Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen: Tidak Buruk Seutuhnya

(CIO) — Desir angin menghembus lembut di malam yang tak lagi sesunyi dulu. Dahulu penuh dengan suara jangkrik yang terus mengoceh sampai datang waktu ayam menyuarakan tanda pagi sudah datang.

Tapi kini di kota Palbatlas, semua telah berubah drastis semenjak badai-badai setan berbalut hiburan. Tak sedikit yang telah terpedaya dengan badai-badai yang sistematis itu, lebih-lebih dari kalangan wanita, kebanyakan mereka masuk ke jebakan sistematis ini, bahkan sengaja menceburkan jiwa dan raganya, rela seutuhnya direngkuh olehnya, menjijikkan!

Dan dari kalangan pria pun juga ada yang sudah ikut tenggelam ke dalam badai-badai setan berbalut hiburan yang penuh jebakan sistematis. Sekarang, apakah kita salah satu di antara yang terjebak atau sadar secara utuh merelakan jiwa dan raga ikut bersama badai itu?

Palbatlas, kota yang dulunya asri dipenuhi budaya setempat yang sangat melatih penduduknya untuk hidup mandiri, rajin, tidak jorok, semangat dengan warisan leluhur yang suci, seperti: tidur maksimal bagi seluruh warga jam 9 malam –kecuali bagi yang sedang mengulang dan mengkaji ilmu–, bangun jam 3 pagi, saling peduli sesama, dan banyak lagi.

Tahun 1933, pergerusan itu dimulai, perlahan tapi konsisten, hingga akhirnya kini banyak para remaja, pemuda, pemudi, bahkan sebagian para Ibu rumah tangga yang mulai hancur oleh gelombang semu yang terus-terusan membayang-bayangi pikiran, tindakan, kehidupan mereka. Banyak, terlalu banyak yang telah terjangkiti “bayang-bayang semu” itu.

Seorang anak remaja bernama Jangilawati, ia dulunya santun, rajin, bersih, kini semua itu berubah, remaja perempuan itu sudah terlalu sibuk dengan badai-badai setan yang berbalut hiburan. Pikirannya sudah agak ngaco, bahkan hampir hancur, hanya seperti selembar kertas tipis yang mensekat antara utuh dan hancur pada dirinya. Orang tuanya pun dibuat stress dengan perubahan drastis anak perempuannya. Mereka benar-benar dibuat kewalahan dengan tingkah lakunya yang hancur dan melenceng sangat jauh dari moral para leluhur Kota Palbatlas.

Anak itu kini berubah menjadi pemalas, jorok, bau. Padahal dulunya ia sangat rajin mandi jam 3 pagi, tidur malam maksimal jam 9 malam, kecuali bila ada tugas sekolah. Sekarang Jangila bila berbicara pun kasar, tak peduli siapa lawan bicaranya, kecuali bila dirinya berhadapan dengan laki-laki super ganteng, ia akan menyantunkan perilakunya. Hari-hari yang dijalaninya hanya tidur tiduran, makan makan jajan, ngomongin artis yang sedang naik daun, terus terusan membicarakan artis, selebgram, youtuber-youtuber ganteng dengan temannya di kota Palbatlas itu. Padahal Jangila ini tidak ada mukanya, maksudnya ia tidak punya tampang, wajahnya jelek, jorok, pemalas, berkata-kata kasar dengan kedua orang tuanya.

Tiada daya dan upaya kecuali bila sang Pencipta punya kuasa, maka segalanya bisa berubah, Ayah Ibunya pun tak lelah dari mendo’akannya tiap waktu tanpa jemu. Luar biasa! Badai-badai setan yang berbalut hiburan itu, kebiasaan baik yang biasa dilakoninya kini dihempaskan begitu saja, dibuang jauh ke lautan tak berpenghuni. Kalau saja Jangila kembali ke kebiasaan para leluhurnya dulu, seperti, bangun jam 3 pagi, tidur maksimal jam 9 malam, rajin, saling peduli sesama, cinta kebersihan, santun ketika beretika di mana pun kapan pun maka bisa dipastikan jeleknya akan tertutupi dengan sikap-sikap yang telah diwariskan turun-temurun oleh para leluhur kota Palbatlas.

Ayah Ibunya yang telah lama menunggunya agar segera tidur pun mencapai puncak batasnya, dihampirinya Jangila oleh Ibu, “Jangila sayang … Tidur ya Nak nanti lagi leklekannya,¹ Ayah dan Ibu udah ngantuk, ini udah jam 09.30 malam.” Ibunya membelai lembut rambut putrinya yang ikal itu, sangat lembut, pelan, dan berhati-hati sekali, karena kalau agak cepat sedikit temponya bisa-bisa tangan Ibu terselip di tumpukan rambut keritingnya yang lebat dan tebal.

“Ibu dan Ayah duluan aja, Jangil belum mengantuk.” Ia tetap terus fokus dengan badai-badai setan yang berbalut hiburan itu, matanya berbinar-binar seolah mengantuk belum layak mendatanginya malam itu.

Ibu yang duduk di samping tempat tidur Jangila terus memperhatikan kemerosotan yang semakin hari semakin menjadi-jadi, dilihatnya anak perempuan itu dalam-dalam, rasa sesak pun datang bukan hanya sekali, tapi sudah berkali-kali menyusup masuk ke dalam sanubari Ibunya. Apa daya dan kuasa, Ibunya tetap tak bisa bersikap tegas apalagi keras kepada anak semata wayangnya itu.

Ayah yang sedang asik membaca buku pun merasa risih dengan kelakuan anak perempuannya, meski ia membaca, tapi jiwanya memperhatikan percakapan ringan yang terjadi antara Ibu dan Jangilawati.

Ayah pun datang menghampiri Jangila, “Jangila!” Dengan nada yang agak meninggi. “Iya a … A … Y a h …. ” Ia segera menatap Ayahnya.

“Lupakah dirimu dengan ajaran leluhur kota Palbatlas?” tanya Ayah untuk memastikan, apakah otak anak itu masih berfungsi dengan baik.

Jangila hanya menatap diam ayahnya, matanya sedikit berkedip-kedip seperti orang kecacingan. Lama mereka berdua saling tatap, Ibu yang sedang duduk bersikap seakan tahu, kalau suaminya menuju tahap marah dan ini pasti bahaya, Ibu hanya pasrah bila Ayah masuk ke mode itu.

“Aku ingat Yah, hanya saja …. ” Jangila melempar pandangannya ke arah kanan, sambil menghembuskan nafas jemunya atas ocehan sang Ayah.

“Jangila, Jangila entah apa yang merasukimu!? kita itu sudah tidak boleh ikut-ikutan budaya luar kota Palbatlas ini, kamu itu kenapa terlalu mudah terpengaruh dengan budaya-budaya setan! Ha! Ayah seperti ini bukannya Ayah benci kamu, karena sayang dan cintalah Ayah bersikap seperti ini! Sekarang tidur nak, tak ada nanti-nanti lagi, sempat kamu bilang nanti! Ya kamu sudah sangat tahu apa yang akan Ayah perbuat!” Dengan tatapan mata yang terhunus tajam ke anak perempuannya yang mulai keras kepala itu.

Jangila segera beranjak dari tempat tidurnya, lalu menuju ke kamar mandi, ia lakukan apa yang telah menjadi warisan budaya dari kota Palbatlas itu, ia membersihkan gigi, mencuci muka, tangan, kumur-kumur, membasuh rambut, telinga, dan kaki. Kemudian ia segera mengambil selimut dan mengebaskannya hingga debu-debu yang menempel berhamburan melompat dari selimut merah jambu gambar bunga mawar miliknya. Tanpa kata direbahkan tubuhnya lalu menutupkan selimut merah jambu gambar bunga mawar itu.

Sedang Ayah yang masih mematung dengan tatapan tajam yang menghunus, matanya masih belum pindah dari menatap anak perempuan semata wayangnya. Lalu Ibu menggapai tangan Ayah dengan lembut dan ditariknya, dengan berkata, “Sudah Yah, suatu saat nanti ia juga pasti akan berubah dan kembali seperti dulu, sudah Yah.” Suara Ibu sangat hati-hati dikeluarkan, itu pun dengan intonasi paling rendah dan halus, agar mampu meredam marah Ayah yang mulai meningkat bertahap.

Mata Ayah kini kembali dengan tatapan normal, suara intonasi halus Ibu berhasil meredam marahnya Ayah. Lalu Ibu merangkul pinggang Ayah dengan mesra, sambil berbisik di dada Ayah, “Yah, _Jangila itu tidak buruk seutuhnya._ suatu hari nanti, aku yakin, dia akan kembali ke ajaran leluhur kita.”
Ayah hanya tersenyum sinis sebab sisa marahnya belum betul-betul beranjak pergi.

(***)

________________________
¹melek terus, berlagak sibuk seperti mahasiswa yang terburu-buru menyelesaikan skripsi yang sudah sangat dekat batas waktunya.

=============

@Rtd Selasa 20 Juli 2021

Penulis: Halub