JAMU DARI SAHABAT DAN DEBAT
Oleh: Mastiardi, Pelaku UMKM.
Hari Keenam Isolasi.
Sore hampir tenggelam dan mulai merunduk di ufuk barat, saat saya menerima telpon dari seorang sahabat. Ia mau mengantarkan jamu ke rumah.
Setelah menanyakan kabar saya, kondisi istri saya, serta keluarga, lalu saya ucapkan terimakasih atas kebaikannya itu sebelum kami mengakhiri percakapan.
Sebotol jamu dalam kemasan air mineral 600ml yang saya tidak akan nyinyir untuk menanyakan terbuat dari apa saja jamu itu. Diterima kru sebelum istirahat sore.
Kebaikannya selama ini cukup membuat saya menuruti saja anjurannya untuk meminum jamu itu bersama istri saya.
Hari ini saya ke Puskesmas untuk melakukan swab. Saya berangkat dengan APD yang ada, pelindung muka, masker dan tidak lupa saya kantongi satu botol handsanitizer kecil yang saya ambil dari atas meja kerja sebelum berangkat.
Sampai di pintu, istri saya menyarankan untuk menambah masker menjadi dua lapis, saya balik lagi dan mengambil satu masker dalam kotak di samping tivi.
Begitu patuhnya saya sekarang setelah orang yang saya cintai itu terkena wabah ini. Juga kekhawatiran terhadap anak-anak akan tertular.
Saya mengetatkan semua prosedur di rumah, seperti anak-anak tidak saya bolehkan keluar kamar dulu, itu pun kalau mau keluar kamar harus sampai ruang tamu. Selebihnya harus ada izin dari pihak otoritas.
Begitulah keyakinan kita akan sesuatu akan menguat saat sesuatu itu terjadi pada kita ataupun keluarga, meski saya juga cukup disiplin sebelumnya untuk selalu cuci muka, cuci tangan sebelum masuk rumah dari setiap kegiatan sehari-hari, lalu baru menciumi si bungsu.
“Jum’at nanti hasilnya ya pak,” kata petugas puskesmas setelah sampel saya diambil.
“Bagaimana kondisi ibuk pak?” tanya nya lagi, yang setelah saya jawab, berderet anjuran medis disampaikannya dengan penuh perhatian bertubi-tubi seperti peluru keluar dari senapan otomatis.
Ada lima petugas, satu berpakaian lengkap seperti astronot, satu tukang dokumentasi dan tiga lagi mencatat administrasi di meja pemeriksaan berpakaian putih dan APD. Mereka menjawab hampir serentak saat saya pamit dan mengucapkan terimakasih sebelum menuju parkiran mobil.
Semalam pihak kantor istri masih meminta lagi agar ke rumah sakit, kami sebenarnya sudah mau menurut saja anjuran bagian yang mengurusi karyawan tersebut. Persoalannya, ruang isolasi rumah sakit di kota ini telah penuh.
Jadi diminta ke ibukota provinsi di Pekanbaru. Telah disediakan sebuah hotel khusus karantina karyawan bagi gejala ringan yang disewa oleh pihak perusahaan.
Tentu kami kembali berfikir, karena jaraknya dari tempat tinggal 100km lebih. Tidak mungkin dibawa pakai ambulan. Jadi mau berangkat pakai apa? Masa’ menyetir sendiri, sementara diantar pasti juga tidak dibolehkan.
Oh ya, tadi pagi saya tidak sempat menyiram tanaman, maka sebelum keburu azan magrib saya keluar rumah untuk sekalian menghirup udara segar sambil memainkan selang di taman.
Malam nya, antara pihak kantor dan istri saya terjadi lagi perdebatan yang cukup alot. Kantor bersikeras agar istri saya di karantina ke Pekanbaru sesuai protokol kesehatan. Namun hanya memberi pilihan pakai ambulan.
Tentu istri saya menolak. Dengan alasan ia pemabuk berat. Perjalanan 150km untuk status OTG (Orang Tanpa Gejala) atau gejala ringan disuruh ngapain dalam ambulan selama tiga jam lebih perjalanan?
Saya mengetahuinya dari screenshoot percakapan WA yang dikirim istri saya ke WA. Kami memang lebih banyak berkomunikasi via telpon atau WA. Dari pada berbicara dengan volume tinggi antara penghuni kamar dan penghuni ruang tivi.
Kejengkelan saya mulai muncul pas melihat kakunya aturan dan standar yang diterapkan kantor nya tersebut. Karena tidak lagi bisa membedakan status pasien terinfeksi antara dengan gejala berat, gejala ringan dan OTG.
Bahkan sudah kami sampaikan bahwa kami telah sangat ketat menerapkan protokol kesehatan. Lihat saya, sudah seperti kepala satgas paling cerewet di rumah ini.
Mulai dari kantor cabang sampai kanwil yang menelpon. Tidak ada satu utusan pun yang datang ke rumah kecuali surat dan telpon setiap saat. Intensitas telpon dari kantor yang terus mendesak tersebut telah membuat kondisi psikologis istri saya memburuk. Panas suhunya jadi naik.
Saya melihat negosiasi yang buruk dari sebuah kantor dengan label bank BUMN terbesar itu. Begitu kakunya menyikapi sesuatu dengan tidak mencermati kontek, kondisi dan situasi.
Sempat ditakuti-takuti bahwa kalau tetap tidak mau, akan dikenakan salah satu pasal pelanggaran sampai akan di datangkan satgas covid ke rumah. Padahal kami hampir setiap hari berkomunikasi dengan petugas satgas covid dari pihak puskesmas dan bahkan dengan ramah waktu saya mau pulang selesai swab menanyakan kondisi istri saya.
“Terus jaga kontak dengan yang lain dan ibu harus isolasi dulu di rumah ya pak.” Katanya.
Kejengkelan saya memuncak saat pihak perusahaan mengatakan dengan terus mendesak istri saya untuk dikarantina sesuai standar yang sampai saat ini belum ada solusi dan jalan tengah untuk transportasinya.
Ketika mereka mengatakan “demi menjaga reputasi perusahaan”. Cukup sampai di sini saya tuliskan tentang itu. Kalau diperturutkan catatan ini bisa panjang mengalahkan lembar Omnibuslaw.
Begitulah kebanyakan top manajemen hanya memikirkan reputasi, mengabaikan subtansi dan kondisi asalkan aturan tegak, perusahaan tidak disalahkan. Yang penting reputasi selalu baik, meski dengan logika-logika yang lunglai.
***
Biodata Penulis:
Mastiardi, S.T
Dilahirkan di Lubuk Bendahara, 27 Juni 1983. Pernah menempuh pendidikan S1 Arsitektur UII Yogyakarta (Tamat 2006)
Ada beberapa karya-karyanya yang belum pernah dipublikasi, diantaranya:
Cerpen
- Selamatan Salamek
- Penyakit Lamin
- Hari Eksekusi
- Pendaratan di Paris
- Barudin Hito
Puisi
- Robohnya Tebing Sungai Kami
- Kursi Langit
- Mendayung Masa
Saat ini Mastiardi, S.T yang mantan Bankir ini berprofesi sebagai penjual pulsa, yang bergerak di UMKM dengan bendera bisnis Sakti Network (SN). Ia juga tercatat sebagai anggota Pegiat Literasi Rokan Hulu (PLR) dan Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kabupaten Rokan Hulu.