Oleh: Mastiardi, Entrepreneur.
(CIO) — “Nanti malam ada konser band di pasar Rumbio” kata Andi mengabarkan kepada penghuni markas. Tentu itu adalah hiburan yang selalu kami tunggu. Karena nonton di bioskop Dwi Karya yang satu-satunya ada di tempat kami wsktu itu tidak boleh anak remaja masuk.
Maka konser band adalah hiburan yang kami tunggu. Biasa kami mulai pusing mencari uang tiket masuk. Kalau kabarnya agak cepat, kami akan mencari upah dari berbagai pekerjaan siang sampai sore. Misal membantu panen ikan patin, memuat karet, dan pekerjaan buruh lainnya. Yang tidak pusing tentu Pijon. Ia punya armada becak yang sangat produktif menghasilkan uang baginya melayani jasa antar di seluruh kampung. Sudah menjadi pemasukan rutin baginya.
Biasanya malam sehabis Maghrib kami telah berkumpul di markas, rambut mengkilap, pakaian rapi, tentu dengan wangi-wangian parfum murahan yang dibeli di pasar. Nenek biasa di Mesjid dari Maghrib sampai Isya. Saat itu lah kami berangkat, karena kalau Nenek sudah pulang, kami, terutama saya akan sulit dapat izin, apalagi kalau saat hari sekolah.
Sampai di lokasi konser yang dikelilingi terpal, kami mulai mengantri tiket, lagu-lagu dangdut sudah menggoda dari dalam, dan tidak lama kami masuk satu persatu dan mencari lokasi strategis di tengah kerumunan. Kami mulai melihat siapa saja yang tampil. Biasa ada H. Surya Abdullah, Almarhum Rio Astar –Artis Kampar yang telah menembus pentas nasional– saat Liga-liga dangdut belum ada. Band-band yang ada saat itu tergolong bagus untuk skala lokal, seingat saya ada Omega, Taruna Ria, Penbers, Dina Mustika dan lain-lain.
Lagu Tiara di Pulau Batam selalu ditunggu, begitu juga Setali Dua Tali, Bakalaha dan lainnya. H. Surya Abdullah, Rio Astar, Amin Ambo dan deretan lainnya adalah artis kebanggaan kami warga Rumbio dan sekitar. Albumnya beredar di seluruh pelosok Riau.
Selalu saja ada kerumunan di tengah konser berlangsung. Saat mendekat, tahu-tahunya ternyata Andi sudah bergulat. Ya, selalu saja konser-konser seperti itu diwarnai perkelahian antar pemuda. Tukang pukul di gank kami adalah Pijon, Hendrik, termasuk Andi yang badannya tinggi besar, hitam lagi. Kalau berkelahi di area gelap lawannya sulit melihat tubuhnya. Bibir Andi biasa sudah dower duluan sebelum berkelahi, karena bibirnya memang tebal seperti Holyfield.
Konser usai tengah malam dan kami pulang tentu dengan perasaan gembira. Dan perasaan senang itu berubah drastis saat minta dibukakan pintu pada nenek sesampai di rumah.
Saya pasti diomeli karena pulang larut malam saat hari sekolah. Meski akhirnya pintu dibukakan juga. Saya mulai masuk kamar sendiri –tidak boleh gabung dengan anak-anak di kamar markas. Kadang saya tidur sama Nenek dalam kelambu agar tidak digigit nyamuk. Sepertinya anak Nenek juga lah saya waktu SMP.
Di kamar sana mungkin anak-anak masih sibuk bercerita soal konser dan perkelahian di arena konser tadi. Saya harus masuk barak karena besok sekolah.
Dulu belum ada YouTube. Kalau ada tentu lagu Tiara Di Pulau Batam ini akan jadi teman tidur setiap malam. Nah, bagi yang mau mendengarkan lagu Rio Astar dengan Judul Tiara di Pulau Batam silahkan searching sekarang. Saya juga lagi cari sambil ngopi saat tulisan ini saya rampungkan.
(***)
Biografi singkat penulis:
Mastiardi yang mantan Bankir ini berprofesi sebagai penjual pulsa, yang bergerak di UMKM dengan bendera bisnis Sakti Network (SN). Ia juga tercatat sebagai anggota Pegiat Literasi Rokan Hulu (PLR) dan Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kabupaten Rokan Hulu.