar lamaran kerja ia buat dengan sangat bagus. Dengan menggunakan kata yang paling indah sudah ia buat pula. Bahkan berkas lamaran pun sangat mulus tanpa noda.

Ia pernah memasukan lamaran kerjanya ke satpam Kantor Bupati, tapi tak ada jawaban sedikit pun. Ia mencoba ke pabrik pupuk Sriwijaya, yang ada ia diusir karena tertangkap kamera CCTV membuang sampah sembarang. Ia mencoba lagi melamar untuk menjadi TU di Sekolah Dasar. Tidak disambut sedikit pun. Yang ada ia dilecehkan oleh anak-anak SD. Karena wajahnya mirip tukang es keliling Pasar Cinde di Palembang.

Ia pernah mencoba mendatangi sebuah panggilan dari produk Gas Elpiji. Setelah tanya sana, tanya sini. Masuk gang keluar gang. Akhirnya ia sampai diperkebunan pisang disekitaran rumah warga setempat. Baru ia sadar setelah masuk gang itu ada gedung bertingkat didepannya. Ia coba datangi gedung itu. Pintu terbuka lebar.

Perasaan Mincil begitu baik hari ini. Ia berharap kelapangan hari ini supaya berganti status, menjadi sudah bekerja. Mincil berharap dapat bekerja di Pabrik Gas dengan bayaran yang lumayan. Itu mungkin harapannya ketika melihat peluang ketika pintu terbuka. Namun alangkah terkejutnya Mincil ketika kakinya akan melangkah masuk, seekor anjing besar keturunan srigala bergaung hebat. Mincil bergetar, dada berdegup kencang, wajah memerah, nafas seperti tersendat.

Ia coba menenangkan dirinya. “Jangan lari karena anjing takut dengan mereka yang tenang.” ujarnya dalam hati.

Mincil sudah dapat mengendalikan dirinya. Walaupun dadanya masih berdegup kencang. Ia melihat beberapa pemuda sudah duduk santai berpakaian hitam dan putih. Itu artinya mereka bernasib sama dengan Mincil alias pelamar kerja. Walaupun mereka terlihat gagah, berbaju putih tapi mereka menunjukan sikap cuek terhadap Mincil yang kurus, bermata cekung dan bercelana levis. Boleh di kata ia mirip gembel.

Setelah ia bersikap ramah dengan menyapa orang-orang yang sedang duduk itu tapi tidak direspon oleh mereka. Dengan berat hati Mincil membalikkan langkah menuju pintu keluar. Dengan wajah tertunduk lesu ia berjalan. Ia kembali dikejutkan dengan suara anjing tadi dengan keras. Tanpa menoleh ia berlari kalang kabut masuk pepohonan pisang. Hanya Allah dan dirinya yang tahu apa yang terjadi di sana.

Mincil tak menyerah, Ia melamar lagi menjadi marbot masjid. Nasib pun berkata lain ia disambut dengan ramah. Tetapi setelah ia membuka bajunya yang bergambar tenggorak orang mati, terlihat wajah sang Takmir berubah cepat. Ia di usir lagi.

“Anak muda tak patut di contoh. Pergi sana perbaiki akhlakmu dulu baru ke sini.” sergahnya keras.

Tak menunggu waktu lama Mincil pun kabur dari masjid.
Dengan nafas terengah-engah ia menatap langit dengan suhu panas 35 derajat celsius.

“Betapa silau kau langit. Beri aku kesempatan untuk bicara pada Sang Pencipta langit.” pintanya.

“Ya Tuhan beri aku pekerjaan. Apa pun itu yang penting halal.” rintihnya.

Ia merogoh dompet. Ke kanan dan kiri. Diraba lebih dalam. Ternyata hanya ada satu lembar uang yang tersisa, 10 ribu rupiah. Tambah komplit terpaan badai hidup Mincil.

Hampir sebulan penuh ia melamar pekerjaan di kota Palembang tidak ada satu pun pekerjaan yang cocok dengannya. Dengan terpaksa ia memutuskan untuk pulang ke kampungnya.

Ia duduk di depan rumah sambil menatap pepohonan karet yang hijau di depan rumahnya.

“Ah, alangkah malangnya nasibku. Ternyata ada benarnya apa yang orang kampung ucapkan. Sekolah tinggimu tidak berguna. Nanti kamu akan kembali ke batang karet.” kata itu seperti granat meledak di dalam diri Mincil.

“Aku harus mencari jalan lain.” ucapnya dalam hati.

Mincil sempat pula mendengar kabar bahwa para pemuda kampungnya ada yang merantau ke Pulau Batam. Mereka bekerja di PT milik orang Jepang. Ada harapan besar di sana. Ia coba bertanya ke sana ke mari bagaimana caranya ia bisa ikut serta. Akhirnya ia mendapatkan jawabannya. Ia sudah bersiap menuju Pulau Batam.

Setelah berdiskusi alot dengan keluarganya. Ia akhirnya diperbolehkan merantau ke Pulau Batam. Sang Nenek berpesan agar Mincil menjaga kejujuran, shalat dan rajin bekerja. Itu pesan yang paling Mincil ingat ketika ia mendudukkan dirinya di dalam pesawat Merpati kelas ekonomi.

Tidak menunggu lama jemputan dari saudaranya yang lebih dulu tinggal di Batam datang. Pertama kali ia keluar dari bandara Hang Nadim. Ia merasakan udara yang panas dan tanah merah yang sedikit berkilau seperti minyak jika terkena sinar mentari.

***

Mobil separuh bus datang tepat di pinggir jalan dengan sein kanan yang menyala.

“Ayo berangkat kita.” kata sang supir bernama Harto.

Beberapa teman Mincil sudah ada duduk di dalam mobil. Beberapa kaleng cat, kuas, siler, rol dan kayu sudah siap di dalamnya.

Pak Harto, ia bukan hanya sekedar supir. Tapi ia sebagai Pemborong Cat di perumahan-perumahan di Kota Batam. Ia juga biasa mengecat pabrik-pabrik yang ada di Muka Kuning. Tidak hanya itu Pak Harto juga bisa mengecat kapal-kapal besar yang berada di pelabuhan Batu Ampar.

Ia memiliki karyawan yang bekerja dengannya yang ia bawa dari kampungnya sendiri di Sumatra Selatan. Tidak heran jika ia hafal betul nama-nama karyawannya.

“Mincil. Berkap mana?” tanya Pak Harto pada Mincil setelah duduk.

“Masih tidur Pak Cik.” jawabnya singkat.

“Sakit mungkin?” tanyanya lagi.

“Tidak Pak Cik.” tegas Mincil sambil bersandar menatap lalu lalang mobil taxi Batam.

“Cam mane nak sukses kawanmu tuh, pagi saje masih tidur.” ujarnya dengan menekan pedal gas yang membuat mobil melaju.

“Jangan kau ikuti dia.” sambungnya lagi.

Mincil mengangguk sambil diam. Tanda menyimak nasehat dari sang Komandan yang sedang menceramahi mereka.

“Bilang ke Berkap kalau dia masih malas akan aku kirim pulang ke kampung.” Dia mulai mengancam.

“Batam tidak butuh orang bersikap seperti itu. Batam kota maju butuh orang yang berpikir maju.” Terusnya lagi.

“Iye Mang, nanti aku sampaikan ke Berkap,” jawab Mincil.

***

Mulai terlihat jelas pabrik besar di Muka Kuning berderet rapi seperti kantor-kantor di Amerika.

Sampailah mereka di kawasan perumahan yang luas dengan desain rumah ciri khas Italiano. Dengan ciri rumah besar, ruang depan berbentuk segi tiga ditambah tiang yang mirip tiang listrik berwarna putih dengan berbagai ukuran didominasi warna putih. Menambah keelokan rumah tersebut. Yang jelas orang seperti Mincil tidak mungkin membeli rumah sebesar itu.

“Cat besar, kuas, rol dan siler jangan lupa di bawa Di.” perintah Harto pada leader bernama Kodi.

Mincil dan beberapa yang ikut membantu mengangkat cat tersebut dikeluarkan dari mobil.

Setelah mempersiapkan diri Mincil dan kawan-kawannya bergegas menuju area masing-masing. Karena mereka memiliki tugas yang sudah diatur. Datang kerja, makan dan pulang itu saja.

Baru saja Mincil akan mengibaskan kuas ke dinding yang sudah tersiler putih dengan bersih. Tiba-tiba HP nya berbunyi dengan nada dering tulit, tulit, tulit, tipe HP Nokia 200 tahun 2007. Saat itu HP berlayar sentuh tidak terlalu gencar seperti saat ini.

Mincil mengangkat telfon dari HP itu.

” Siapa nih?” tanyanya.

“Kak kirimi aku duit nih. Aku lagi butuh!” ujar seseorang di balik telfon. Ternyata itu adik Mincil di kampung.

“Untuk apa?” balas Mincil.

Mincil terheran dan menatap layar HP yang tidak berwarna kecuali abu-abu. Ia menatap di ujung pinggir kepala HP.

”Ah, aduh, sinyalnya mak.” suara HP seketika mati. Dan hening tidak ada suara sama sekali.

Mincil bingung antara harus menghubungi dan menunda. Padahal ia harus bekerja menjadi tukang cat. Tapi dalam kebingungan itu bertanya-tanya dalam hati.

“Jangan-jangan uang itu untuk orang tuanya. Atau sebaliknya untuk adiknya sendiri.” Ia berucap dalam pikirannya sendiri.

“Cil..” panggilan dari jauh mengejutkannya.

”Ngecatnya ditebalkan ya. Biar terlihat bagus.” seru Kodi sang leader.

“Iya Kak.” balas Mincil.

“Jangan lupa ngopi,” lanjutnya sambil tersenyum dan berlalu pergi menuju karyawan yang lain.

Mincil hanya mengacungkan jempol.

Tanpa terasa sore mulai menjelang. Semua karyawan Pak Harto bersiap memasuki mobil setengah bus. Peralatan pun sudah di kemas dan dimasukan kedalamnya.

Sore ini begitu cerah di Batam walaupun terkadang matahari sore cuma sebentar menampakan wajah indahnya.

Mobil keluar dari komplek perumahan menuju jalan raya. Terlihat membentang luas tanah berbukit yang masih ditumbuhi dengan lebatnya pepohonan liar. Jalan pun mulai tampak ramai dengan mobil bus jemputan PT atau dengan istilah mobil jemputan pabrik.

Kami dapat menyaksikan beberapa karyawan yang terlelap tidur di dalam bus karena kelelahan setelah bekerja seharian di pabrik.

Menuju jalan Ahmad Yani kami bertemu dengan stadion Abdul Jamal yang besar di atas bukit. Nama stadion yang diambil dari nama pahlawan dari Pulau Bulang, Batam. Pulau yang terkadang seringkali diziarahi oleh orang Singapura dan Malaysia setiap bulan ramadhan. Walaupun pulau tersebut berjarak setengah jam perjalanan dengan melewati selat-selat di antara pinggiran di sebelah barat pulau Batam.

Mobil kami akhirnya memasuki kawasan Muka Kuning. Jalan-jalan sudah mulai terlihat kering.

Setiba Mincil di kostan. Ingin rasanya ia segera merebahkan dirinya karena sudah letih bergulat dengan cat dan panasnya udara Kota Batam.

Berkali-kali ia menarik nafasnya untuk menikmati rebahannya di sore ini. Baru pertama kali inilah Mincil melangkah jauh dari rumahnya dalam rangka mengejar karir hidupnya di usia 19 tahun. Perjalanan hidup yang tidak semudah yang dikatakan orang. Banyak gelombang, batu, onak, banyak tangisan, banyak cucuran keringat, banyak kelelahan yang harus dicurahkan. Nyatanya itulah kehidupan.

Mincil mulai banyak belajar hidup yang sesungguhnya. Bahwa dalam meraih cita-cita tidak semudah yang ia bayangkan waktu di SMA dulu. Mungkin itu pula yang membuat badannya kurus seperti kurang gizi. Dengan mata cekung seperti kurang tidur.

Di sela-sela rebahan itu ia baru tersadar bahwa ia telah melupakan sesuatu yaitu sahabatnya bernama Berkap. Ia coba mengetuk kamar Berkap. Betapa terkejutnya ia menyaksikan Berkap tidak ada di kamar kost. Berkap pun tidak menunjukan tanda dan meninggalkan berkas apa pun.

Mincil yang tadinya akan terlelap rebahan menjadi buyar konsentrasinya. Istirahatnya menjadi kacau berantakan. Seakan percuma saja jika beristirahat tetapi pikirannya masih memikirkan temannya itu. Ia membuka telfonnya. Mencari nama Berkap. Ia miscall tapi tidak ada jawaban apa pun.

Mincil kembali lagi menatap layar HP. Ia menepok jidatnya sendiri. Kesal karena sinyal hp tidak ada. Ia merogoh kantong celananya mencari beberapa lembar uang. Kemudian ia bergegas pergi membawa tas tanpa mengganti baju yang masih terkena cat. Ia berangkat naik angkot berwarna biru tua.

“Muka Kuning Bang. Stadion Abdul Jamal.” ujarnya tergesa-gesa.

“Oke, naiklah Awak,” timpal sang supir dengan lagam Melayu Batam yang mirip bahasa Malaysia.

Mincil seakan tidak peduli dengan pakaian yang berlumur cat. Ia fokuskan mencari sahabatnya Berkap dengan cara menelponnya.

Tiba di Stadion Abdul Jamal yang besar dengan bangunan khas berwarna hijau, diukir berwarna kuning sebagai tanda kemegahan bagi para penonton pertandingan sepak bola.

Hari mulai menunjukkan gelapnya. Mincil berdiri tegak di depan Stadion Abdul Jamal. Ia mirip seperti batang kayu tak berdaun jika dilihat dari kejauhan. Mata dan jempolnya berputar dengan ligat mencari nomor telfon.

Akhirnya, sinyal hp yang selama ini ia cari muncul dengan jelas. Mincil seperti mendapat mutiara harapan. Senyumnya lebar. Karena ada harapan untuk dapat menghubungi sahabatnya itu.

Kemudian, ia dapat memastikan apa yang diminta oleh adiknya ketika meneleponnya sewaktu sedang bekerja tadi pagi. Ia coba menelepon Berkap. Tapi tidak jawab. Di messenger pun Berkap tidak membalasnya. Mincil menatap lampu stadion yang menyorotnya tajam. Ia seakan putus asa. Ia kembali menelepon nomor yang mengaku adiknya.

“Hallo.” sapa Mincil.

“Ini siapa?” Mincil bertanya.

“Ini dari kampung Kak” jawabnya.

“Oh.“ Mincil tanpa pikir panjang langsung percaya.

“Pagi tadi kamu yang telfon?” jelas Mincil.

“Aku butuh duit Kak. Bisa kirim 500 ribu.” adiknya langsung menodong  dengan permintaan.

“Untuk apa?” tanya Mincil.

“Untuk berjaga-jaga jika ayah dan ibu sakit Kak.” jawabnya singkat.

Mincil terdiam sejenak. Seakan memikirkan kemana ia harus mencari uang sebesar 500 ribu. Pada tahun 2007 uang sebesar itu cukup banyak. Gajinya pun hanya dibawah satu juta.
Mincil hanya terdiam.

”Tunggu saja. Mungkin besok dikirim.” balasnya.

Telfon di tutup dengan kelegaan karena sudah tahu maksud dari sang adik. Walaupun dengan kondisi kelelahan. Mincil pulang dengan wajah sumringah. Ia berjalan pelan meninggalkan stadion yang mulai ditutup oleh satpam.

Di dalam angkot Mincil masih terpikir tentang Berkap. “Apa mungkin ia ke tempat temannya,” duga Mincil di hati.

***

Dengan mata berat Mincil terbangun dari tidur. Suara alarm yang kencang mengusiknya untuk segera bangun agar menunaikan sholat subuh. Setelah itu ia segera membuka matanya dari kesadaran tidur. Ternyata itu bukan suara alarm handphone. Melainkan suara deringan telepon yang minta diangkat.

“Ia,” jawabnya.

“Kak, ini aku dari kampung.“ balas si Adik dengan sopan.

“Ia ada apa lagi?” sergah Mincil.

“Uang yang kemarin kamu minta sudah Kakak kirimkan melalui Pak Harto. Atas nama Sujadi.” terang Mincil.

“Uang???” seakan adiknya terheran.

“Sejak kapan aku minta uang dengan Kakak. Aku cuma mau memberi kabar kita di sini sehat-sehat saja.” ungkap adik Mincil.

Mincil mulai panik. “Kamu jangan bercanda Dik?” tanya Mincil serius.

“Aku serius Kak.” jawabnya lagi.

Mincil terdiam seribu bahasa. Berarti yang kemarin menelepon menggunakan nomor tanpa nama adalah penelepon gelap yang akan memanfaatkannya. Mincil baru sadar ia tertipu.

(***)

Penulis saat ini menjadi Guru di SD Tahfiz Jamal Rahma dan SD Islam Cikal Cendekia Tangerang.