Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

KOMUA: Kumpulan Kisah Masa Kecil (Seakan Novel-Lakon 4)

Oleh : Agus Sutawijaya.

Lakon 4
Sughau Ujuong

Malam itu adalah malam spesial buatku. Untuk pertama kalinya Ayah akan mendaftarkan ku mengaji bersama teman-teman. Moment yang telah aku tunggu sejak pertama kali ku lihat rombongan anak-anak berangkat nengaji di suatu senja, kala pertama kali kami sampai di kampung ini. Dan malam ini, setelah shalat maghrib berjamaah Ayah akan “menyerahkan” aku secara resmi kepada Tuok Mu’in, guru mengaji kami di kampung.

Jangan pernah bayangkan prosesi pendaftaran formal kawan. Pendaftaran di sini hanya sebuah akad penyerahan seorang anak dari orang tua kepada guru ngaji untuk dididik sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku di surau itu. Dan satu-satunya aturan yang ada adalah Tuok Mu’in itu sendiri. Ia adalah penguasa tertinggi dan pengendali perilaku kami, anak-anak kampung yang sedang lucu-lucunya, bahasa paling sopan untuk menggambarkan betapa degilnya kami semua. Dan semua keputusan Tuok Mu’in bersifat mutlak dan mengikat. Tak ada proses negosiasi. Sebatang rotan sebesar kelingking, sepanjang satu meter menjadi senjata yang selalu ada di tangan kanan Tuok Mu’in.

“Saya serahkan anak saya untuk dididik di surau ini, lillahitaalla” ucap Ayah sambil duduk bersimpuh dan menyalami Tuok Mu’in.

Dan sejak malam itu, aku pun menghabiskan sebagian malamku menimba ilmu agama bersama teman-teman di surau kecil di ujung kampung yang dikenal warga dengan sebutan Sughau Ujuong. Sebenarnya dalam penyebutan logat kampung kami Suwau Ujuong, tapi saya sendiri entah kenapa lebih cenderung menyebutnya “Sughau”, seperti logat orang Rumbio.

Surau kami hanyalah surau kecil. Ukurannya tak lebih dari enam kali empat meter. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang kemudian dilapisi dengan plesteran tipis semen. Sekilas dari jauh akan nampak seperti bangunan bata permanen. Karena daerah “Ujuong” datarannya termasuk sedikit lebih tinggi jika dibandingkan rata-rata kampung kami, jadilah Surau ini dibangun berlantai semen, bukan panggung seperti kebanyakan bangunan di kampung kami.

Tak ada ornamen apapun di dalam surau ini. Sebagai penanda bahwa ini surau hanyalah bangunannya mengarah ke kiblat dan di depan ada mihrab tempat imam berdiri. Di tengah-tengah surau yang tanpa langit-langit itu tergantung sebuah lampu Petromax merek Tingkwon. Sesekali cahaya lampunya berkedip, kadang karena minyaknya yang tersumbat, tak jarang pula karena ada binatang kecil masuk ke tudung lampu, kedipan cahayanya tampak jenaka, seakan turut bergembira melihat kami mengaji.

Lampu petromax adalah sejenis lampu dengan bahan bakar minyak tanah bertekanan yang dihidupkan dengan bantuan spritus sebagai pemantik apinya. Namun tak jarang kami mengaji hanya dengan penerang lampu colok, kami menyebutnya “Palito Togok”.

Sebenarnya Petromax sendiri merupakan merek dagang, namun secara umum semua jenis lampu yang berdesain sama selalu disebut Petromax, meski mereknya Tingkwong atau yang lain. Lazimnya orang kampung kami menyebut odol dengan Pepsodent meski yang dipakai bermerk Close Up. Atau, menyebut motor dengan Honda meski mereknya Yamaha atau Suzuki, pokoknya semua sepeda motor di kampung kami disebut Honda.

Jadwal mengaji kami di Surau ini adalah setiap malam kecuali malam Ahad. Malam Ahad, atau kami lebih mengenalnya Potang Sotu atau sore Sabtu, adalah malam seluruh penduduk kampung mengikuti pengajian di Masjid, kami menyebutnya Wirid. Diadakan petang Sabtu, karena hari Sabtu merupakan hari pasaran warga kampung kami. Dulu, tak ada honor untuk Buya, sebutan kami untuk ustadz yang mengisi pengajian. Biasanya setelah wirid pengajian, Buya didamping beberapa warga lainya akan diajak makan malam di rumah warga. Hari Sabtu adalah hari di mana warga kampung kami masak dengan menu sedikit istimewa dibanding hari lainnya, hal ini akan kuceritakan dalam bagian lain.

Di Surau inilah kami, anak-anak kampung yang degil tak tertahan ini mendapat penyegaran. Kami diperkenalkan huruf demi huruf al-quran. Belajar tajwid dan membenarkan bacaan, serta hafalan surat-surat pendek sebagai bekal kami untuk shalat sunat di rumah, karena kami sedari kecil sudah dibiasakan shalat wajib di masjid atau mushalla.

Aku bersama teman-teman sebaya yang sudah bisa dan lancar membaca al-quran berguru langsung kepada Tuok Mu’in, sementara adik-adik di bawah kami membentuk kelompoknya sendiri dan belajar bersama Mak Ongah Hasna dan Tek Asmah. Keduanya adalah anak Tuok Mu’in. Keluarga ini memang terkenal akan dedikasinya untuk pendidikan agama anak-anak kampung. Jika hari ini kami bisa mengaji dan menjadi manusia yang berahlak, semua itu tak lepas dari jasa beliau.

Setelah shalat Isya, mengajipun selesai buat malam ini, kami berebutan menyalami Tuok Muin. Tubuhnya terdorong ke kiri dan ke kanan karena semua kami berlomba mendatangi beliau untuk berebut menyalaminya, dan beliau dengan senyum tulusnya selalu menerima apapun dan bagaimanapun kenakalan kami. Lampu dipadamkan. Suaranya mendesis persis ban sepeda yang pentilnya bocor. Pintu surau ditutup dan kami bergegas pulang.

Setiap kami membawa “Suluo” sebagai penerang di jalan pulang. Suluo sendiri merupakan daun kelapa kering yang kami ikat dan kami nyalakan sepanjang perjalanan pulang, pengganti obor. Di kampung tak ada penerangan jalan. Jalan yang kami lalui pun hanyalah jalan tanah dengan semak di kanan kirinya. Sering kali kami jumpat binatang melata seperti Ular, Kalajengking dan Lipan melintas di jalan yang kami lalui, karenanya kami selalu membawa Suluo sebagai penerang. Di sepanjang jalan kami sesekali harus mengibaskan Suluo di tangan agar ia tetap menyala. Tak jarang, bara api yang beterbangan ketika suluo dikibaskan hinggap di sarung atau mukena kami, sehingga hampir semua sarung kami bolong.

Malam ini, keinginanku untuk bergabung bersama anak-anak yang kulihat berangkat mengaji bersama dulu menjadi kenyataan. Kawan, banyak sekali keseruan yang ingin aku ceritakan salah satunya “Malam Buka Pakaro”, nanti pasti akan kuceritakan.

Bangkinang, 24 Maret 2021

(***)