Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen Agus Sutawijaya: Mei Mei (2)

Oleh : Agus Sutawijaya.

(CIO) — Setelah gagal pada percobaan pertama, aku tetap berusaha untuk meluluhkan hati gadis bermata sipit itu dengan berbagai cara. Dua tiga dukun kudatangi, berharap salah satu dari mereka bisa mengabulkan keinginanku untuk menaklukkan gadis berjari lentik itu. Nalarku telah mati oleh asmara. Bahkan cinta telah membutakan mataku bahwa semua yang kulakukan adalah dosa besar.

Perasaan rindu dan dendam kini berpadu menjadi sebuah letupan emosi yang membara. Aku benci pada Mei Mei, tapi aku lebih benci pada diriku sendiri yang tak mampu melupakannya.

Selepas SMA, aku pergi meninggalkan kota kecil kelahiranku dengan membawa segenggam cinta yang tersisa diantara dendam dan luka. Sekuat usahaku menghapus ingatan tentangnya, sekuat itu pula rindu datang mendera. Aku telah bertekad untuk membuktikan pada dunia bahwa aku layak untuk gadis impianku itu.

Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Sepuluh kalender sudah berganti sejak pertama kali kuungkapkan perasaanku padanya. Sebuah ungkapan kasih yang berbalas caci maki dari seorang yang ku impikan nyaris separuh usiaku. Dulu semua terasa begitu menyakitkan. Namun kemudian kusadari, semua suksesku hari ini, tak lepas dari cacian itu.

Dari Udin, sahabatku, kudengar kabar tentang pernikahan Mei Mei dengan seorang pengusaha muda keturunan Tionghoa juga, sekitar tiga tahun yang lalu. Aku merasa biasa saja. Padahal aku ingin sekali merasa cemburu, mungkin rasa itu telah pergi dengan sendirinya. Mei Mei yang dulu bagaikan putri kayangan kini tampak biasa saja buatku. Ia hanya menjadi sebuah bayang-bayang. Entahlah, aku sendiri tak tahu bagai mana semua bisa hilang begitu saja. Cinta buatku memang sulit dimengerti.

“Boy, ada yang titip salam buatmu..” Udin menelponku.

“Siapa….?” Tanyaku

“Mei Mei..” jawabnya penuh semangat.

“Kini ia tinggal dengan koh Aseng lagi, ia sudah berpisah dari suaminya, kesempatan Boy… kesempatan…” Udin makin semangat. Wajar, karena ia tahu bagaimana perasaanku pada Putri Kopingho itu.

“Ah… sudahlah sobat, tak perlu lagi kau ungkit kisah lama itu…” jawabku seraya menghela nafas lebih dalam.

“Ayolah kawan… dia masih secantik dulu, bahkan lebih cantik kini” Udin meyakinkan ku.

Seketika kenangan akan keindahan jemari itu kembali hadir di pelupuk mataku. Matanya yang sipit dengan bulu mata yang lentik. Bibirnya yang mungil bersemi merah. Kulit putihnya, amboi…. bukankah dia yang kuimpikan selama ini…

Lalu, teringat kembali makiannya. Ah, tak perlulah kuceritakan bagaimana bahasanya kawan. Terlalu sakit untuk dikisahkan, dan bayangan kecantikan itu kini berubah menjadi dendam. Dendam tak berkesudahan.

“Maaf bro, kurasa dia bukan tipe ku lagi…” jawabku

“Tapi Boy….” aku tahu sahabatku itu pastilah heran dengan jawabanku.

“Mei Mei adalah masa lalu..” jawabku, padahal hatiku terluka. Jujur, aku masih menginginkannya.

(***)