Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen Agus Sutawijaya: Mei Mei (3)

Oleh : Agus Sutawijaya.

(CIO) — Takdir akhirnya membawaku kembali ke kota kecil kelahiranku. Mak yang sudah mulai sakit-sakitan semenjak kepergian Ayah memintaku untuk kembali ke kampung.

“Sejauh-jauh bangau terbang pulangnya ke kubangan juga kawan..” Udin berkata bijak.

“Kapan lagi kau akan mengabdikan dirimu pada Mak, dulu saat Ayahmu tiada kau juga tak di sampingnya. Sudahlah Boy, sampai mana harta akan kau cari, kini saatnya kau mengabdi..” entah arwah siapa yang telah merasuki raga sahabatku ini, sehingga ia bisa mengeluarkan kalimat berharga bak untaian mutiara. Dan aku fikir semua yang dikatakan Udin benar. Ya, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke kampung.

Sebulan sudah aku kembali ke rumah. Kesehatan Mak pun berangsur pulih. Ada kebahagiaan terpancar di wajahnya. Senyum selalu tersungging di bibirnya. Namun satu hal yang selalu kuhindari setiap kali berbincang dengan Mak, yakni masalah jodoh. Berulang kali mak menanyakan kapan aku akan menikah.

“Apa juga yang kau cari lagi Boy, usia mu sudah lebih dari cukup, apa lagi yang kau tunggu. Udin bahkan sudah tiga anaknya, masih juga kau berharap pada gadis Cina itu..?” Aku hanya tersenyum, segera kuhabiskan makananku dan bersiap untuk segera berlalu dari meja makan itu sebelum Mak memberondongku dengan pertanyaan selanjutnya.

“Ayahmu tak sempat melihatmu menikah, Mak ingin sekali menimang cucu..” kukecup lembut punggung tangan Mak, dan berpamitan, aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Selalu begitu. Aku tak pernah siap dengan jawaban atas pertanyaan Mak tentang masalah yang satu ini.

Sejak kepulanganku, sudah tiga kali aku bertemu Mei Mei. Dia masih secantik dulu, bahkan lebih cantik dari gadis kecil yang menyodorkan segelas air hangat untukku saat pertama kali ku melihatnya dulu. Sejak saat itu, sampai hari ini, tak pernah ada perempuan lain yang mampu mengisi hatiku sepertinya. Cinta memang gila ternyata. Dan ungkapan “love at the first sight” benar adanya. Mei Mei bukan hanya menjadi gadis idamanku, namun telah menjelma menjadi sebuah obsesi, yang terkadang menghancurkan akal sehatku.

Aku teringat bagaimana kegilaanku ketika mesti menempuh semak belukar menuju ke rumah dukun sialan di tengah malam. Juga bagaimana aku bertelanjang di tengah malam yang dingin sembari merapalkan mantera-mantera yang diajarkan dukun palsu itu padaku, sementara Udin terkekeh-kekeh menyaksikan kegilaanku. Ya Allah, semoga saja engkau berkenan memgampuni dosa dan kesalahanku.

Aku juga masih bisa mengingat bagaimana ekspresi wajah Mei Mei ketika ia menolakku dengan sangat kasar, sesuatu yang kemudian disesalinya, setidaknya demikian yang disampaikannya padaku saat pertemuan kami. Sebuah pertemuan yang sangat canggung buatku.

Belasan tahun menanggung rindu, akhirnya aku bertemu gadis pujaanku, meski kini ia tak gadis lagi. Mei Mei duduk tepat di depanku dengan anggun. Sesekali ia meneguk minuman dingin yang dipesannya. Saat ia meneguk minumannya, aku seakan dapat melihat minuman itu di lehernya yang jenjang dan putih. Udin dalang dari pertemuan ini meninggalkan kami berdua dengan alasan hendak menjemput anaknya ke sekolah. Tinggallah kami berdua dalam sebuah suasana yang canggung.

Mei Mei siang itu mengenakan baju kaus putih berpadu rok panjang berbahan jeans. Rambutnya yang diwarnai sedikit kemerahan dibiarkan tergerai. Aih, aku kehabisan kata menggambarkannya. Aku yakin sekali, Tuhan begitu senang sekali ketika menciptakannya, semua yang ada pada dirinya tampak indah di mataku.

Lama sekali aku memandanginya. Membiarkan segala rasa berbaur dalam dada. Sampai pada saat mata kami beradu pandang. Aku lihat mukanya merona merah. Ia menunduk dan memasukkan sedotan ke sela bibirnya. Aku merasakan seluruh darahku berkumpul di wajahku. Mungkin mukaku lebih merah, atau mungkin pucat pasi. Aku tak tahu. Aku pun menunduk. Bibirku terkunci. Tiba-tiba aku seperti terserang demam. Aku berkeringat. Oh Tuhan, inikah yang dibilang demam rindu itu…

“Lama tak jumpa ya Boy..?” Ucapnya membuka pembicaraan.

“Eh iya…” jawabku gugup, sekilas aku lihat Mei Mei tersenyum, tersenyum geli tepatnya, menyaksikan aku duduk gugup berkeringat persis seperti mahasiswa tak siap menghadapi ujian skripsi. Selanjutnya Mei Mei lebih banyak mendominasi pembicaraan. Dan lambat laun aku mulai merasa baikan.

Ia banyak bercerita tentang keadaannya, bagaimana pernikahannya yang hancur, bagaimana ia begitu tersiksa selama tiga tahun pernikahannya. Ia juga meminta maaf jika dulu telah begitu kasar kepadaku. Entah apa lagi yang ia ceritakan. Aku tak mampu mengingatnya. Aku telah terbius oleh pesonanya. Suaranya begitu mendayu di telingaku. Gerak bibirnya, kerling matanya. Dan rasa di hati terasa semakin menggelora. Tiba-tiba aku ingin jadi tentara saja……

Terpesona, aku terpesona
Menatap (menatap) wajahmu yang manis

Bagaikan mutiara
Bola (bola) matamu
Bagaikan kain sutra
Lesungnya (lesungnya) pipimu
Cantiknya kamu (Cantik cantiknya kamu)
Eloknya kamu (Elok eloknya kamu)
Semua yang ada padamu
Membuat aku jadi gelisah
Sampai sampai aku terjaga dari dari mimpiku
Yang perlu kau tahu .. Yang perlu kau tahu
Rasa cintaku cintaku padamu
Rasa cintaku cintaku padamu
Hanyalah di dalam mimpi

(***)