Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerbung: Jalan Pintas (Bagian 7)

Oleh: Alfi Bi-ka

Bab 7

Jalan Pintas.

Diansyah terkejut ketika ia sadar. Kurdi sudah tidak ada di dalam mobil. Ia menyusuri sekitar area kejadian untuk mencarinya. Tapi hasil yang di dapat masih nihil. Ia mencoba mencari di bawah mobil yang dipenuhi dengan tanah lumpur dan becek. Tapi lagi-lagi ia belum juga menemukan Kurdi. Yang ia temukan hanya selembar kain hitam.

Sebagai Kepala Kepolisian, itu menjadi petunjuk baginya. Ia membawa kain tersebut. Bisa jadi itu sebagai jalan untuk mengungkap siapa pelaku penculikan.

Diansyah memperhatikan dengan cermat area kejadian sedetailnya. Ia menemukan jejak-jejak sepatu yang mengarah ke area hutan. Tanpa pikir panjang Diansyah mengikuti jejak sepatu itu. Betapa terkejutnya ia di balik semak-semak tersebut terdapat jejak ban. Bekas mobil berhenti dan terdapat jalan pintas.

Tapi Diansyah tidak mengetahui menuju ke mana jalan itu. Terbesit dalam pikirannya untuk mengikuti jejak jalan tersebut. Tapi dia tak ingin gegabah. Kali ini dia sedang berurusan dengan sebuah kasus penculikan yang melibatkan pria bertopeng. Yang menjadi korban adalah sahabatnya sendiri.

Seperti kebiasaan Diansyah ia mulai menganalisa. “Jika aku ke sana tanpa personil. Sama saja aku bunuh diri. Bagaimana jika kawanan penculik tiba-tiba datang dengan gerombolan mereka, lalu menyerangku seperti kejadian semalam. Berarti aku terjebak dua kali dan itu kelalaian. Di tambah lagi aku belum memiliki data yang pasti ke mana sebenarnya jalan pintas itu bermuara,” gumam Diansyah dalam hati.

“Tapi kondisi sahabatku dalam keadaan berbahaya,” ujarnya dalam hati sambil mengamati area jalan pintas tersebut dengan serius.

Kemudian Diansyah mengeluarkan telepon genggam dari saku celananya. Dia langsung menelepon anak buahnya yang berada di gardu Pos Polisi wilayah pelabuhan. Berdering suara telepon masuk di gardu Pos Polisi. Berbunyi nada telepon berkali-kali.

“Angkat telepon itu.” gumam Diansyah.

“Pos Polisi wilayah satu dermaga Tanjung Si Api-api.” jawab seorang berseragam Polisi dengan tegas.

“Ini komandan satu memerintahkan untuk membawa personil ke area hutan karet, 200 meter dari dermaga.” perintah Diansyah.

“Maaf perintah tidak diterima. Siapa pun Anda, harus mengikuti prosedur,” sahut Polisi yang berada di Pos Penjagaan.

Diansyah geregetan mendengar perintahnya tidak ditanggapi oleh anak buahnya. Tapi dia juga sadar bahwa apa yang dilakukan oleh anak buahnya adalah sikap yang benar. Agar tidak asal menerima sebuah perintah. Untuk menghindari provokasi atau ada orang tertentu yang mengaku sebagai Kepala Polisi. Ia menutup telepon dengan ucapan terima kasih.

Ia masih mempelajari sebenarnya kemana arah jalan pintas itu. Dia mencoba bertanya kepada seorang warga yang berkumpul di area kejadian. Barulah ia mendapatkan jawaban bahwa jalan tersebut menuju ke pelabuhan.

Diansyah menarik kesimpulan sementara. “Mungkin saja Kurdi di bawa ke pelabuhan. Tapi untuk apa? Bukankah dia orang yang tidak dikenal di daerah ini? Atau jangan-jangan ini ada hubungannya dengan diriku.” Diansyah bertanya-tanya dalam hatinya yang bergemuruh.

Dia bertekad akan mencari siapa pelaku tersebut. Dia pergi menuju mobil dan berpamitan.

– Di Tempat lain –

Kurdi tersandar di dinding ruang kosong. Sepertinya berada di lantai atas sebuah ruko. Seseorang mencoba membuka pintu ruangan tersebut. Orang tersebut berjalan pelan mengarah ke arahnya dengan membawa makanan kecil dan secangkir minuman.

“Maaf, Tuan. Silakan di makan dan di minum suguhan ini,” katanya dengan ramah.

Kurdi terkejut bukan main, “Mengapa wanita ini bersikap begitu ramah? Apakah dia hanya berpura-pura? Jangan-jangan dia ingin meracuniku dengan makanan ini.” Kecurigaan Kurdi muncul.

Dengan segera Kurdi menyahut, “Tak sudi aku memakan ini. Siapa Bosmu?” ia melayangkan pertanyaan dengan membentak kepada pelayan wanita itu.

Wanita yang mengenakan seragam putih rapi. Di pinggir dada sebelah kiri terdapat identitas dirinya dan nama sebuah perusahaan. Kurdi hanya dapat mengingat nama perusahaan tersebut “MJD” sebuah akronim.

Selebihnya dia ingin marah-marah. Dalam pikirannya ia bertanya sendiri, “Jika diperhatikan dengan segala sikap dan caranya berpakaian. Dia seorang wanita yang sedang bekerja. Tidak tersirat sedikit pun niat jahat dari gelagatnya. Apalagi ketika dia masuk mengucapkan salam dan menyapa ala customer service yang ramah. Dia juga berbicara seperlunya saja.”

“Tuan saya hanya bekerja di sini. Saya tidak tahu apa-apa. Bos kami jarang datang ke sini. Karena dia sedang berada di Kepulauan Riau. Membuka perusahaan baru. Jika Tuan perlu bantuan saya tekan nomor satu.” Sambil menunjukkan ke arah dinding ruang yang terdapat tombol yang mirip kalkulator menempel di dekat pintu.

“Ini dimana? Tempat ini sangat asing bagiku,” ujar Kurdi kepada pelayan ketika ia akan beranjak pergi.

“Tuan, kita berada di dekat pelabuhan besar Tanjung Si Api-api. Seratus meter dari darat.” sambung pelayan itu lalu berlalu pergi.

**

Suara kapal nyaring terdengar. Pom…Pom. Tanda kapal besar memasuki dermaga. Suara burung-burung laut bernyanyi menghampiri telinga Kurdi yang berada di dalam ruangan.
Suara air laut yang berdansa dengan angin memunculkan lagu alam yang indah. Suuuh…. Suuhh. Gemuruh air laut diselingi suara burung laut yang menari-nari di atasnya.
Menambah keelokan alam laut di dermaga ini. Gedung-gedung dibangun menjulang tinggi menghadap langit. Seakan-akan menjadi identitas keperkasaan manusia. Lalu lalang anak manusia berhamburan di pelabuhan ini.
Kehidupan yang keras. Seperti negerinya air laut yang bertarung dengan ombak, badai, angin malam yang mematikan, gemuruh petir yang menusuk telinga, menjadi peraduan sepanjang siang dan malam. Bertahan dan mencari celah baru adalah cara menghadapinya.

“Sebenarnya siapa pelaku penculikan ini. Jika ia benar-benar menginginkanku mengapa ia tak membuangku saja ke dasar laut. Aku seperti orang yang disekap dalam sebuah gedung karena kelalaian atau yang biasa terjadi human error. Tapi siapa yang merencanakan human error itu?” ia bertanya pada keheningan ruangan.

Kurdi memperhatikan sekitar dermaga yang pernah ia kunjungi beberapa hari yang lalu. Melalui ventilasi kecil seperti celah-celah sisir. Di bawah, di ruangan yang di tempatiku. Tidak ada suara apa pun kecuali bunyi mesin yang menderu-deru seperti orang kesakitan. Dan tersebar bau yang tidak pernah ia sukai. Bau tinner yang dicampur cat minyak.

“Aku harus berusaha keluar dari sini. Tapi bagaimana caranya?” ucapnya dalam keheningan ruangan.

(***)