Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerbung: Perjodohan (Bagian 3)

Oleh: Alfi Bi-ka

Bab 3

Perjodohan.

Tibalah Kurdi dan Pak Edi di rumah panggung berbentuk limas. Rumah adat Sumatera Selatan. Gentengnya sudah mulai rapuh. Jika tertimpa benda keras sekali saja hancur berantakan. Kayu yang melekat di rumah dari kayu berwarna cokelat, tapi sangat kuat mampu bertahan selama bertahun-tahun dari serangan rayap. Satu lagi yang membuatnya teringat akan kenangan lama di dekat rumah itu. Yaitu masjid yang berada di depannya.

Masjid berumur puluhan tahun masih berdiri megah. Seperti perusahaan ternama yang mampu bertahan dalam setiap keadaan. Banyak badai debu, debu kasar, lemparan batu, hujan dedaunan, hujan yang menderu, telah dilewatinya. Menjadi bangunan tua menyimpan sejarah masa lalu dan kini. Yang jelas bangunan masjid tua itu mengingatkanku akan Tuhan semesta alam. Semua pasti akan kembali kepada-Nya.

“Mas, sampaikah kita?” tanya Pak Edi pada Kurdi yang terdiam dalam lamunan.

“Oh. Iya, Pak. Sudah,” jawab Kurdi terkejut.

Kurdi berjalan menyusuri seluk beluk rumah tersebut, banyak kenangan yang mengingatkannya tentang masa lalu dirumah itu.

Kurdi terdiam sejenak. Ingatan Kurdi berputar ke masa lalu. Pada suatu sore.

“Hai, Kurdi. Kapan lagi kau mau belajar ngaji jika tidak hari ini.” tanya Kakek pada Kurdi yang masih tiduran, seperti tak ingin beranjak dari ranjangnya di kamar.

Suara Kakeknya mulai meninggi, “Apa kau tak ingin pandai seperti Pak Hamka?” ujarnya mulai menyebutkan tokoh-tokoh kesukaannya.

“Pak Hatta orang terpelajar cerdas dan jujur. Pak Soekarno pemuda revolusioner. Hobby membaca dan berdiskusi. Ia tak tahan melihat negerinya carut-marut bahkan terjajah ratusan tahun.” Terang kakek Kurdi lagi.

“Apa kau mau dijajah lagi setelah zaman merdeka?” Itu sebuah penawaran bagi diri Kurdi dan ia harus menerima itu, alias mau belajar.

Kakek Kurdi seorang tokoh di kampungnya. Dia termasuk kepala adat. Mudah marah. Terkadang kolot. Tapi sebagian besar masyarakat tunduk padanya. Jika ada masyarakat yang berselisih tentang lahan, maka kakek Kurdi lah yang jadi bahan rujukan. Ia orang tua yang masih menunjukkan semangat belajar yang tinggi. Salah satunya, aktif di sebuah organisasi di Indonesia.
Dengan pola pikir itulah ia mendorong Kurdi belajar tentang pentingnya ilmu agama dan profesional dalam bekerja. Kesimpulan itu Kurdi dapatkan setelah ia melalang buana jauh dari rumah untuk mencari kebebasan.

“Iye, Deh.” Jawab Kurdi sambil melangkah berat menuju masjid.

Di dalam masjid tua ada beberapa anak seusia Kurdi berjingkrak-jingrak tak karuan. Berlari sesuka hati sambil tertawa. Di kala sang guru menyuruh berhenti, si anak yang berwajah lucu terdiam sambil menunduk dan berjalan pelan seperti merasa bersalah.

“Nak, kesini! Coba baca iqro’ dua halaman dua.” Perintah sang guru kepada murid tadi.

“Aa laa maa. Waa qo faa. Sya ha dah. Baa tho sya.” Sampai halaman akhir sang anak berhenti.

“Guru, huruf apakah ini?” Sepertinya aku belum diajarkan tentang huruf itu.” Tanya murid kepada Guru Ngaji.

Sang Guru melirik pelan dan melihat huruf yang ditunjukkan oleh sang anak.

“Dzo.”

“Apa, Guru?”

“Dzo, Nak.” Sang guru mencoba mengulangi.

“Susah benar guru huruf itu.” Sang murid sedikit mengeluh.

“Wahai anakku, jika kau membaca Al-Qur’an terbata-bata justru kau banyak mendapat pahala. Teruskan baca! Nanti kau akan terbiasa”. Sang Guru berujar disertai senyuman hangat sambil memandangnya. Sang anak tersenyum memuncak kegirangan.

“Asyik. Aku akan mendapatkan kebaikan. Berarti aku akan jadi orang yang beruntung.” Sambil berceloteh kepada teman-teman di sebelahnya.

Sore itu ditutup dengan hamdalah yang nyaring terdengar. Anak berhamburan keluar masjid. Tinggallah beberapa anak yang masih ingin berlama-lama sambil bermain di halaman masjid. Kurdi, Ahmadiansyah, Hakim, Majadi.

Mereka seperti berjodoh dipertemukan di masjid kecil itu. Namaku Kurdi memiliki badan berbidang lebar dan rambutku tebal seperti sapu ijuk. Satu hal yang menarik. Aku suka bicara. Terkadang dengan nada bicara cepat dan membuat orang tak mengerti apa yang kubicarakan.

Diansyah bermata almond seperti orang cuek dan tak peduli. Tapi sebenarnya dia sangat peduli dalam diam. Dia sering berpikir bagaimana membuat temannya nyaman dan termotivasi. Tapi sekaligus terkadang juga membuat teman jengkel dan kesal setengah mati.

Terkadang Kurdi Ingin mencekik lehernya yang besar.
Dia adalah teman terbaik yang pernah Kurdi temui. Dia mentor bagi teman yang lain. Dia sangat sedih jika melihat temannya tidak maju alias tidak dapat melakukan sesuatu.

Seperti ucapannya ketika kami berenang di sungai lurus. “Tetaplah fokus dan ikuti caranya agar kau bisa.”

Majadi adalah anak yang lucu. Itulah kesan pertama ketika Kurdi bertemu dengannya. Rambutnya selalu rapi seperti tentara. Dia terlihat berwibawa dan sangar di awal pertemuan.
Tapi setelah banyak bicara dengannya, kita akan tahu bahwa dia anak yang menyenangkan. Suaranya cempreng seperti suara kaleng terkena tendangan. Jika menatap ia terlihat culun yang mengundang gelagat tawa.

Setelah dewasa mereka kesulitan menemukan Majadi. Mereka mencarinya ke Dermaga Tanjung Si Api-api tetap tidak ada jejak yang ia tinggalkan.

Kurdi memasuki rumah tua yang tidak jauh dari masjid. Seorang pria tua menyambutku dengan senyuman ramah. Rumah itu sekarang semakin kuat dan kokoh. Walaupun masih perbaikan dibagian lain.
Tapi sayang rumah itu sepi dari suara anak-anak, orang tua yang bercakap-cakap, dan tamu yang berdatangan. Yang ada hanya terdengar beberapa kali suara batuk berat di ujung kamar.

“Lama tak kembali ke rumah, Kur?” tanya Kakek Kurdi yang sudah tua renta dibalik tirai kain. Pertanyaan yang banyak menyimpan rindu.

Mungkin jika Kurdi menebak pikirannya. “Apa yang kau lakukan di negeri orang? Kau jarang memberi kabar di sana. Betapa kuatnya dirimu mengikuti dan mencari celah di dalam sebuah kehidupan ini. Sehingga dirimu hampir lupa akan asal usulmu.”

Kurdi segera duduk. Kemudian sesekali menatap mata Kakeknya yang sudah rabun. Tapi mata batinnya seperti menyala terang.

“Alhamdulillah, Deh. Ada kesulitan ada juga kemudahan yang aku hadapi di negeri orang. Dari situlah aku belajar hidup. Mengerti tentang berjuang, mengerti tentang persahabatan, mengerti tentang arti bekerja, mengerti arti berbagi, mengerti arti seorang guru dan mengerti arti sebuah keluarga.” Ujar Kurdi menjawab dengan tenang.

“Sudah menikah? Apakah sudah ada calon mempelaimu?” Kurdi mulai gusar dengan pertanyaan itu.

Pertanyaan itu sedikit membuat alis Kurdi naik beberapa centimeter. Bukan mudah menjawab pertanyaan yang sepele itu, tapi perlu penjabaran yang panjang ala karangan ilmiah.

Pertanyaan itu butuh renungan untuk menjawabnya dengan sebuah kemantapan. Kurdi menarik nafas berat dengan pelan. Jika menjawab belum. Maka tradisi lama zaman perjodohan akan dimulai lagi. Kurdi akan dicarikan seorang perempuan yang cocok menurutnya tentunya, tidak jauh alias satu kampong. Dunia terasa seperti daun keladi. Dimana jika air kecil diputar-putar di atasnya tak akan tumpah jauh kemana.

Cepat-cepat ia berujar, “Doakan saja, Deh. Insya Allah jodoh pasti bertemu.” Jawaban yang optimis.

“Apa kau bilang jodoh pasti bertemu? Hai, Bujang. Setiap manusia pasti ada jodohnya. Tapi jangan kau tidak mencari dan menutup diri.” Balas Kakeknya dengan nada yang meninggi, nada yang paling Kurdi benci. Terkadang nada ini dianggap merendahkan lawan bicara.

“Ahhh. Kau jadi pria tua nantinya.” Kakek Kurdi mulai berkelakar dengan senyuman tipis.

Kurdi tak ingin terpancing dengan pernyataan itu terkadang akan membuatnya emosi. Kurdi coba menahan diri dengan menarik napas dalam- dalam. Situasi yang mungkin sangat menjengkelkan.

“Kek, Nenek dimana?” Kurdi mencoba mengalihkan pertanyaan ke topik lain.

Sang Kakek menoleh kebelakang dan berujar, “Mungkin Nenekmu sedang membuatkanmu minuman. Sejak mendengarmu datang dia selalu sibuk di dapur. Masak yang macam-macam. Dirimu seperti tamu agung di rumah ini.”

“Nenekmu akan mencoba memasak ayam opor, ayam panggang, ayam goreng, ayam sambal daun seledri, ayam kecamba, ayam bakar ala nenek, ayam tumis, asam pedas. Terakhir mungkin Nenekmu tak bisa masak ‘ayam berlari’, Kur.” Kembali sang Kakek berkelakar sambil tertawa.

Nenek muncul perlahan menuju kearah Kurdi dengan tatapan syahdu dan rindu.

“Bujang.” Nenek Kurdi memanggil dengan panggilan kesayangannya. Sambil memeluknya. Kurdi terdiam dan terpaku sulit untuk berkata-kata.

“Nenek.” Kurdi menyebut lirih seperti angin yang berdesir.

Kurdi berujar pelan, “Aku kembali menatapmu, aku kembali memelukmu, aku kembali karena rindu, aku kembali karena aku sayang padamu Nek.” Kurdi meneteskan air mata. Air mata kerinduan air mata cinta antara Cucu dan Nenek.

Ketika Kurdi merantau jauh ke Tanah Jawa, ia selalu mengingat petuah-petuah Neneknya. Begitu banyak jasa Neneknya pada Kurdi. Orang yang selalu membesarkan hatinya dikala sedih akibat perlakuan saudara-saudaranya yang tak tahu adat.

(***)