Oleh: Alfi Bi-ka.
Bab 1
Setelah Yudisium
Kurdi duduk menatap jendela tua kecoklatan yang terbuat dari kayu seru — sejenis kayu yang sangat kuat karena direndam di lumpur beberapa hari. Jendela kecoklatan itu sudah hampir tiga puluh tahunan melekat di rumahku. Menurutku, dia adalah benda paling kuat di dunia karena tiap hari ia selalu tergencet oleh gagang kunci.
Pernah juga terkena lemparan batu dari orang tak waras karena ia mengira rumah itulah yang telah mengusirnya. Terkena debu tanah merah sudah menjadi makanannya setiap hari. Bahkan beberapa kali terkena asap fogging untuk membasmi nyamuk aedes aegypti. Bahkan tak jarang pula ia terkena pukulan maut adiknya yang kesal karena mainannya hilang.
Jika jendela itu manusia mungkin ia sudah terkena penyakit kronis yang sangat sulit untuk disembuhkan oleh para dokter spesialis mana pun. Jika ia manusia pun, mungkin ia akan berteriak sekeras-kerasnya atas kejadian yang menimpa dirinya. Sebab itu menganggu dan merusakkan kebebasan dirinya. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi maka dia akan mengadu ke Pengadilan HAM.
Walaupun ia sebuah jendela yang termasuk benda mati. Tetapi dia mengajarkan kepadaku untuk bertahan dalam keadaan apa pun.
Jika manusia tak tahu rasa sakit, pasti dia ingin menyakiti seseorang. Jika manusia tak kenalkan dengan duka pasti dia ingin terus bahagia. Jika manusia tak mengenal miskin pasti dia ingin kaya terus. Tapi sekali lagi, itu semua adalah bagian hidup. Dan termasuk dari bagian hidup itu adalah mati. Itu sebabnya mati sebagai peringatan bagi semua orang. Jika tak mau mati sia-sia banyak-banyaklah berguna dalam hidup ini. Tapi jika memilih untuk seenaknya dalam hidup. Ya, tercatat sebagai orang mati yang paling menyakitkan.
“Sudah lama datang Di?” tanya Kurdi pada Ahmadiansyah.
“Sekitar puluhan detik berlalu kawan,” jawabnya dengan senyuman santai sambil menatapnya.
Ia duduk tenang di kursi berwarna lorek hitam, putih dan kecoklatan. Kursi itu mirip dengan kulit Zebra. Mungkin matanya sudah menatap banyak foto-foto di ruang tamu rumah milik Kurdi. Bisa jadi banyak sekali pertanyaan di kepala Ardiansyah. Ada foto lawas keluarga besar Kurdi berwarna hitam putih, ada pula foto Kakeknya di Makkah setelah Indonesia merdeka. Ada juga foto Nenek nya yang lagi duduk di kursi sambil tersenyum bersama kedua bibinya. Terdapat pula pigura bertuliskan nama Kurdiansyah.
Kurdi membaca raut wajah Ahmadiansyah melalui matanya. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu tapi mungkin tak enak. Kurdi duduk di depannya. Ahmadiansyah adalah sahabatnya waktu kuliah dulu. Waktu kecil mereka sempat bersama walaupun tidak lama. Ia seseorang yang sulit bicara. Bukan karena tidak bisa bicara tapi karena ia terlalu lama mengeluarkan kata-katanya. Tingginya 165 cm, badannya kurus, memiliki alis tebal yang hitam. Ia selalu mengenakan tas selempang ala mahasiswa. Berkemeja panjang bergaris hitam dan putih. Rambut sedikit panjang. Sedikit berkumis, terdapat lesung pipit di bagian kanan pipinya. Jika orang melihatnya dari jauh ia mirip Profesor yang masih muda karena kepalanya plontos. Hobinya menggigit bibir bagian bawah.
Sejak yudisium di bulan September 2011. Kurdiansyah tak pernah lagi bertemu dengannya.
“Di negeri orang sibuk apa, kawan? tak ada kabar darimu beberapa tahun ini. Aku sempat kesal denganmu,” ujarnya memasang raut wajah masam di depan Kurdi.
“Sudahlah kawan, hidup di negeri orang itu tidak semudah yang orang bayangkan. Segala sesuatu harus dimulai dari kita sendiri. Karena aku ingin maju oleh sebab itu aku tidak menghubungi seseorang pun termasuk dirimu, sebelum tujuanku tercapai,” Kurdi memberi alasan.
Mungkin jawaban itu terkesan tak pantas untuk sebuah persahabatan. Tapi ia harus bicara apa adanya. Diansyah hanya terdiam dengan jawaban itu.
Kurdi sebenarnya heran dan kagum dengan sahabatnya itu. Umur dia dengan dirinya tak begitu jauh, mungkin jaraknya berbeda hanya setahun kurang lebih. Tapi dia sudah sukses lebih dulu dari Kurdi. Ia telah menjadi dosen Perguruan Tinggi di Sumatera Selatan.
Tidak hanya itu saja, ia diam-diam jadi anggota Kepolisian. Di usianya yang masih muda 28 tahun. Kurdi kagum dengan perjalanan hidupnya. Ternyata diskusi mereka beberapa tahun lalu membuat mereka serius dalam menjalani hidup. Kurdi pernah bicara dengannya waktu itu.
“Bos, — Kurdi memanggil dirinya dengan sebutan “BOS” karena dia merupakan orang berada –. Hidup ini sia-sia jika kita hanya berleha-leha di kampus. Kita tidak bisa belajar dan makan dengan uang orang tua kita terus. Suatu saat orang tua kita mungkin akan kekurangan,” ucapnya pada Diansyah dengan hirupan kopi hitam yang masuk ke kerongkongannya.
Dia hanya terpaku dengan apa yang Kurdi ucapkan. Entah, ia tersinggung atau tidak ia tak tahu. Sebenarnya obrolan mereka hampir tiap malam. Dan topiknya sangat banyak, sekali-kali mengenai keadaan pribadi mereka, persahabatan mereka, percintaan mereka, bahkan pada politik kampus. Terkadang sekali-kali mengenai warung tempat mereka “ngebon” makanan kecil. Tak luput pula dengan sistem pengajaran di kampus mereka. Tapi yang Kurdi bicarakan tadi itu adalah kesimpulannya saja.
Ia juga menambahkan padanya. “Jika aku diberikan kesempatan untuk melanjutkan S2 maka aku akan kuliah lagi Bos. Aku tidak mau setengah-tengah dalam berkarir. Karena aku ingin menjadi dosen,” terangnya sambil menatap tatap alis tebal temannya yang mirip serial kartun Naruto bernama Kenji.
Hal seperti itu bagi mereka adalah sebuah pacuan, artinya ia merasa tertantang. Mereka berlomba supaya lebih dulu lulus dari kampus. Dan ternyata yang lulus pertama dan tercepat itu adalah Kurdi. Ahmadiansyah tak terima dengan itu. dia merasa dikalahkan. Setelah beberapa tahun dia baru mengerti dengan keadaan Kurdi saat itu.
Kurdi mengatakan lagi padanya, “Kau tahu bos mengapa aku harus segera lulus dari kampus. Karena aku takut menghabiskan biaya lagi, padahal aku tak bisa hanya mengandalkan wesel dari rumah. Kau tahu biaya kuliahku dari mana?” tanya Kurdi tepat didepannya dengan mimik serius dan sepasang alis terangkat.
“Beasiswa!” Diansyah terkejut dengan ungkapan Kurdi.
Mungkin seakan tak percaya bahkan Kurdi matian-matian berlajar siang malam agar beasiswa yang sudah diterimanya tidak lepas lagi darinya. Hanya itu peluang Kurdi untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Itu pun menunggunya cukup lama. Karena sejatinya Kurdi bukan anak orang berada. Dibandingkan temannya.
“Jadi, selama ini kau kuliah dengan beasiswa dan biaya hidup ngutang di kantin?” sahut Diansyah heran.
“Ya begitulah Bos,” jawab Kurdi santai bahkan tidak memasang raut wajah gengsi yang tersirat dari matanya.
Dia menganggap semua slow. Bahwa hidup terkadang lebih baik dinikmati saja. Dari pada banyak mengeluh. Mungkin jika diberi kesempatan untuk maju atau sukses akan digunakan dengan sebaik mungkin, tapi jika tidak dapat atau pun gagal, kembali ke tahap awal, bersyukur slow menjalani.
“Jadi jangan heran jika aku ini sebagai sahabatmu memberi fatwa. Bahwa kuliah itu harus cepat selesai,” ucapnya di depan Ahmadiansyah yang hanya menganggukkan kepala mendengarnya bicara.
Beberapa saat ia minta ijin ke dapur. Ia ingin memberikan kejutan pada Kurdi.
“Kau tunggu di sini. Aku akan membawakanmu sesuatu,” sahutnya seperti membuat penasaran.
Kurdi hanya menganggukkan kepalanya. Ketika ia kembali. Ia membawa sebuah cangkir yang tentu saja Kurdi tak tahu apa isi di dalamnya. Tapi dari aromanya benda cair itu sangat menggoda. Apalagi dengan kumpalan asap kecil di atas gelas membuatnya tambah menarik.
“Kau pasti tahu ini,” tanyanya dengan senyuman kecil.
“Ini special untukmu,” ujarnya lagi, Kurdi hanya menggelengkan kepala.
“Kopi ini buatanku kawan. Itu aku racik sendiri dari biji kopi yang ku pilih sendiri. Kemudian kuhaluskan dengan alat penghancur kopi. Setelah itu bubuk kopi, ku campur dahulu dengan sedikit gula. Ingat kopi dan gula harus dicampur terlebih dahulu. Ada orang menyeduh kopi, gulanya diakhir dengan alasan untuk menyeimbangkan rasa kopi yang pahit dengan manis,” terangnya pada Kurdi yang hanya melongo di depannya.
Sejak kapan pula Ahmadiansyah ini mahir mendemontrasikan teknik membuat kopi ala dirinya sendiri. Mungkin saja dia sudah banyak membaca buku tentang bagaimana mengembangkan potensi diri hingga ia menjadi percaya diri.
“Ini sudah kutakar Kawan. Pahitnya kulebihkan sedikit. Dan gula kutambahkan sesuai porsinya. Kopi buatanku ini mengalahkan kopi yang Kau buat waktu kita diskusi di kampus dulu,” ujarnya dengan sedikit meremehkanku.
Karena ia tahu dari dulu aku suka membuatkan kopi untuknya. Kurdi meneguk pelan kopi buatannya. Kurdi coba diam sesaat untuk merasakan kopi dan gulanya. Pikirannya melayang.
“Ow, kopi lagi,” ucapnya sambil menghirup sang kopi.
“Jika keduanya seimbang. Rasa kopi itu luar biasa kawan,” Kurdi berujar. Sambil memasang wajah kagum.
“Rasa kopi ini memang tak pernah bohong kawan,” puji Kurdi padanya.
Diansyah tersenyum manis di depannya. Kopi itulah yang menjadi saksi persahabatan mereka. Sekarang Diansyah berprofesi sebagai Dosen di daerah Sumatera Selatan dan anggota Polisi. Dia sering menghubungi Kurdi lewat telepon.
Dan dia selalu berujar pada Kurdi, “Di balik rasa kopi ada persahabatan yang indah kawan.”
(***)