Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen Agus Sutawijaya: Mei Mei (4)

Oleh : Agus Sutawijaya.

(CIO) — Aku terbangun subuh ini dengan perasaan yang luar biasa. Suara lantunan ayat suci menyelinap dari sela ventilasi kamar menggetarkan kalbuku. Azan belum lagi dikumandangkan. Setelah mandi, aku bergegas berjalan menuju masjid. Di luar, udara segar sekali. Embun berebutan turun, bergegas mencari tempat menempel pada dedaunan yang semalaman telah beristirahat, karena matahari segera akan menjemput mereka pergi menjadi awan.

Di langit, sisa rembulan purnama juga tengah bersiap menanti datangnya mentari pagi. Langit cerah. Bintang beranjak. Cakrawala masih belum terang, namun semburat jingga di ufuk timur telah mulai mengintip, membawa harapan baru. Beberapa ekor ayam jantan kesiangan mulai berkokok, entah apa sebab ia tertidur lebih lama di dahan pohon mangga hari ini. Biasanya, sejak pukul empat subuh iya telah mulai berkokok, membangunkan jiwa-jiwa yang masih hanyut dalam mimpi, untuk segera bangkit dan melipat selimut.

Sesampai di masjid aku segera shalat dua rakaat sebagai penghormatan, shalat tahiyatul masjid. Lalu kulanjutkan dengan shalat sunnah qobliyah subuh. Kata baginda Nabi SAW, dua rakaat sebelum subuh itu lebih berharga dari dunia dan seisinya, dan aku telah bertekad untuk selalu mengamalkannya. Bukan hanya karena keutamaannya, namun lebih sebagai rasa syukurku atas anugerah Ilahi Rabbi atas diriku.

Aku bersyukur atas semua karunia Nya. Atas hidayah yang telah melindungiku dari perbuatan syirik dan tercela. Aku bersyukur atas kasih sayang yang telah Allah limpahkan antara aku dan Mei Mei. Hari-hari yang ku lalui kini menjadi sangat indah, luar biasa.

Jamaah subuh di masjid ini lumayan ramai. Hampir tiga shaf penuh. Masjidnya juga nyaman, dengan sajadah yang bersih dan tebal. Mimbarnya terbuat dari ukiran kayu jati yang megah. Pada dinding bagian atas, terukir kaligrafi beberapa ayat Al Quran dengan tinta emas. Tiga buah lampu kristal tergantung anggun di langit-langit masjid, cahayanya berkilauan, indah sekali.

Subuh itu imam kami membaca surah Al Fajr setelah Al Fatihah. Muratalnya yang indah membuat suasana shalat menjadi sangat khusuk. Aku, terbawa suasana. Dalam surah ini Allah bersumpah bahwa azab terhadap orang-orang kafir tidak akan dapat dielakan beberapa contoh dari umat-umat yang sudah dimusnahkan kenikmatan hidup atau bencana yang dialami oleh seseorang. Bukanlah tanda penghormatan atau penghinaan Allah kepadanya. Melainkan cobaan belaka celaan terhadap orang-orang yang tidak mau memelihara anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin, kecaman terhadap orang yang memakan harta warisan dengan campur aduk dari orang yang amat mencintai harta malapetaka yang dihadapi orang-orang kafir. Di hari kiamat orang-orang yang yang berjiwa muthmainnah (tenang) mendapat kemuliaan di sisi Allah SWT.

Setelah shalat aku teringat Mei Mei. Ia begitu menyukai surah ini. Ya, Mei Mei telah memutuskan untuk memeluk Islam, sebagai bukti keseriusannya untuk melanjutkan hubungan denganku. Sesuatu yang amat aku syukuri. Tak mudah baginya, karena ia harus menerima konsekuensi terbuang dari keluarga besarnya. Saat mengucap dua kalimah Syahadah di Masjid Islamic Centre tiga bulan lalu, ia di hadiahi sebuah nama “Fatimah”, dan ia sangat bahagia dengan nama itu.

Ia juga dengan tekun mempelajari Islam. Ia belajar shalat mengaji dan belajar pemahaman Islam lainnya. Ia rajin ikut pengajian bersama Mak. Ia selalu menjemput Mak untuk ikut majelis taklim, belajar tahsin al Quran dan Majelis Ilmu lainnya. Mak yang dulu sinis terhadapnya kini begitu sayang pada sosok yang akan segera menjadi menantunya itu. Dan aku merasa sangat bahagia karenanya.

Mei Mei, maksudku Fatimah berusaha keras menghafal al Quran, meski dengan terbata-bata, dengan lidah cadel “Cina” nya ia berusaha melafalkan al Quran dengan benar. Hafalannya lumayan, kini separuh juzz Amma telah dihafalnya. Dan ia sangat menyukai surah al Fajr. Ia berusaha keras menirukan bacaan seperti bacaan Magfirah Husein, qori yang selalu didengarnya lewat youtube. Kadang aku jadi malu dengan semangatnya.

Hari ini adalah hari pernikahan kami, pernikahan yang kami gelar secara sederhana. Selain karena situasi masih dalam masa pandemi, juga karena Fatimah tak ingin acara resepsi diselenggarakan. Ia hanya meminta diadakan syukuran kecil-kecilan bersama kelurga dan kawan satu pengajian. Aku setuju saja.

Kami menikah di Aula Kantor KUA. Sebuah ruangan berukuran tiga kali empat meter persegi. Ada satu set pelaminan terpasang di dalamnya. Sebuab kipas angin berdiri di sudut ruangan membantu menghalau hawa panas yang tak mampu didinginkan oleh sebuah pendingin udara yang tampak jarang diservice.

Hanya sepuluh orang yang boleh berada dalam ruangan, termasuk penghulu dan saksi. Mayoritas yang hadir adalah keluargaku, Fatimah hanya didampingi oleh seorang sepupunya, Amel, yang datang dari Bagan Siapi-api. Fatimah nampak cantik sekali dengan busana gamis berwarna putih. Ia mengenakan jilbab senada yang menutup auratnya dengan sempurna. Meski menggunakan masker, aku masih bisa melihat riasan tipis menghiasi wajahnya. Ia tampak bagai bidadari bagiku.

Duduk di hadapan Kepala KUA aku kembali diserang perasaan gugup luar biasa. Berkali-kali aku mengusapkan tisu ke wajahku, menghalau keringat yang terus mengalir. Saat kujabat erat tangan pak KUA, yang bertindak sebagai wali hakim bagi Fatimah, seluruh tubuhku gemetar. Aku gugup luat biasa. Inilah saat yang telah kuimpikan nyaris sepanjang usiaku. Menghalalkan Mei Mei, Fatimah.

“Aku terima nikah Fatimah binti Abdullah dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan sebentuk cincin emas dibayar tunai..” ucapku mantap menyambut kalimat ijab dari Pak KUA, dan seisi ruangam seremtak mengucap.

“SAH!!”…

Aku masih belum percaya. Air mata bahagia mengalir di sudut mataku. Kulihat Mak juga menangis. Ia memeluk, menantunya yang juga menangis bahagia. Prosesi berlanjut, aku membacakan sighat taklik, janjiku pada istriku tercinta, menandatangani buku nikah dan menyerahkan mas kawin buat istriku. Air mataku kembali mengalir deras saat Fatimah menyalami dan mencium tanganku. Sambil mengucap doa barakah, aku mencium kening istri yang sangat aku cintai itu buat pertama kali. Semua orang larut dalam keharuan. Udin, sahabatku, yang hari itu juga bertugas mengambil gambar juga larut dalam tangis bahagia.

Selesai prosesi, kami segera meninggalkan gedung. Fatimah meminta agar kami pulang naik motor saja, aku memintanya untuk naik mobil bersama keluarga, namun ia memaksa. Akhirmya kami meminjam motor Udin dan berboncengan menuju rumah Mak, menyusul rombongan yang telah pulang lebih dahulu.

Jarak rumahku dengan Kantor ini tak begitu jauh, hanya dua kilometer saja. Dan kami menikmati perjalanan itu dengan perasaan luar biasa. Fatimah duduk menyamping dengan tangan merangkul pinggangku. Di perjalanan kami berpapasan dengan beberapa pengendara, mereka tersenyum dan menunjuk ke arah kami. Aku balas tersenyum meski tak faham apa yang mereka tunjuk.

Belum separuh perjalanan, sepeda motor kami oleng dan kami terhempas ke jalan raya. Rupanya, gamis istriku terlilit rantai sepeda motor. Itulah yang coba diingatkan pengendara lain tadi saat menunjuk ke arah kami. Fatimah terbanting dengan keras ke atas aspal. Kepalanya yang tidak terlindung helm membentur aspal dengan keras. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya, membasahi jilbab putih yang dikenakannya. Aku berteriak meminta tolong.

Orang-orang berkerumun. Sebagian berusaha menolong, namun sebagian besar hanya penasaran. Baju Fatimah digunting, untunglah ia mengenakan celana panjang dan kaus kaki, sehingga auratnya tetap terlindungi. Ia tak sadarkan diri. Kami dinaikkan ke atas pick up dan bergegas menuju RSUD. Sepanjang perjalanan aku menangis sambil memeluk istriku. Ku seka darah yang mengalir dari hidung dan mulutnya. Kudekap ia sangat erat sambil kupanggil namanya. Lamat-lamat kudengar suara dari bibirnya. Fatimah melantunkan surah Al Fajr, surah kesayangannya. Ia terus melantunkan hingga sampai di UGD.

Aku tak beranjak sedikitpun dari sisinya. Bahkan ketika dokter menanganinya. Di luar , Mak dan rombongan keluarga yang lain bertangisan. Suasana bahagia di hari istimewa kami justru berubah menjadi petaka. Aku menyesali kebodohanku memenuhi permintaan Fatimah untuk pulang naik motor. Aku menyesali kebodohanku yang abai terhadap keselamatan. Andai tadi aku lebih hati-hati. Andai tadi aku faham maksud beberapa orang yang menunjuk ke arahku. Andai tadi kami memakai helm.

Cedera kepala Fatimah sangat parah, dan mesti dirujuk ke Pekanbaru. Ia masih tak sadarkan diri. Namun bibirnya tak berhenti melafalkan Al Quran surah Al Fajr. Surah kesayangannya. Allah Maha Kuasa, dalam keadaan tak sadar, Allah SWT menuntun alam bawah sadar istri yang baru saja ku nikahi satu jam yang lalu itu untuk melafalkan Al Quran.

Ia terus melafazkan surah Al Fajr perlahan hingga sampai pada bagian akhir. Genggaman tangannya makin erat ketika bacaannya sampai pada ayat.

Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah, Irji’i ilaa rabbiki raa dhiyatam mardhiyyah, Fadkhuli fii ‘ibadi, wadkhuli janaati”

Ia mengulang bagian itu tiga kali, suaranya nyaris tak terdengar, lalu nafasnya menjadi semakin berat. Dadanya bergemuruh, genggamannya semakin erat. Aku membisikkan kalimah tauhid di telinga kanannya, berulang. Dan dengan satu helaan yang lembut, Fatimah, istri yang belum sempat kujamah itu menghembuskan nafas terakhirnya. Ada bulir keringat di keningnya. Bibirnya tersenyum, sebuah kristal bening mengalir di sudut matanya yang terpejam. Aku memeluknya. Mencium keningnya.

“Selamat jalan Soleha, tunggu aku di syurga insyaallah..”

======

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya. Maka masuklah kedalam golongan Hamba-hambaKu. dan masuklah kedalam surga-Ku.”

Bangkinang, 28 Maret 2021

(***)