Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Janganlah Kau Duduk di Kursi yang Bukan Untukmu

Oleh: Anab Afifi, Konsultan Komunikasi dan Penulis Buku

CIO — Tersebutlah sebuah resto, lapak, warung, atau apalah sebutan sejenisnya, bernama Bostonprice Asia. Warung itu sudah lumayan eksis. Cukup lama: 24 tahun.

Ia menyajikan aneka menu masakan yang dibutuhkan oleh korporasi. Yaitu sajian layanan komunikasi korporasi dan business advisory services.

Sebagai warung masakan tentunya punya chef atau koki. Kebetulan sayalah koki itu.

Sebagai koki, tentu saja tempat saya di dapur. Seorang koki haram hukumnya menceritakan atau menilai masakannya. Betapa pun lezat masakan itu. Kecuali ada yang bertanya resep masak-memasak.

Sebagai koki, saya juga harus tunduk aturan: dilarang nongol di meja pelanggan atau ngintil pramusaji. Pokoknya, ya di belakang saja. Di dapur. Titik!

Kecuali memang pelanggan itu, seringnya karena penasaran atau ingin tahu, meminta kepada pramusaji untuk memanggil koki menemui pelanggan itu.

Contohnya, kemarin siang. Saya harus menghadap Sultan, istilah anak-anak internet marketing sekarang begitu. Ini Sultan bukan sembarang sultan seperti yang sering kita kenal di FB itu lohh. Tetapi presiden direktur sebuah industri gas yang grup usahanya sudah berusia 100 tahun.

Jadi, saya mesti hati-hati dan full ta’zim dalam menjelaskan menu-menu sajian warung saya.

Dulu-dulu, seringnya ya tatap muka langsung. Sejak pandemi ini, seringnya dengan Zoom.

Oh iya. Sebagai koki ya tidak boleh ada urusan dengan pemasaran dan jualan untuk eksiskan diri di depan pelanggan. Terkait hal itu, saya hanya menyiapkan menu masakan yang dibutuhkan orang marketing and sales. Saya harus membuat orang marketing saya sehebat-hebatnya di depan klien-kliennya.

Itulah yang disebut dengan maqom. Tempat di mana seharusnya kamu duduk dalam sebuah bisnis. Betapapun warung itu yang mendirikan atau yang punya saya sekalipun, maqom saya ya tetaplah koki.

Seorang sahabat, sering mendorong saya agar sering-sering mengisi status-status saya dengan informasi menu-menu jualan warung saya. Saya tidak tidak menjawab.

Sekarang bila ia membaca tulisan ini, dia akan tahu alasannya. Alasan yang mendasar.

Tuhan menciptakan tiap manusia sempurna. Makna sempurna ini, diantaranya adalah bagaimana setiap orang telah dibekali keunikan masing-masing. Keunikan yang tunduk pada hukum sunatullah pada tempatnya masing-masing. Itulah maqom.

Dalam bisnis, maqom ini penting. Maqom juga sering disebut dengan kuadran. Pada kuadran mana seorang memilih, ya harus tunduk pada pilihannya itu.

Maka, tidak mungkin setiap orang ber-maqom ganda. Namun, seringkali orang memaksakan diri menduduki suatu kursi yang bukan untuknya.

Bagaimana mungkin seorang yang mengaku sudah bermaqom Sultan, pendiri perusahaan, pemimpin perusahaan itu sekaligus pemiliknya, dengan sadar mengiklankan dirinya sebagai seorang sales?

Bahwa, seorang pemimpin bisnis mesti jago jualan dan ahli seluruh rangkaian proses bisnisnya, tidak harus demikian.

Maka, lahirlah guyonan singkatan CEO itu adalah ‘Chief Everything Officer’. Eksekutif di segala bidang. Makhluk segala bisa.

Meski pada tahap memulai bisnis seorang pionir akan melakukan semuanya, namun tidak semua hal diceritakan kepada publik bukan?

Saya sering terkesima bila membaca iklan sebuah seminar anak milenial sekarang yang gegap-gempita. Pembicara disebut dengan gagah disebut sebagai founder ini CEO anu, dan itu. Dan itu dinyatakan sendiri oleh yang bersangkutan dengan bahasa-bahasa dan kalimat yang malah menurunkan kelas atau maqom yang hendak ia bangun.

Dalam ilmu marketing itu disebut sebagai ketidak singkronan antara konten dan konteks.

Ala kulli haal. Some how. Setiap orang happy. Akan baik-baik saja hidupnya jika:

1/ mengenali apa kunikan dirinya;

2/ tahu maqomnya di mana untuk meletakkan keunikan dirinya itu;

3/ tidak memaksakan diri untuk menduduki kursi yang bukan maqomnya.

Nah, siapakah Anda?

***