Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen: Elegi Esok Pagi (2)

Oleh: Agus Sutawijaya.

(CIO) — Kamar ini hanya kamar berukuran kecil, sekitar dua kali dua setengah meter. Warna dindingnya hijau, mirip ruangan kantor partai berlogo ka’bah. Sebuah jam dinding tergeletak di lantai, sejak diganti baterai minggu lalu, belum sempat ia dikembalikan ke tempatnya bergantung. Tak ada dipan, hanya ada kasur busa tipis dengan sepasang bantal dan guling. Awalnya hanya ada bantal, namun Herman kasihan melihat bantal itu kesepian dan kemudian dicarikan pasangan.

“Kasian bantalnya jomblo” kelakarnya.

Di sudut kamar sebuah meja plastik kecil keberatan menanggung beban buku yang bertumpuk di atasnya. Sebuah sajadah dan handuk tergantung rapi pada hanger plastik yang menempel di dinding. Kipas angin kecil yang terpasang di dinding dengan sabar menengok ke kiri dan ke kanan, meski ia tahu tak ada yang akan menyeberang. Sesekali terdengar deritnya menyayat hati, kelelahan berputar mengusir udara panas ibu kota yang lengkap dengan pengapnya.

Dulu Herman kutawarkan untuk tidur sekamar denganku, fasilitas di kamarku sedikit lebih lumayan, dengan sebuah pendingin udara yang bertengger jumawa. Tapi ia menolak, dan memilih menempati kamar belakang di rumah kos ku. Sebuah tumah kos dua kamar yang berada di lantai dua gedung rumah kos di Jl. Balap Sepeda, tak jauh dari Velodrome di daerah Rawamangun, Jakarta Timur.

Di bawah bantal, kutemukan sebuah buku agenda milik sebuah bank swasta nasional. Tak ada data-data penting yang bisa kutemukan di dalamnya. Tak satu kontak keluarga pun ada di dalam daftar no teleponnya. Buku itu lebih berisi curahan hati sahabatku itu selama ini, sahabat yang selama ini menutup rapat masa lalunya.

“Hanya karena masa lalu menyentuh kita, bukan berarti kita harus selalu melihat ke belakang.” Ucapnya padaku ketika suatu kali aku mencoba bertanya tentang masa lalunya.

Dari buku “diary” nya, aku jadi sedikit tahu siapa sebenarnya sahabat yang sangat ku kagumi ini. Di balik sosoknya yang ceria dan menyenangkan, ternyata seumur hidup ia telah menanggung derita yang tiada taranya.

Herman Felani, demikianlah ayahnya memberikan nama buatnya. Mungkin beliau terinspirasi atau ngefans banget sama sosok artis Indonesia era 80-an itu. Ia adalah anak tunggal. Lama waktu yang dihabiskan kedua orang tuanya untuk bisa menimangnya. Namun petaka dimulai justru di hari kelahirannya ke dunia. Ibunya, meninggal karena pendarahan hebat. Dan sejak itu, ayahnya sangat membenci buah hati yang sangat dinantikannya. Ia menganggap, Hermanlah penyebab kematian istri yang sangat dicintainya. Herman selanjutnya berada dalam asuhan nenek dari pihak ibu.

Tiga tahun dalam pelukan kasih nenek, Herman kecil pun harus menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini mengasihinya sepenuh hati harus kembali ke haribaan Ilahi. Sampai saat itu ia belum tahu apa artinya duka. Dalam bukunya ia hanya menulis kalau ia ikut menangis karena melihat orang lain menangis di sisi nenek yang tertidur pulas.

Setelah kepergian sang nenek, sahabatku yang malang itu kemudian dijemput ayahnya untuk tinggal bersama keluarga barunya di Medan. Tiga tahun pula lamanya ia tinggal bersama ayah, ibu dan seorang saudara tirinya. Meski ia kerap diperlakukan tak baik oleh ibu tiri dan ayah kandungnya, namun adik tirinya sangat menyayanginya. Kerap kali adik perempuannya itu menangis memeluknya dan memohon agar ibunya berhenti memarahi atau bahkan memukulnya. Berdua mereka menangis sesenggukan di sudut kamar mandi ketika Herman kecil mendapat hukuman dari ibu tirinya.

Kemalangan demi kemalangan rupanya terus mengikuti sahabatku ini. Saat mengantarkannya ke sekolah, ayahnya terlibat kecelakaan. Sebuah truk tronton mengalami rem blong pada satu persimpangan lampu merah yang sedang ramai. Banyak korban jiwa berjatuhan, salah satunya ayahnya. Herman juga terluka parah di bagian kaki, namun Allah masih memberinya kesempatan hidup, yang belakangan sangat disyukurinya.
_________________________________

Maaf gaes, stop dulu, dokternya masuk mau periksa.

Silahkan dibully gaess, dan tebak kira-kira akan berujung seperti apa kisah ini…. ada give away buat koment terbaik dan sesuai dengan alur ceritanya…

Buruan, kapan lagi koment di FB bisa berhadiah Umroh*

#kwa
#nulisharian
#nulisaja

(***)

*bagiyangmampu

Penulis: Agus SutawijayaEditor: M Syari Faidar