Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen: Elegi Esok Pagi (5)

Oleh: Agus Sutawijaya.

(CIO) — Sebenarnya bukan maksud hatiku untuk lancang membuka dan membaca buku harian sahabatku, aku hanya kebingungan bagaimana aku harus MENGHUBUNGI keluarganya. Aku telah mengenalnya dua tahun lebih. Ia adalah sahabat yang menyenangkan, abang yang peduli dan tempatku bertanya perkara agama dan kehidupan. Tapi, aku sama sekali tak tahu bagaimana kehidupan pribadinya. Siapa keluarganya, karena ia tak pernah bercerita.

Ketika aku membawanya ke RS Siloam minggu lalu, aku menandatangani semua dokumen terkait tindakan medis. Masalah biaya aku tak ada kendala, karena Herman memegang polis asuransi kesehatan dari perusahaan tempatnya bekerja. Namun aku tak tahu harus menghubungi siapa. Dalam telepon genggamnya hanya ada tiga kontak saja, aku, ibu kos, dan pak Hendro Kantor, yang aku yakin adalah atasannya di Kantor. Sungguh aku tak habis pikir bagaimana mungkin di zaman seperti ini ia hanya menyimpan tiga kontak saja dalam telepon pintarnya. Tak ada media sosial lain selain whatsapp, tak terbayangkan sepinya hidup sahabatku ini.

Tak terasa hampir dua jam aku membaca tulisan tangannya di buku agenda itu. Air mataku mengalir deras, membayangkan bagaimana kehidupan telah begitu tidak adil padanya. Bagaimana ia harus mengalami kepahitan demi kepahitan di sepanjang umurnya. Dan membayangkan bagaimana ia menyembunyikan semuanya dari orang lain. Barulah kupahami, mengapa ia begitu menghiba di setiap sepertiga malam, memohon kepada Rabb nya. Mencurahkan segala isi hatinya. Melepaskan segala kerinduan akan orang-orang tercintanya.

Aku tak menemukan petunjuk apapun dalam buku ini. Namun kutemukan dua lembar foto yang terselip diantara lembaran kisah kelam kehidupannya. Satu lembar foto bayi yang sedang tidur, dan satu lagi foto sepasang anak kecil yang sedang duduk di belakang sebuah meja. Di depan mereka nampak sebuah kue ulang tahun berbentuk hati dengan lilin angka tiga di atasnya. Gadis kecil berambut ikal dengan senyum lebar nampak memegang tangan abangnya. Seorang bocah lelaki sekitar usia 5 atau 6 tahun yang duduk di sampingnya. Tak ada keterangan apapun menyangkut dua foto ini. Sampai di sini aku merasa dihadapkan pada jalan buntu. Tak ada jejak apapun yang membawaku pada keluarga sahabat malangku ini.

Sebuah ide muncul dipikiranku. Bagaimana jika aku mencari informasi melalui media sosialku. Siapa tahu melalui teman-teman di dunia maya aku bisa mencari tahu atau paling tidak mendapatkan petunjuk tentang masa lalu sahabatku ini. Mulailah kubagikan dua foto ini di beberapa grup yang aku ikuti. Mulai dari grup menulis, grup hobi bunga dan bonsai, grup pecinta kucing dan lain-lain. Kuhitung, tak kurang dari 43 grup telah kubagikan. Aku berharap satu di antaranya akan membawaku pada kehidupan masa lalu Herman.

Tiba-tiba telepon genggamku berdering, sebuah panggilan masuk dari RS Siloam, tempat Herman di rawat, memintaku untuk segera ke sana. Secepatnya aku menyambar kunci mobil yang sedari tadi tergeletak malas di atas kasur dan bergegas menuju rumah sakit melalui jalanan ibu kota yang padat merayap. Di sebuah persimpangan kulihat seorang bocah perempuan yang menggendong seorang bayi yang tertidur lelap dalam pelukannya. Ia berjalan menghampiri setiap mobil yang berhenti, mengetuk kaca dan mengulurkan sebuah ember plastik kecil berwarna orange. Bagaimana bisa seorang bayi, bisa tertidur lelap di bawah terik matahari ibu kota, sementara aku sendiri sudah memutar tombol pendingin ruangan mobilku di posisi maksimal, masih saja merasakan hawa panas ketika kaca mobil ku turunkan demi mengulurkan selembar rupiah bergambar Pattimura pada gadis kecil itu. Aku jadi teringat sebuah liputan di salah satu stasiun televisi, bagaimana anak-anak kecil diekploitasi bahkan dicekoki obat tidur dosis tinggi agar ia tertidur di bawah terik matahari. Ah, kadang hidup memang tak adil bagi sebagian orang pikirku

(***)
___________________________
Gaes, itu foto ponakan kecilku, bukan foto yang di diary Herman ya… Namanya panjang banget, susah ngapalnya Shabira Alona apa… gitu, aku cukup memanggilnya Intan Manjo.

#kwa
#nulisaja

Penulis: Agus SutawijayaEditor: M Syari Faidar