Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen: Dari Dapur Rumah Nenek (Bagian-4)

Oleh: Mastiardi, Entrepreneur.

(CIO) — Siang, setelah proses pemakaman nenek, di rumah telah siap makan siang. Tetanggalah yang menyiapkan semua. Tradisi baik sebagai orang Muhammadiyah yang tidak mau merepotkan yang sedang berduka. Termasuk tidak ada tahlilan atau yasinan malam pertama, kedua, ketiga, ketujuh dan seterusnya.

Jika ada yang ngelayat datang bersilaturahmi seperti biasa. Yang baca Alqur’an tentu boleh-boleh saja. Bahkan ada yang Non Muhammadiyah yang mau baca Yasin juga tidak dilarang. Yang jelas tidak ada hidangan atau bungkusan apalagi bingkisan seperti tradisi yasinan pakai hidangan bagi jama’ah, yang ada pelayatlah kadang yang membawa makanan, atau tetangga yang menyediakan cemilan.

Sewaktu hidup, nenek dengan rinci menerangkan hal ini kepada saya. Nenek adalah orang Muhammadiyah tulen.

Pada kesempatan ini tentu saya tidak akan menceritakan hal itu. Saya ingin bercerita, lagi-lagi tentang Andi yang siang itu masih kotor oleh lumatan tanah kuburan sehabis ikut menggali dan menimbun tanah saat prosesi pemakaman nenek.

Siang itu saya tertarik terhadap beberapa hal dari Andi. Usai makan kami duduk di bawah tenda di halaman depan, saya, Pijon, Hendrik, Andi, Enda, Samsul, Nawan dan banyak lagi yang lainnya.

Andi bercerita soal usaha laundry nya yang sedang mengalami persaingan ketat. Tarif perkilonya tidak bisa melewati harga 2.000 rupiah karena pesaing rata-rata membuat tarif segitu.

Saya mendengarkannya dengan seksama karena memang sudah lama tidak mendengarkan bualannya. Kata Andi, pendapatan Laundry hanya banyak nombok, apalagi kalau terjadi kesalahan oleh anggotanya. misal gosong, atau tulisan koran alas setrika nya nempel di pakaian konsumen. Itu harus diganti.

Ia mengembalikan uang pecahan lima ribu sebanyak tiga lembar setelah saya minta belikan rokok untuk teman-teman di sana. “Tumben, uangnya balik Ndi”, tanya saya.

“Ya, itu strategi sih, berharap disuruh beli lagi” jawabnya santai. Dan melanjutkan kalimatnya, “Kalau kesempatan itu terjadi, jangankan kembaliannya, rokoknya pun tak kan datang lagi!” diiringi tawa semua orang yang mendengar komentarnya.

Andi ini memang suka melawak. Selalu saja lawakannya membuat kami terpingkal-pingkal, dulu, pernah diberi rokok dan Andi diminta melawak. Dan lawakannya berhenti kalau rokoknya habis. Mulai lagi jika asap mulai mengepul kembali.

Rasanya hanya sebentar. Azan zuhur mau berkumandang. Andi berdiri dan menanyakan letak peralatan-peralatan yang mau diantar, lalu ia mengantarnya dan langsung narik pickup, lagi ngejar trip yang tertunda karena ikut proses pemakaman nenek. Andi memang masih rajin saya lihat saat ini dan ia juga Pelaku UMKM, meski ia masih terus menombok untuk usaha laundry nya tersebut.

Andi tak nampak lagi batang hidungnya usai Zuhur. Ia bercerita baru menghabiskan beberapa batang rokok saja dan pergi mengantar ceret, tikar, dan peralatan mandi jenazah ke mesjid dan ke kelompok PKK Dusun.

Kalau rokok itu dianggap upah Andi ngelawak, maka bayaran Andi saat itu jauh naik dibanding waktu kami SMP dulu. Saya rasa Andi pun sudah pantas berada di Panggung Stand Up Comedy. Agar cerita ketekorannya di usaha laundry menjadi bahannya melawak di atas panggung.

(***)

 

Biografi singkat penulis:

Mastiardi yang mantan Bankir ini berprofesi sebagai penjual pulsa, yang bergerak di UMKM dengan bendera bisnis Sakti Network (SN). Ia juga tercatat sebagai anggota Pegiat Literasi Rokan Hulu (PLR) dan Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kabupaten Rokan Hulu.