Oleh: Muh. Nursalim
(CIO) — Ada fenomena baru. Orang yang meninggal karena Covid-19 dishalatkan tanpa diturunkan dari ambulance. Jama’ah shalat jenazah dimana mayat tetap di dalam mobil. Ini dulu terasa aneh tetapi sekarang sudah biasa dan tidak ada masalah.
Tetapi kemudian muncul lagi kejadian. Posisi masjid atau rumah duka ada di sebelah barat jalan, sementara mobil ambulance diparkir di halaman atau jalan dan orang-orang melakukan shalat jenazah di dalam masjid dan di rumah padahal mayat ada di belakang mereka.
“Bagaimana hukum shalat jenazah seperti itu” tanya seseorang lewat media sosial.
“Wah, maaf sebentar saya mau belajar dahulu. Karena ini kasus ibadah yang belum pernah saya temui” jawabku singkat.
Untung di rak buku ada kitab Al fiqhu Islami wa Adillatuhu karya Wahbah Zuhaili. Seperti tergambar pada judulnya, kitab ini mengulas tentang berbagai hukum fikih dengan disertai dalil-dalilnya. Yang juga menarik penulisnya memberi penjelasan satu masalah dari beberapa mazhab. Karena itu bukunya jadi tebal-tebal. Ada sepuluh jilid dan setiap jilid rata-rata 900 halaman.
Jadi seperti makan prasmanan. Hadirin dipersilahkan mengambil menu yang disukai. Pendapat dari para mujtahid digelar lebar sehingga pembaca memperoleh informasi hukum bukan hanya dari satu mazhab.
Untuk kasus pada tulisan ini, terdapat ulasan pada juz 2 halaman 440. Judul sub babnya adalah syarat-syarat mayit wajib dishalati.
Ada enam syarat jenazah itu wajib dishalati oleh kaum muslimin.
1. Jenazah itu seorang muslim, walaupun pelaku dosa besar ia wajib dishalati. Jika non muslim tidak boleh dishalati.
2. Hendaknya jenazah itu utuh atau sebagian besar anggota badannya ada. Jika hanya potongan tangan atau cuilan gigi tidak boleh dishalati.
3. Hendakya jenazah itu hadir dan di atas tanah serta berada di depan orang yang shalat saat menghadap kiblat. Ini menurut mazhab Hanafi. Ulama ini tidak membolehkan shalat di mana jenazah tidak ada atau di atas kendaraan atau di belakang orang yang shalat. Maka bagi mazhab Hanafi tidak ada ajaran shalat ghaib. Sebab shalat ghaib itu keberadaan jenazah tidak di lokasi tempat shalat.
Masih menurut mazhab Hanafi adanya hadis tentang Nabi bersama sahabat menshalati orang Najasyi yang berada di Habasyaah adalah kasuistik. Dalil tersebut tidak dapat dipakai untuk melakukan shalat ghaib pada orang lain.
Tetapi menurut mazhab Maliki syarat jenazah ada di depan orang yang shalat itu hanyalah sunnah. Itu artinya, jika posisi jenazah ada di belakang atau di samping orang yang menshalati, shalat jenazahnya tetap sah.
Ulama Syafiiyah dan Malikiyah juga membolehkan shalat jenazah di mana mayat ada di gendongan orang atau di dalam mobil ambulance. Tidak harus terlihat seperti yang disyaratkan mazhab Hanafi.
4. Hendaknya mayat itu pernah hidup. Maka janin yang keluar dari rahim seorang ibu tetapi sudah tidak bernyawa maka tidak wajib dishalati.
5. Hendaknya jenazah itu sudah disucikan atau ditayamumi.
6. Hendaknya jenazah itu bukan orang yang mati syahid. Sebab menurut jumhur ulama, orang yang mati syahid itu tidak perlu dimandikan, tidak perlu dikafani dan tidak perlu dishalati. Mereka langsung dikuburkan dengan memakai pakaian yang dikenakan saat kematiannya. Ini bagi yang syahid di medan tempur.
Adapun mereka yang mendapatkan kesyahidan dengan kriteria lain perlakuannya seperti orang mati biasa. Sebab di samping orang yang mati syahid di medan perang ada jenis mati syahid lainnya, sebagimana sabda Nabi Saw.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ ، وَالْمَبْطُونُ ، وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ ، وَالشَّهِيدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, bahwa orang yang mati syahid itu ada lima. Yaitu, orang yang mati karena wabah, orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati karena tenggelam, orang yang mati karena tertimpa bangunan dan orang yang mati di jalan Allah (Hr. Bukhari)
Pada hadis riwayat Tabrani ditambah wanita yang mati karena melahirkan dan orang orang yang mati karena terbakar.
Sudah terjawab masalah yang belakangan muncul di masyarakat. Bahwa menshalati jenazah dengan posisi mayat di belakang orang yang shalat itu boleh. Tetapi sunnahnya memang jenazah itu ada di depan orang yang shalat.
Kondisi wabah seperti ini sering kali idealitas beribadah tidak dapat dilakukan. Tetapi hukum Islam itu sangat luwes sehingga tetap saja ada jalan keluar untuk kasus yang tidak biasa.
Melaksanakan fardhu kifayah itu penting tetapi hifdzu nafs (menjaga jiwa) itu juga sangat penting. Karena itu jika karena suatu kondisi tidak memungkinkan untuk memperlakukan jenazah secara wajar maka boleh diperlakukan secara minimalis. Dengan catatan, masih dalam koridor syar’i.
Wallahu’alam.
(***)